Senin, 19 Agustus 2013

Golongan (Umat) Pelaksana "Amar Ma'ruf" dan "Nahi Munkar" & 'Ulama Hakiki "Pewaris Para Nabi"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ



Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 

Bab 195

 Golongan (Umat) Pelaksana Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar & ’Ulama Hakiki “Pewaris Para Nabi

 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

D
alam  akhir  Bab sebelumnya  telah  dikemukakan   mengenai     makna ayat-ayat QS.3:103-104, yakni   یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ  اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ  مُّسۡلِمُوۡنَ   --  “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan  janganlah sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah  diri.”  (Ali ‘Imran [3]:103-109), mengisyaratkan kepada pentingnya orang-orang yang beriman memiliki ketakwaan yang hakiki, salah satu tandanya adalah bahwa karena kedatangan saat kematian tidak diketahui,  maka orang-orang beriman dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah  diri kepada Allah Swt. hanya bila diri mereka senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi ungkapan itu mengandung arti bahwa orang-orang beriman harus senantiasa tetap patuh kepada Allah Swt..
   Ayat selanjutnya  menjelaskan  وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا   -- “Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada tali  Allah,   janganlah kamu berpecah-belah.”  Habl berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan, suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon Lane). Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda:  Kitab Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30).
       “Tali Allah” pun dapat mengisyaratkan kepada wujud Rasul Allah, sebab melalui pengutusan Rasul Allah itulah terbentuknya suatu Jama’ah  (Jemaat)  orang-orang  beriman, sebagaimana yang terjadi di kalangan  bangsa Arab ketika mereka beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan  Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana.   Hai Nabi,   Allah mencukupi bagi engkau dan bagi  orang-orang yang mengikuti engkau di antara orang-orang beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).

“Tulang Belulang Berserakan” Menjadi “Satu Tubuh yang Utuh”

     Selanjutnya Allah Swt. berfirman  وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ  اِذۡ  کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا   -- “dan   ingatlah akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu  Dia menyatukan hati kamu dengan kecintaan  antara satu sama lain maka  dengan nikmat-Nya itu kamu menjadi bersaudara.
  Sangat sukar kita mendapatkan suatu kaum yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum  kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. di tengah mereka, tetapi dalam pada itu sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw..
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai keadaan sangat membahayakan yang dihadapi  bangsa Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw.  وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا  --  “dan kamu dahulu berada di tepi jurang Api  lalu Dia menyelamatkan kamu darinya.   Kata-kata “di tepi jurang Api” berarti peperangan, saling membinasakan yang di dalam peperangan itu orang-orang Arab senantiasa terlibat dan menghabiskan kaum pria mereka.
 Jurang api” pun dapat pula mengisyaratkan kepada “neraka jahannam” di akhirat, karena seandainya saja  bangsa Arab jahiliyah tidak beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw. maka pasti mereka di akhirat akan menjadi penghuni “neraka jahannam”, namun karena mereka beriman kepada beliau saw. maka bangsa jahiliyah tersebut telah  menjadi “umat terbaik” yang dijadikan untuk kepentingan seluruh manusia (QS.2:144; QS.3:111).
  Pendek kata, demikian luar biasa eratnya “persaudaraan ruhani” yang tercipta di kalangan bangsa Arab ketika mereka beriman dan patuh-taat sepenuhnya kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar Muhammad saw., padahal  keadaan mereka sebelumnya adalah bagaikan “tulang-belulang yang berserakan” (QS.17:50-53), tiba-tiba saja mereka menjadi “satu tubuh yang hidup” dalam “persaudaraan Muslim” yang hakiki, yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah berlimpah-ruahnya harta kekayaan duniawi, firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ  اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ  اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ  عَزِیۡزٌ  حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ  مِنَ  الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan  Dia telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini seluruhnya, engkau  sekali-kali tidak akan dapat menanamkan kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi, Allah mencukupi bagi engkau dan bagi  orang-orang yang mengikuti engkau di antara orang-orang beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).   

Perintah Melakukan Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
Secara “Ber-Jama’ah

  Setelah memperingatkan orang-orang Islam mengenai pentingnya memiliki ketakwaan yang hakiki dan pentingnya berpegang teguh pada “tali Allah”, sehingga umat Islam tetap merupakan satu Jama’ah Ilahi yang dipimpin oleh seorang Imam (pemimpin) atau Khalifah Nabi Besar Muhammad saw. yang senantiasa mendapat petunjuk Allah Swt. melalui wahyu-wahyu-Nya.
       Mengenai pentingnya hal tersebut dalam ayat   selanjutnya  Allah Swt. berfirman: وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ  الۡمُفۡلِحُوۡنَ  --  “Dan hendaklah ada segolongan di antara kamu yang senantiasa menyeru manusia kepada kebaikan, menyuruh kepada yang makruf,  melarang dari berbuat munkar, dan mereka itulah orang-orang yang berhasil.”  (QS.3:105).
    Walau pun benar bahwa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar  merupakan kewajiban setiap pribadi orang-orang  bertakwa  tetapi  perintah dalam ayat tersebut bukan terbatas pada  perseorangan melainkan  suatu  umat atau  golongan atau kelompok atau jama’ah Muslim.
   Sejarah umat Islam membuktikan bahwa umat Islam benar-benar sebagai suatu Jamaah Muslim yang hakiki  hanya sampai masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a., sebab setelah itu Nabi Besar Muhammad saw. menyebut keadaan umat Islam sebagai masa mulkan jabbariyatan (kerajaan yang  memaksa/diktator) lalu bersambung dengan masa mulkan ‘āzhan (kerajaan yang menggigit/zalim).
   Setelah  umat Islam mengalami masa kegelapan  selama 1000 tahun tersebut (QS.32:6) kemudian  Nabi Besar Muhammad saw. bersabda mengenai keberadaan khilafatun-  ‘alā minhāj nubuwwat (khilafat berdasarkan kenabian) sebagaimana di masa para khulatarur-Rasyidin. Mengenai hal tersebut Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Telah berkata kepada kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, "Dawud bin Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata, "Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw., lalu  datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya berkata, "Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi saw." Hudzaifah berkata, "Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian, dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator (pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam".[HR. Imam Ahmad].
       Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. maka silsilah Khilafat ‘ala minhaj nubuwwah terhenti, dan selanjutnya dalam rangka pemeliharaan Al-Quran serta pemeliharaan isinya dari berbagai bentuk  penyimpangan (QS.15:10) Allah Swt. membangkitkan di setiap abad para mujaddid.

Para Mujaddid (Pembaharu) & ‘Ulama Pewaris   Nabi-nabi

      Dalam sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan) bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka pada setiap akhir seratus tahun”( HR Abu Dawud  - no. 4291).
   Sehubungan dengan hal tersebut  Imam Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada mereka sunnah-sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari (hadits-hadits) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam” (Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’”  - 10/46).
      Mengenai  siapa saja para mujaddid  yang muncul di setiap abad tersebut terdapat perbedaan pendapat, tetapi umumnya dipercayai bahwa mujaddid yang pertama adalah ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan para mujaddid lainnya antara lain adalah Imam Asy-Syafi’i; Hasan al-Bashri; Imam Ghazal  dan Sheikh ‘Abdul Qadir al-Jailani.
      Pada hakikatnya yang dimaksud dengan sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa “para ulama umatku seperti para nabi Bani Israil atau “para ‘ulama adalah pewaris para nabi” adalah merujuk kepada para mujaddid   yang juga wujud-wujud suci tersebut merupakan para wali Allah besar.  
       Melalui keberadaan para mujaddid  di setiap awal abad itulah  Allah Swt.  bukan saja memelihara Al-Quran dari berbagai bentuk  perusakan – baik dalam makna harfiyah mau pun makna ruhaniyah – tetapi juga membukakan khazanah-khazanah baru keruhanian  yang terkandung dalam Al-Quran yang diperlukan  pada  abad itu, sebagai realisasi dari firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ  وَ  اِنَّا  لَہٗ  لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya  Kami-lah Yang  menurunkan peringatan ini  dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya.  (Al-Hijr [5]:10).
      Janji mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan dalam ayat ini telah genap dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga sekalipun andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya, kenyataan ini saja niscaya sudah cukup membuktikan  bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah Swt..  
     Surah ini diturunkan di Mekkah (Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw.   beserta para pengikut beliau saw. sangat morat-marit keadaannya, dan musuh-musuh dengan mudah dapat menghancurkan agama  baru itu. Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap tenaga mereka guna menghancurkan Islam, dan mereka diperingatkan bahwa Allah Swt.  akan menggagalkan segala tipu-daya mereka sebab Dia sendirilah Penjaganya.
      Tantangan itu terbuka dan tidak samar-samar, sedangkan keadaan musuh kuat lagi kejam, kendatipun demikian Al-Quran tetap selamat dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan, serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan yang sempurna. Keistimewaan Al-Quran yang demikian itu tidak dimiliki oleh Kitab-kitab lainnya yang diwahyukan.
       Sir William Muir, sarjana ahli kritik yang tersohor, karena sikapnya memusuhi Islam, berkata: “Kita dapat menetapkan berdasarkan dugaan yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam Al-Quran itu asli dan merupakan gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami perubahan ...................... Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Alquran maupun dari luar, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan pergunakan ...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak mengalami perubahan itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah membandingkan hal-hal yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction to “The Life of Mohammad”).
       Prof. Noldeke, ahli ketimuran besar yang berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana Eropa untuk membuktikan adanya sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian, telah gagal” (Encyclopaedia Britannica.).  Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr. Mingana, beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari kelemahan dalam kemurnian teks Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran da'wa kitab itu, bahwa di antara semua kitab suci yang diwahyukan, hanya Al-Quranlah yang seluruhnya tetap kebal dari penyisipan atau campur-tangan manusia.

“Orang-orang yang Disucikan”  &
 Pembukaan Khazanah-khazanah Baru Al-Quran

      Kemudian mengenai pemeliharaan serta pembukaan  khazanah-khazanah baru kandungan Al-Quran yang sangat diperlukan manusia Allah Swt. berfirman:
اِنَّہٗ   لَقُرۡاٰنٌ   کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾   فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya itu  benar-benar   Al-Quran yang mulia, dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara, yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan.  (Al-Wāqi’ah [56]:78-80).
  Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara dan terjaga baik, merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia, tetapi selama 14 abad, tantang-an itu tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan. Tidak ada upaya yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela kemurnian teksnya.
  Tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh  Nabi Besar Muhammad saw.   kepada dunia empat belas abad yang lalu, telah sampai kepada kita tanpa perubahan barang satu huruf pun (Sir William Muir).
   Al-Quran adalah sebuah Kitab yang sangat terpelihara  dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan dalam ayat berikutnya. Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas yang terkandung dalam Al-Quran itu tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam.
    Itulah makna فِیۡ  کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ  --  “dalam  suatu kitab yang sangat terpelihara  yakni seperti halnya hukum alam, cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman. Atau, ayat ini dapat diartikan bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt. kepada manusia (QS.30:31).
 Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara jujur bertindak sesuai dengan naluri atau fitratnya  ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran Al-Quran.
 Selanjutnya Allah Swt. berfirman  لَّا  یَمَسُّہٗۤ  اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ  --  “yang tidak  dapat menyentuhnya kecuali orang-orang  yang disucikan”, yakni hanya  orang yang bernasib baik sajalah yang  diberi pengertian  mengenai dan   dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam alam rahasia ruhani makrifat Ilahi, yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.

‘Ulama Hakiki &  Ûlil Albāb (Orang-orang yang Berakal)

    Oleh karena itu sangat keliru jika  sabda Nabi Besar Muhammad saw.   bahwa “para ulama umatku seperti para nabi Bani Israil  atau “para ‘ulama adalah pewaris para nabi   ditujukan kepada  para ‘ulama Islam  secara umum, sebab menurut Allah Swt. yang berhak disebut sebagai ‘ulama hakiki yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini adalah mereka yang benar-benar takut kepada Allah Swt.:
اَلَمۡ  تَرَ  اَنَّ اللّٰہَ  اَنۡزَلَ مِنَ  السَّمَآءِ  مَآءً ۚ فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ  مُّخۡتَلِفًا  اَلۡوَانُہَا ؕ وَ مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ  بِیۡضٌ وَّ حُمۡرٌ  مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ غَرَابِیۡبُ سُوۡدٌ ﴿﴾  وَ مِنَ النَّاسِ وَ الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ  کَذٰلِکَ ؕ اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ عِبَادِہِ  الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَزِیۡزٌ  غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah engkau tidak melihat  bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan Kami mengeluarkan dengan air itu buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung ada garis-garis putih,   merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada yang sehitam burung gagak?  Dan demikian juga di antara manusia,  hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya. Sesungguhnya  dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah adalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir [35]:28-29).
      Ayat 28  bermaksud mengatakan, bahwa bila hujan turun di atas tanah yang kering dan gersang, maka air hujan itu menimbulkan aneka ragam tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang warna warni serta aneka cita rasa, dan bentuk serta corak yang berlainan.
     Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang dihasilkan sangat berbeda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat dalam Al-Quran telah diibaratkan air — turun kepada suatu kaum dengan perantaran  seorang rasul Allah, maka wahyu itu menimbulkan berbagai-bagai akibat pada bermacam-macam manusia menurut keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara mereka menerimanya.
    Dalam ayat selanjutnya dijelaskan bahwa keaneka-ragaman yang indah sekali dalam bentuk, warna, dan corak, yang telah dikemukakan dalam ayat sebelumnya tidak hanya terdapat pada bunga, buah, dan batu karang, akan tetapi juga pada manusia, binatang buas dan ternak.
      Kata an-nās (manusia), ad-dawāb (binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan manusia dengan bermacam-macam kesanggupan, pembawaan, dan kecenderungan alami.
     Ungkapan “Sesungguhnya dari antara hamba-hambanya yang takut kepada Allah dari  adalah para ulama” memberikan bobot arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia,  dan menurut Allah Swt.  di antara mereka itu hanya ‘ulama – yakni mereka yang dikaruniai ilmu   --  saja yang takut kepada Tuhan.
      Akan tetapi di sini ilmu itu tidak seharusnya selalu berarti ilmu keruhanian atau ilmu keagamaan saja akan tetapi juga pengetahuan  hukum alam. Penyelidikan yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya niscaya membawa orang kepada makrifat mengenai kekuasaan Maha Besar Allah Ta’ala dan sebagai akibat-nya merasa kagum dan takzim terhadap Tuhan.
     Mereka itulah yang dalam Al-Quran disebut ūlul albāb (orang-orang yang berakal), karena melalui bashirah (penglihatan ruhani) yang mereka miliki,   setelah  membaca tanda-tanda alam mau pun tanda-tanda zaman   mereka berhasil mengambil kesimpulan     bahwa Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah kepada mereka dalam Kitab-kitab suci -- termasuk dalam Kitab Suci  Al-Quran – benar-benar telah datang dan mereka pun beriman kepadanya (QS.3:191-195).

 (Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar,  9  Juli  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar