بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah
Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 199
Pencabutan dan Pengembalian
“Ruh” Al-Quran Melalui Rasul Akhir Zaman
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir Bab sebelumnya telah
dikemukakan kesia-siaan serta kegagalan berbagai upaya yang mereka lakukan untuk melepaskan diri dari
kepungan berbagai musibah mau pun azab di dunia ini -- seperti yang sedang terjadi di Akhir
Zaman ini -- mau pun di akhirat nanti, firman-Nya:
فَالۡیَوۡمَ لَا یُؤۡخَذُ مِنۡکُمۡ فِدۡیَۃٌ وَّ لَا مِنَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا ؕ مَاۡوٰىکُمُ النَّارُ ؕ ہِیَ مَوۡلٰىکُمۡ ؕ وَ بِئۡسَ
الۡمَصِیۡرُ ﴿﴾
“Maka pada hari ini tidak akan diterima dari kamu
tebusan, dan tidak pula dari orang-orang
yang kafir. Tempat tinggal kamu adalah Api.
Itulah sahabat kamu, dan seburuk-buruknya tempat kembali.” (Al-Hadīd [57]:14-16).
Ayat ہِیَ مَوۡلٰىکُمۡ -- “itulah sahabat kamu” agaknya telah
dipergunakan Allah Swt. secara sindiran.
Atau, kata-kata itu dapat diartikan, bahwa hanya api neraka akan membersihkan
mereka dari kekotoran dan karat dosa yang dahulu diperbuat orang-orang kafir di dunia ini dan akan
menjadikan mereka mampu mencapai kemajuan
ruhani, dan dengan demikian akan menjadi “sahabat” (maula) bagi mereka.
Benarlah peringatan Allah Swt. berikut ini
mengenai tidak akan diterimanya bai’un
(jual-beli), hullah (persahabatan)
dan syafa’at (rekomendasi), firman-Nya:
یٰۤاَیُّہَا
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡۤا اَنۡفِقُوۡا مِمَّا رَزَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ قَبۡلِ اَنۡ
یَّاۡتِیَ یَوۡمٌ لَّا بَیۡعٌ فِیۡہِ وَ لَا خُلَّۃٌ وَّ لَا شَفَاعَۃٌ ؕ وَ
الۡکٰفِرُوۡنَ ہُمُ الظّٰلِمُوۡنَ
Hai
orang-orang yang beriman, belanjakanlah apa yang telah Kami rezekikan
kepada kamu sebelum datang hari yang
tidak ada jual-beli di
dalamnya, tidak ada
persahabatan, dan tidak
pula syafaat, dan orang-orang
yang kafir mereka itulah orang-orang
zalim. (Al-Baqarah [2]:255).
Peringatan yang sama pun sebelumnya
telah Allah Swt. berikan kepada Bani Israil, firman-Nya:
یٰبَنِیۡۤ اِسۡرَآءِیۡلَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتِیَ الَّتِیۡۤ
اَنۡعَمۡتُ عَلَیۡکُمۡ وَ اَنِّیۡ فَضَّلۡتُکُمۡ عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ ﴿﴾ وَ
اتَّقُوۡا یَوۡمًا لَّا تَجۡزِیۡ نَفۡسٌ عَنۡ نَّفۡسٍ شَیۡئًا وَّ لَا یُقۡبَلُ
مِنۡہَا شَفَاعَۃٌ وَّ لَا یُؤۡخَذُ مِنۡہَا عَدۡلٌ وَّ لَا ہُمۡ یُنۡصَرُوۡنَ ﴿﴾
Hai Bani
Israil, ingatlah
nikmat-Ku yang telah Aku anugerahkan kepada kamu dan bahwa Aku telah memuliakan kamu atas seluruh bangsa.
Dan takutlah hari itu ketika suatu
jiwa tidak dapat menggantikan jiwa yang lainnya sedikit pun dan tidak
akan diterima untuknya syafa-at,
dan tidak akan diambil suatu tebusan darinya dan tidak pula mereka akan ditolong. (Al-Baqarah
[2]:48-49).
Makna Syafaat
Ayat
وَ اَنِّیۡ فَضَّلۡتُکُمۡ عَلَی الۡعٰلَمِیۡنَ -- “dan Aku telah memuliakan kamu atas seluruh bangsa”
mengandung arti bahwa orang-orang Bani Israil lebih unggul daripada kaum-kaum lain pada zaman mereka
sendiri. Jika Al-Quran hendak menyampaikan gagasan tentang keunggulan kekal satu kaum terhadap semua bangsa, Al-Quran memakai
ungkapan-ungkapan lain seperti pada QS.3:111, di tempat itu kaum Muslim disebut
sebagai “umat paling baik.”
Umumnya ayat-ayat ini
dihubungkan dengan saat ketika kematian
menimpa manusia. Walau pun pendapat tersebut tidak salah, tetapi peringatan
Allah Swt tersebut berkaitan pula dengan
kehidupan di dunia ini pula, yaitu
ketika pada hari itu keselamatan tidak akan diperoleh dengan jual-beli, dan keselamatan akan bergantung hanya pada amal saleh seseorang dan diiringi oleh rahmat Allah. Tidak akan ada kesempatan untuk mengadakan persahabatan baru pada hari itu. Demikian pula halnya dengan syafaat.
Kenyataan tersebut diabadikan oleh Allah Swt. dalam kisah
Monumental “Dua putra Adam” dimana keduanya
sama-sama melakukan pengorbanan kepada Allah Swt. tetapi Allah Swt. hanya menerima pengorbanan salah seorang di
antara keduanya, sehingga yang seorang lagi marah
kepada saudaranya dan membunuhnya tetapi kemudian ia menjadi
orang yang menyesal (QS.5:28-35).
Syafā’ah (syafaat)
diserap dari syafa’a yang berarti: ia memberikan sesuatu yang mandiri
bersama yang lainnya; menggabungkan sesuatu dengan sesamanya (Al-Mufradat). Jadi kata itu
mempunyai arti kesamaan atau persamaan,
kata itu juga berarti menjadi perantara
atau mendoa untuk seseorang agar
orang itu diberi karunia dan
dosa-dosanya dimaafkan karena ia mempunyai perhubungan
dengan si perantara.
Hal ini mengandung pula arti
bahwa yang mengajukan permohonan adalah orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada orang
yang diperjuangkan nasibnya, dan pula mempunyai perhubungan yang mendalam dengan orang yang baginya ia menjadi
perantara (Al-Mufradat dan
Lisan-ul-‘Arab). Syafā’ah
(perantaraan) ditentukan oleh syarat-syarat berikut:
(1) pemberi syafaat harus mempunyai perhubungan istimewa dengan orang yang baginya ia mau menjadi perantara dan menikmati kebaikan hatinya
yang istimewa, sebab tanpa perhubungan
demikian ia tidak akan berani memberikan
syafaat dan tidak pula syafaatnya akan berhasil;
(2) orang yang diperantarai (diberi syafaat) harus
mempunyai perhubungan yang sejati dan
nyata dengan pemberi syafaat itu,
sebab tidak ada yang orang mau
memperantarai seseorang sekiranya yang diperantarai itu tidak mempunyai perhubungan sungguh-sungguh dengan perantara itu;
(3) orang yang meminta syafaat pada umumnya harus orang baik dan telah berusaha sungguh-sungguh untuk
mendapatkan ridha Ilahi (QS.21:29),
hanya telah terjatuh ke dalam kancah dosa
pada saat ia dikuasai kelemahan;
(4) syafaat itu hanya dapat dilakukan dengan izin khusus dari Allah Swt., sebagaimana dikemukakan dalam ayat Kursiy (QS.2:256) dan QS.10:4.
Syafaat
sebagaimana dipahami oleh Islam, pada hakikatnya hanya merupakan
bentuk lain dari permohonan pengampunan,
sebab taubat (mohon pengampunan)
berarti memperbaiki kembali perhubungan yang terputus atau
mengencangkan apa yang sudah longgar. Maka bila pintu taubat tertutup oleh kematian,
pintu syafaat tetap terbuka.
Tambahan pula syafaat adalah suatu cara
untuk menjelmakan kasih-sayang Allah Swt.
dan karena Allah Swt. bukanlah
hakim yang terikat dengan hukum
(aturan) melainkan Mālik (Pemilik
dan Majikan), maka tidak ada yang dapat mencegah
Allah Swt. dari memperlihatkan kasih-sayang-Nya
kepada siapa pun yang dikehendaki-Nya.
Hanya Nabi Besar Muhammad saw. yang Diberi
Izin Allah Swt.
Memberikan Syafaat & Pentingnya Beriman
kepada Rasul Akhir Zaman
Oleh karena itu di Akhir Zaman ini, kecuali beriman kepada Rasul
Akhir Zaman -- yang merupakan
kedatangan kedua kali Nabi Besar Muhammad
saw. secara ruhani dan juga sebagai penggenapan
sabda beliau mengenai khilafatun ‘alā
minhāj nubuwwat (khilafat atas dasar kenabian) -- maka umat Islam tidak akan pernah dapat keluar dari berbagai bentuk kobaran api yang meliputi mereka -- sebagaimana yang saat ini terjadi di Timur Tengah dan di negara-negara Muslim lainnya -- tidak akan pernah mendapat syafaat dari Nabi Besar Muhammad saw.,
firman-Nya:
ہُوَ
الَّذِیۡ بَعَثَ فِی الۡاُمِّیّٖنَ
رَسُوۡلًا مِّنۡہُمۡ یَتۡلُوۡا
عَلَیۡہِمۡ اٰیٰتِہٖ وَ
یُزَکِّیۡہِمۡ وَ
یُعَلِّمُہُمُ الۡکِتٰبَ وَ الۡحِکۡمَۃَ ٭ وَ اِنۡ کَانُوۡا مِنۡ قَبۡلُ
لَفِیۡ ضَلٰلٍ مُّبِیۡنٍ ۙ﴿﴾ وَّ اٰخَرِیۡنَ مِنۡہُمۡ لَمَّا یَلۡحَقُوۡا بِہِمۡ ؕ وَ ہُوَ الۡعَزِیۡزُ
الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ ذٰلِکَ فَضۡلُ
اللّٰہِ یُؤۡتِیۡہِ مَنۡ یَّشَآءُ ؕ وَ اللّٰہُ
ذُو الۡفَضۡلِ الۡعَظِیۡمِ ﴿﴾
Dia-lah Yang telah membangkitkan di kalangan bangsa
yang buta huruf seorang rasul dari antara mereka, yang membacakan kepada mereka Tanda-tanda-Nya, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah walaupun sebelumnya mereka berada dalam kesesatan yang nyata. Dan
juga akan membangkitkannya pada
kaum lain dari antara mereka, yang belum bertemu dengan mereka. Dan Dia-lah
Yang Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Itulah karunia
Allah, Dia menganugerahkannya kepada
siapa yang Dia kehendaki, dan Allah
mempunyai karunia yang besar. (Al-Jumu’ah
[62]:3-5).
Pengutusan kedua kali Nabi Besar Muhmmad
saw. secara ruhani di Akhir Zaman tersebut adalah sebagai penggenapan sabda beliau saw. mengenai akan berlangsungnya kembali silsilah Khilafatun- ‘alā minhāj nubuwwat yang sempat terputus setelah terbunuhnya Khalifah
Ali bin Abu Thalib r.a., mengenai hal tersebut Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Telah berkata kepada
kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, "Dawud bin
Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud
al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah
meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata,
"Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw., lalu datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya
berkata, "Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang
berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah
Nabi saw." Hudzaifah berkata,
"Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian,
dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan
menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa
Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan
datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu,
akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas
kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia
berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator
(pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan
menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah
‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah
itu, beliau diam". [HR. Imam
Ahmad].
Pencabutan dan Pengembalian Ruh Al-Quran di Akhir Zaman
Dengan demikian benarlah firman Allah Swt. berikut ini mengenai pencabutan dan pengembalian
“ruh” Al-Quran (Islam) setelah ditarik oleh Allah Swt. secara
berangsur-angsur selama 1000 tahun
(QS.32:6) setelah masa kejayaan Islam
yang pertama selama 3 abad, firman-Nya:
وَ
یَسۡـَٔلُوۡنَکَ عَنِ الرُّوۡحِ ؕ قُلِ الرُّوۡحُ مِنۡ اَمۡرِ رَبِّیۡ وَ مَاۤ اُوۡتِیۡتُمۡ مِّنَ الۡعِلۡمِ اِلَّا قَلِیۡلًا ﴿﴾ وَ لَئِنۡ شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ
بِہٖ عَلَیۡنَا وَکِیۡلًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا رَحۡمَۃً
مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ اِنَّ
فَضۡلَہٗ کَانَ عَلَیۡکَ کَبِیۡرًا ﴿﴾ قُلۡ لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ
عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا بِمِثۡلِ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ
لَوۡ کَانَ بَعۡضُہُمۡ لِبَعۡضٍ ظَہِیۡرًا
﴿﴾ وَ لَقَدۡ صَرَّفۡنَا لِلنَّاسِ فِیۡ ہٰذَا
الۡقُرۡاٰنِ مِنۡ کُلِّ مَثَلٍ ۫ فَاَبٰۤی اَکۡثَرُ النَّاسِ اِلَّا کُفُوۡرًا ﴿﴾
Dan mereka bertanya kepada engkau mengenai ruh,
katakanlah: “Ruh telah
diciptakan atas perintah Tuhan-ku, dan kamu sama sekali tidak diberi ilmu mengenai itu mela-inkan
sedikit.” Dan jika Kami
benar-benar menghendaki, niscaya Kami
mengambil kembali apa yang
telah Kami wahyukan kepada engkau kemudian engkau
tidak akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu. Kecuali
karena rahmat dari Tuhan engkau,
sesungguhnya karunia-Nya sangat besar
kepada engkau. Katakanlah:
“Jika
manusia dan jin benar-benar berhimpun
untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini, mereka tidak akan sanggup men-datangkan yang sama
seperti ini, walaupun
sebagian mereka membantu sebagian
yang lain.” Dan sungguh Kami benar-benar telah menguraikan
bagi manusia berbagai macam cara perumpamaan dalam Al-Quran ini tetapi kebanyakan manusia menolak segala
sesuatu kecuali kekafiran. (Bani Israil [17]:86-90).
Dalam masa kemunduran
dan kejatuhan ruhani mereka,
nampaknya orang-orang Yahudi asyik berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan ilmu klenik (occult), seperti halnya
banyak ahli kebatinan modern, para
pengikut gerakan teosofi dan yogi-yogi Hindu.
Nampaknya di masa Nabi Besar Muhammad saw. pun beberapa orang Yahudi di Medinah telah menempuh
cara-cara kebiasaan semacam itu.
Itulah sebabnya mengapa ketika orang-orang musyrik
Mekkah mencari bantuan orang-orang Yahudi untuk membungkam Nabi Besar
Muhammad saw., mereka memberi saran supaya orang-orang
musyrik Mekkah itu menanyakan kepada beliau saw. hakikat ruh manusia.
Penciptaan dan Perkembangan Ruh
Manusia
Hubungannya dengan “Perintah” Allah Swt.
Dalam ayat yang sedang dibahas
ini Al-Quran menjawab pertanyaan mereka dengan mengatakan bahwa ruh
memperoleh daya kekuatannya dari perintah
Ilahi, dan apa pun yang menurut kepercayaan orang dapat diperoleh dengan
perantaraan apa yang dikatakan latihan-latihan
batin dan ilmu sihir, adalah
semata-mata tipu dan omong-kosong belaka.
Menurut riwayat pertanyaan-pertanyaan
mengenai sifat ruh manusia
pertama-tama diajukan kepada Nabi Besar
Muhammad saw. di kota Mekkah
oleh orang-orang Quraisy dan kemudian menurut ‘Abdullah bin Mas’ud r.a. — oleh orang-orang Yahudi di Medinah.
Di sini ruh
disebut sesuatu yang diciptakan atas perintah
langsung dari Tuhan -- مِنۡ اَمۡرِ رَبِّیۡ Menurut
Al-Quran semua penciptaan terdiri dari dua jenis: (1) Kejadian permulaan yang
dilaksanakan tanpa mempergunakan zat atau benda yang telah diciptakan
sebelumnya. (2) Kejadian selanjutnya yang dilaksanakan dengan mempergunakan
sarana dan benda yang telah diciptakan sebelumnya.
Kejadian (penciptaan) macam
pertama termasuk jenis amr (arti harfiahnya ialah perintah), yang untuk
itu lihat QS.2:118, dan cara yang kedua disebut khalq (arti harfiahnya
ialah menciptakan). Ruh manusia
termasuk jenis penciptaan pertama -- مِنۡ اَمۡرِ رَبِّیۡ -- “atas perintah Tuhan-ku”. Kata
ruh itu berarti wahyu Ilahi (Lexicon Lane).
Letaknya kata ini di sini agaknya mendukung arti demikian.
Kemudian dalam pernyataan Allah Swt.
selanjutnya dalam ayat selanjutnya terkandung nubuwatan mengenai pencabutan
“ruh” Al-Quran secara berangsur-angsur dalam masa 1000 tahun (QS.32:6),
firman-Nya:
وَ لَئِنۡ
شِئۡنَا لَنَذۡہَبَنَّ بِالَّذِیۡۤ
اَوۡحَیۡنَاۤ اِلَیۡکَ ثُمَّ لَا تَجِدُ لَکَ بِہٖ عَلَیۡنَا وَکِیۡلًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا رَحۡمَۃً
مِّنۡ رَّبِّکَ ؕ اِنَّ
فَضۡلَہٗ کَانَ عَلَیۡکَ کَبِیۡرًا﴿﴾
Dan jika Kami benar-benar menghendaki, niscaya Kami mengambil kembali
apa yang telah Kami wahyukan
kepada engkau kemudian engkau tidak
akan memperoleh penjaga baginya terhadap Kami dalam hal itu. Kecuali karena rahmat dari Tuhan engkau, sesungguhnya karunia-Nya sangat besar kepada engkau.
(Bani Israil [17]:87-88).
Sehubungan dengan "pencabutan" atau "penarikan" kembali "ruh" Al-Quran -- yakni pemahaman-pemahaman yang benar mengenai Al-Quran -- Allah Swt. berfirman:
یُدَبِّرُ الۡاَمۡرَ مِنَ السَّمَآءِ
اِلَی الۡاَرۡضِ ثُمَّ یَعۡرُجُ
اِلَیۡہِ فِیۡ یَوۡمٍ کَانَ
مِقۡدَارُہٗۤ اَلۡفَ سَنَۃٍ مِّمَّا
تَعُدُّوۡنَ ﴿﴾
Dia mengatur perintah dari langit
sampai bumi, kemudian perintah itu
akan naik kepada-Nya dalam satu hari, yang hitungan lamanya seribu tahun dari apa yang kamu hitung. (As-Sajdah [32]:6).
Tantangan Allah Swt.
Ayat-ayat ini nampaknya mengandung nubuatan bahwa akan datang suatu saat ketika ilmu (ruh) Al-Quran akan lenyap dari bumi. Nubuatan Nabi Besar
Muhammad saw. serupa itu
telah diriwayatkan oleh Mardawaih, Baihaqi, dan Ibn Majah, ketika ruh dan
jiwa ajaran Al-Quran akan hilang lenyap dari bumi, dan semua orang yang dikenal sebagai ahli-ahli mistik dan para sufi yang mengakui memiliki kekuatan batin istimewa — seperti pula
diakui oleh segolongan orang-orang Yahudi
dahulu kala yang sifatnya serupa dengan mereka — tidak akan berhasil mengembalikan jiwa ajaran Al-Quran dengan
usaha mereka bersama-sama.
Tantangan tersebut pertama-tama diajukan
kepada mereka yang berkecimpung dalam kebiasaan-kebiasaan klenik (kebatinan), supaya mereka meminta pertolongan ruh-ruh gaib (jin) yang darinya
orang-orang ahli kebatinan itu — menurut pengakuannya sendiri — menerima ilmu ruhani. Tantangan ini berlaku pula
untuk semua orang yang menolak Al-Quran bersumber
pada Tuhan dan untuk sepanjang masa. Namun dengan tegas Allah Swt.
berfirman mengenai ketidak-mampuan
mereka:
قُلۡ لَّئِنِ اجۡتَمَعَتِ الۡاِنۡسُ وَ الۡجِنُّ عَلٰۤی اَنۡ یَّاۡتُوۡا
بِمِثۡلِ ہٰذَا الۡقُرۡاٰنِ لَا یَاۡتُوۡنَ بِمِثۡلِہٖ وَ لَوۡ کَانَ بَعۡضُہُمۡ
لِبَعۡضٍ ظَہِیۡرًا ﴿﴾
Katakanlah:
“Jika
manusia dan jin benar-benar berhimpun
untuk mendatangkan yang semisal Al-Quran ini, mereka tidak akan sanggup mendatangkan yang sama
seperti ini, walaupun
sebagian mereka membantu sebagian
yang lain.” (Bani Israil [17]:89).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 10 Juli
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar