Kamis, 22 Agustus 2013

Pencabutan dan Pengembalian "Ruh" Al-Quran Melalui Rasul Akhir Zaman




 بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 

Bab 199

Pencabutan dan Pengembalian “Ruh” Al-Quran Melalui Rasul Akhir Zaman

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam    akhir Bab sebelumnya  telah  dikemukakan  kesia-siaan serta kegagalan berbagai upaya yang mereka lakukan untuk melepaskan diri dari kepungan berbagai musibah mau pun azab di dunia ini  -- seperti yang sedang terjadi di Akhir Zaman ini -- mau pun di akhirat nanti, firman-Nya:
فَالۡیَوۡمَ لَا یُؤۡخَذُ مِنۡکُمۡ فِدۡیَۃٌ  وَّ لَا مِنَ الَّذِیۡنَ  کَفَرُوۡا ؕ مَاۡوٰىکُمُ  النَّارُ ؕ ہِیَ مَوۡلٰىکُمۡ ؕ وَ بِئۡسَ الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
“Maka pada hari ini tidak akan diterima dari kamu tebusan, dan tidak pula dari orang-orang yang kafir. Tempat tinggal kamu adalah Api. Itulah sahabat kamu, dan seburuk-buruknya tempat kembali.”  (Al-Hadīd [57]:14-16).
 Ayat  ہِیَ مَوۡلٰىکُمۡ   -- “itulah sahabat kamu” agaknya telah dipergunakan Allah Swt. secara sindiran. Atau, kata-kata itu dapat diartikan, bahwa hanya api neraka akan membersihkan mereka dari kekotoran dan karat dosa yang dahulu diperbuat orang-orang kafir di dunia ini dan akan menjadikan mereka mampu mencapai kemajuan ruhani, dan dengan demikian akan menjadi “sahabat” (maula) bagi mereka.
       Benarlah peringatan Allah Swt. berikut ini  mengenai tidak akan diterimanya bai’un (jual-beli), hullah (persahabatan) dan   syafa’at (rekomendasi), firman-Nya:
 یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ ؕ وَ الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ  الظّٰلِمُوۡنَ
Hai orang-orang yang beriman,  belanjakanlah apa yang telah Kami rezekikan kepada kamu sebelum datang hari yang tidak ada jual-beli  di dalamnya,  tidak ada   persahabatan, dan  tidak pula syafaat, dan orang-orang yang kafir  mereka itulah orang-orang  zalim. (Al-Baqarah [2]:255).
       Peringatan yang sama pun sebelumnya telah Allah Swt. berikan kepada Bani Israil, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ  اِسۡرَآءِیۡلَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتِیَ الَّتِیۡۤ اَنۡعَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ وَ اَنِّیۡ فَضَّلۡتُکُمۡ عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ اتَّقُوۡا یَوۡمًا لَّا تَجۡزِیۡ نَفۡسٌ عَنۡ نَّفۡسٍ شَیۡئًا وَّ لَا یُقۡبَلُ مِنۡہَا شَفَاعَۃٌ وَّ لَا یُؤۡخَذُ مِنۡہَا عَدۡلٌ وَّ لَا ہُمۡ یُنۡصَرُوۡنَ ﴿﴾
Hai Bani Israil,   ingatlah nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu dan bahwa   Aku  telah memuliakan kamu atas seluruh bangsa.  Dan takutlah hari itu ketika  suatu jiwa tidak dapat menggantikan jiwa yang lainnya sedikit pun dan tidak akan diterima untuknya  syafa-at,  dan tidak akan diambil suatu tebusan darinya dan tidak pula mereka akan ditolong. (Al-Baqarah [2]:48-49).

Makna Syafaat 

      Ayat  وَ اَنِّیۡ فَضَّلۡتُکُمۡ عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ  -- “dan Aku  telah memuliakan kamu atas seluruh bangsa  mengandung arti bahwa orang-orang Bani Israil lebih unggul daripada kaum-kaum lain pada zaman mereka sendiri. Jika Al-Quran hendak menyampaikan gagasan tentang keunggulan kekal satu kaum terhadap semua bangsa, Al-Quran memakai ungkapan-ungkapan lain seperti pada QS.3:111, di tempat itu kaum Muslim disebut sebagai “umat paling baik.”
     Umumnya ayat-ayat ini dihubungkan dengan saat ketika kematian menimpa manusia. Walau pun pendapat tersebut tidak salah, tetapi  peringatan Allah Swt tersebut  berkaitan pula dengan kehidupan di dunia ini pula, yaitu ketika pada hari itu keselamatan tidak akan diperoleh dengan jual-beli, dan keselamatan akan bergantung hanya pada amal saleh seseorang dan diiringi oleh rahmat  Allah.   Tidak akan ada kesempatan untuk mengadakan persahabatan baru pada hari itu.  Demikian pula halnya dengan syafaat.
      Kenyataan tersebut diabadikan oleh Allah Swt. dalam kisah Monumental “Dua putra Adam” dimana keduanya sama-sama melakukan pengorbanan kepada Allah Swt. tetapi Allah Swt. hanya menerima pengorbanan salah seorang di antara keduanya, sehingga yang seorang lagi marah kepada saudaranya dan membunuhnya tetapi kemudian ia menjadi orang yang menyesal (QS.5:28-35).
       Syafā’ah (syafaat) diserap dari syafa’a yang berarti: ia memberikan sesuatu yang mandiri bersama yang lainnya; menggabungkan sesuatu dengan sesamanya (Al-Mufradat). Jadi kata itu mempunyai arti kesamaan atau persamaan,   kata itu juga berarti menjadi perantara atau mendoa untuk seseorang agar orang itu diberi karunia dan dosa-dosanya dimaafkan karena ia mempunyai perhubungan dengan si perantara.
      Hal ini mengandung pula arti bahwa yang mengajukan permohonan  adalah orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada orang yang diperjuangkan nasibnya, dan pula mempunyai perhubungan yang mendalam dengan orang yang baginya ia menjadi perantara (Al-Mufradat dan Lisan-ul-‘Arab). Syafā’ah (perantaraan) ditentukan oleh syarat-syarat berikut:
     (1) pemberi  syafaat  harus mempunyai perhubungan istimewa dengan orang yang baginya ia mau menjadi perantara dan menikmati kebaikan hatinya yang istimewa, sebab tanpa perhubungan demikian ia tidak akan berani memberikan  syafaat dan tidak pula syafaatnya  akan berhasil;
      (2) orang yang diperantarai (diberi syafaat) harus mempunyai perhubungan yang sejati dan nyata dengan pemberi syafaat itu, sebab  tidak ada yang orang mau memperantarai seseorang sekiranya yang diperantarai itu tidak mempunyai perhubungan sungguh-sungguh dengan perantara itu;
     (3) orang yang meminta syafaat pada umumnya harus orang baik dan telah berusaha sungguh-sungguh untuk mendapatkan ridha Ilahi (QS.21:29), hanya telah terjatuh ke dalam kancah dosa pada saat ia dikuasai kelemahan;
    (4) syafaat itu hanya dapat dilakukan dengan izin khusus dari Allah Swt., sebagaimana dikemukakan dalam ayat Kursiy (QS.2:256) dan QS.10:4.
Syafaat sebagaimana  dipahami oleh Islam, pada hakikatnya hanya merupakan bentuk lain dari permohonan pengampunan, sebab taubat (mohon pengampunan) berarti memperbaiki kembali perhubungan yang terputus atau mengencangkan apa yang sudah longgar. Maka bila pintu taubat tertutup oleh kematian, pintu syafaat tetap terbuka.
 Tambahan pula syafaat  adalah suatu cara untuk menjelmakan kasih-sayang Allah Swt.  dan karena Allah Swt.  bukanlah  hakim yang terikat dengan hukum (aturan)  melainkan Mālik (Pemilik dan Majikan), maka tidak ada yang dapat mencegah Allah Swt. dari memperlihatkan kasih-sayang-Nya kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.

Hanya  Nabi Besar Muhammad saw. yang Diberi Izin  Allah Swt.
Memberikan Syafaat & Pentingnya Beriman kepada Rasul Akhir Zaman

      Oleh karena itu di Akhir Zaman ini, kecuali beriman kepada  Rasul Akhir Zaman  -- yang merupakan kedatangan kedua kali Nabi Besar Muhammad saw. secara ruhani dan juga sebagai penggenapan sabda beliau mengenai khilafatun ‘alā minhāj nubuwwat (khilafat atas dasar kenabian)  -- maka umat Islam tidak akan pernah dapat keluar dari berbagai bentuk kobaran api yang meliputi mereka  -- sebagaimana yang saat ini terjadi di Timur Tengah dan di negara-negara Muslim lainnya -- tidak akan pernah mendapat syafaat dari Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
ہُوَ الَّذِیۡ  بَعَثَ فِی  الۡاُمِّیّٖنَ  رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ  یَتۡلُوۡا عَلَیۡہِمۡ  اٰیٰتِہٖ  وَ  یُزَکِّیۡہِمۡ وَ  یُعَلِّمُہُمُ  الۡکِتٰبَ وَ  الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ  اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ  قَبۡلُ  لَفِیۡ ضَلٰلٍ  مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾       وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ  لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ  الۡعَزِیۡزُ  الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾  ذٰلِکَ فَضۡلُ اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ  ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾ 
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa yang buta huruf  seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya,  mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan juga akan membangkitkannya pada kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka.  Dan Dia-lah Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana.  Itulah karunia Allah, Dia menganugerahkannya kepada siapa yang Dia kehendaki, dan Allah mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah [62]:3-5).
       Pengutusan kedua kali Nabi Besar Muhmmad saw. secara ruhani di Akhir Zaman  tersebut adalah sebagai penggenapan sabda beliau saw. mengenai akan berlangsungnya  kembali silsilah Khilafatun- ‘alā minhāj nubuwwat  yang sempat terputus setelah terbunuhnya Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a., mengenai hal tersebut Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, "Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw., lalu  datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, "Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam". [HR. Imam Ahmad].

Pencabutan dan Pengembalian Ruh Al-Quran di Akhir Zaman

       Dengan demikian benarlah  firman Allah Swt. berikut ini mengenai pencabutan dan  pengembalianruh” Al-Quran (Islam) setelah ditarik oleh Allah Swt. secara berangsur-angsur selama 1000 tahun (QS.32:6) setelah masa kejayaan Islam yang pertama selama 3 abad,  firman-Nya:
وَ یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ الرُّوۡحِ ؕ قُلِ الرُّوۡحُ مِنۡ  اَمۡرِ رَبِّیۡ وَ مَاۤ  اُوۡتِیۡتُمۡ مِّنَ الۡعِلۡمِ اِلَّا  قَلِیۡلًا ﴿﴾  وَ لَئِنۡ شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ  اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ بِہٖ عَلَیۡنَا  وَکِیۡلًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا رَحۡمَۃً  مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ اِنَّ  فَضۡلَہٗ  کَانَ عَلَیۡکَ  کَبِیۡرًا ﴿﴾  قُلۡ لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا بِمِثۡلِ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ لَوۡ کَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ  ظَہِیۡرًا ﴿﴾  وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا لِلنَّاسِ فِیۡ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ مِنۡ کُلِّ مَثَلٍ ۫ فَاَبٰۤی اَکۡثَرُ النَّاسِ اِلَّا کُفُوۡرًا ﴿﴾
Dan mereka bertanya kepada engkau mengenai ruh, katakanlah: “Ruh telah diciptakan atas perintah Tuhan-ku, dan kamu sama sekali  tidak  diberi ilmu mengenai itu mela-inkan sedikit.” Dan jika Kami benar-benar  menghendaki, niscaya Kami mengambil kembali  apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau  kemudian engkau tidak akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu. Kecuali karena rahmat dari Tuhan engkau, sesungguhnya karunia-Nya sangat besar kepada engkau.  Katakanlah: “Jika  manusia dan jin benar-benar berhimpun  untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini, mereka tidak akan sanggup men-datangkan yang sama seperti ini,  walaupun  sebagian mereka membantu sebagian yang lain.” Dan sungguh  Kami benar-benar telah menguraikan bagi manusia berbagai macam cara  perumpamaan dalam Al-Quran ini tetapi kebanyakan manusia menolak segala sesuatu kecuali kekafiran.  (Bani Israil [17]:86-90).
      Dalam masa kemunduran dan kejatuhan ruhani mereka, nampaknya orang-orang Yahudi asyik berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan ilmu klenik (occult), seperti halnya banyak ahli kebatinan modern, para pengikut gerakan teosofi dan yogi-yogi Hindu.
      Nampaknya di masa  Nabi Besar Muhammad saw. pun beberapa orang Yahudi di Medinah telah menempuh cara-cara kebiasaan semacam itu. Itulah sebabnya mengapa ketika orang-orang musyrik Mekkah mencari bantuan orang-orang Yahudi untuk membungkam Nabi Besar Muhammad saw., mereka memberi saran supaya orang-orang musyrik Mekkah itu menanyakan kepada beliau saw. hakikat ruh manusia.

Penciptaan dan Perkembangan Ruh Manusia
Hubungannya dengan “Perintah” Allah Swt.

      Dalam ayat yang sedang dibahas ini Al-Quran menjawab pertanyaan mereka dengan mengatakan  bahwa ruh memperoleh daya kekuatannya dari perintah Ilahi, dan apa pun yang menurut kepercayaan orang dapat diperoleh dengan perantaraan apa yang dikatakan latihan-latihan batin dan ilmu sihir, adalah semata-mata tipu dan omong-kosong belaka.
     Menurut riwayat pertanyaan-pertanyaan mengenai sifat ruh manusia pertama-tama diajukan kepada  Nabi Besar Muhammad saw.  di kota Mekkah oleh orang-orang Quraisy dan kemudian menurut ‘Abdullah bin Mas’ud r.a.  — oleh orang-orang Yahudi di Medinah.
      Di sini ruh disebut sesuatu yang diciptakan atas perintah langsung dari Tuhan -- مِنۡ  اَمۡرِ رَبِّیۡ Menurut Al-Quran semua penciptaan terdiri dari dua jenis: (1) Kejadian permulaan yang dilaksanakan tanpa mempergunakan zat atau benda yang telah diciptakan sebelumnya. (2) Kejadian selanjutnya yang dilaksanakan dengan mempergunakan sarana dan benda yang telah diciptakan sebelumnya.
     Kejadian (penciptaan) macam pertama termasuk jenis amr (arti harfiahnya ialah perintah), yang untuk itu lihat QS.2:118, dan cara yang kedua disebut khalq (arti harfiahnya ialah menciptakan). Ruh manusia termasuk jenis penciptaan pertama -- مِنۡ  اَمۡرِ رَبِّیۡ  -- “atas perintah Tuhan-ku”. Kata ruh itu berarti wahyu Ilahi (Lexicon Lane). Letaknya kata ini di sini agaknya mendukung arti demikian.
    Kemudian dalam pernyataan Allah Swt. selanjutnya dalam ayat selanjutnya terkandung nubuwatan mengenai pencabutan “ruh” Al-Quran secara berangsur-angsur dalam masa 1000 tahun (QS.32:6), firman-Nya:   
وَ لَئِنۡ شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ  اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ بِہٖ عَلَیۡنَا  وَکِیۡلًا ﴿ۙ﴾  اِلَّا رَحۡمَۃً  مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ اِنَّ  فَضۡلَہٗ  کَانَ عَلَیۡکَ  کَبِیۡرًا﴿﴾ 
Dan jika Kami benar-benar  menghendaki, niscaya Kami mengambil kembali  apa yang telah Kami wahyukan kepada engkau kemudian engkau tidak akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu.   Kecuali karena rahmat dari Tuhan engkau, sesungguhnya karunia-Nya sangat besar kepada engkau. (Bani Israil [17]:87-88).
        Sehubungan dengan "pencabutan" atau "penarikan" kembali "ruh" Al-Quran -- yakni pemahaman-pemahaman yang benar mengenai Al-Quran -- Allah Swt. berfirman:
یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ مِنَ السَّمَآءِ  اِلَی الۡاَرۡضِ ثُمَّ یَعۡرُجُ  اِلَیۡہِ  فِیۡ یَوۡمٍ کَانَ مِقۡدَارُہٗۤ اَلۡفَ سَنَۃٍ  مِّمَّا تَعُدُّوۡنَ ﴿﴾
Dia mengatur perintah dari langit sampai bumi, kemudian perintah itu akan naik kepada-Nya dalam satu hari, yang hitungan lamanya seribu tahun dari apa yang kamu hitung. (As-Sajdah [32]:6).

Tantangan Allah Swt.

    Ayat-ayat  ini nampaknya mengandung nubuatan bahwa akan datang suatu saat ketika ilmu (ruh) Al-Quran akan lenyap dari bumi. Nubuatan Nabi Besar Muhammad saw.  serupa itu telah diriwayatkan oleh Mardawaih, Baihaqi, dan Ibn Majah, ketika ruh dan jiwa ajaran Al-Quran akan hilang lenyap dari bumi, dan semua  orang yang dikenal sebagai ahli-ahli mistik dan para sufi yang mengakui memiliki kekuatan batin istimewa — seperti pula diakui oleh segolongan orang-orang Yahudi dahulu kala yang sifatnya serupa dengan mereka — tidak akan berhasil mengembalikan jiwa ajaran Al-Quran dengan usaha mereka bersama-sama.
     Tantangan tersebut pertama-tama diajukan kepada mereka yang berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan klenik (kebatinan), supaya mereka meminta pertolongan ruh-ruh gaib (jin) yang darinya orang-orang ahli kebatinan itu —  menurut pengakuannya sendiri — menerima ilmu ruhani. Tantangan ini berlaku pula untuk semua orang yang menolak Al-Quran bersumber pada Tuhan dan untuk sepanjang masa. Namun dengan tegas Allah Swt. berfirman mengenai ketidak-mampuan mereka:
قُلۡ لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا بِمِثۡلِ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ لَوۡ کَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ  ظَہِیۡرًا ﴿﴾
Katakanlah: “Jika  manusia dan jin benar-benar berhimpun  untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini, mereka tidak akan sanggup mendatangkan yang sama seperti ini,  walaupun  sebagian mereka membantu sebagian yang lain.” (Bani Israil [17]:89).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  10  Juli  2013



Tidak ada komentar:

Posting Komentar