بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 195
Golongan (Umat) Pelaksana Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar
& ’Ulama Hakiki “Pewaris Para Nabi”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
D
|
alam akhir
Bab sebelumnya telah dikemukakan
mengenai makna ayat-ayat QS.3:103-104, yakni یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا
اللّٰہَ حَقَّ تُقٰتِہٖ وَ لَا تَمُوۡتُنَّ اِلَّا وَ اَنۡتُمۡ مُّسۡلِمُوۡنَ
-- “Hai orang-orang yang beriman,
bertakwalah kepada Allah dengan takwa yang sebenar-benarnya, dan janganlah
sekali-kali kamu mati kecuali kamu dalam keadaan berserah diri.” (Ali ‘Imran [3]:103-109),
mengisyaratkan kepada pentingnya orang-orang yang beriman memiliki ketakwaan
yang hakiki, salah satu tandanya adalah bahwa karena kedatangan
saat kematian tidak diketahui, maka orang-orang
beriman dapat berkeyakinan akan mati dalam keadaan berserah diri kepada Allah Swt.
hanya bila diri mereka senantiasa tetap dalam keadaan menyerahkan diri kepada-Nya. Jadi ungkapan itu mengandung arti
bahwa orang-orang beriman harus senantiasa tetap
patuh kepada Allah Swt..
Ayat selanjutnya menjelaskan
وَ اعۡتَصِمُوۡا بِحَبۡلِ اللّٰہِ جَمِیۡعًا وَّ لَا تَفَرَّقُوۡا -- “Dan berpegangteguhlah kamu sekalian pada
tali Allah, janganlah
kamu berpecah-belah.” Habl
berarti: seutas tali atau pengikat yang dengan itu sebuah benda diikat atau dikencangkan; suatu ikatan,
suatu perjanjian atau permufakatan; suatu kewajiban yang
karenanya kita menjadi bertanggung jawab untuk keselamatan seseorang atau suatu
barang; persekutuan dan perlindungan (Lexicon
Lane). Nabi Besar Muhammad saw. diriwayatkan telah bersabda: “Kitab
Allah itu tali Allah yang telah diulurkan dari langit ke bumi” (Tafsir Ibnu Jarir, IV, 30).
“Tali Allah” pun dapat mengisyaratkan
kepada wujud Rasul Allah, sebab melalui pengutusan Rasul Allah itulah
terbentuknya suatu Jama’ah (Jemaat)
orang-orang beriman, sebagaimana
yang terjadi di kalangan bangsa Arab
ketika mereka beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw., firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini
seluruhnya, engkau sekali-kali tidak akan dapat menanamkan
kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi, Allah
mencukupi bagi engkau dan bagi orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
“Tulang Belulang Berserakan”
Menjadi “Satu Tubuh yang Utuh”
Selanjutnya Allah Swt. berfirman وَ اذۡکُرُوۡا نِعۡمَتَ اللّٰہِ عَلَیۡکُمۡ اِذۡ
کُنۡتُمۡ اَعۡدَآءً فَاَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِکُمۡ
فَاَصۡبَحۡتُمۡ بِنِعۡمَتِہٖۤ اِخۡوَانًا --
“dan ingatlah
akan nikmat Allah atas kamu ketika kamu dahulu bermusuh-musuhan lalu Dia
menyatukan hati kamu dengan kecintaan
antara satu sama lain maka
dengan nikmat-Nya itu kamu
menjadi bersaudara.”
Sangat
sukar kita mendapatkan suatu kaum
yang terpecah-belah lebih daripada orang-orang Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. di tengah mereka, tetapi dalam pada itu
sejarah umat manusia tidak dapat mengemukakan satu contoh pun ikatan persaudaraan penuh cinta yang
menjadikan orang-orang Arab telah bersatu-padu, berkat ajaran dan teladan luhur lagi mulia Junjungan
Agung mereka, Nabi Besar Muhammad saw..
Selanjutnya
Allah Swt. berfirman mengenai keadaan sangat membahayakan yang dihadapi
bangsa Arab sebelum kedatangan Nabi Besar Muhammad saw. وَ کُنۡتُمۡ عَلٰی شَفَا حُفۡرَۃٍ مِّنَ النَّارِ فَاَنۡقَذَکُمۡ مِّنۡہَا -- “dan kamu
dahulu berada di tepi jurang Api lalu Dia
menyelamatkan kamu darinya.” Kata-kata
“di tepi jurang Api” berarti peperangan, saling membinasakan yang di
dalam peperangan itu orang-orang Arab senantiasa terlibat dan menghabiskan kaum
pria mereka.
“Jurang
api” pun dapat pula mengisyaratkan kepada “neraka jahannam” di akhirat, karena
seandainya saja bangsa Arab jahiliyah tidak beriman kepada Nabi Besar Muhammad
saw. maka pasti mereka di akhirat
akan menjadi penghuni “neraka jahannam”, namun karena mereka beriman kepada
beliau saw. maka bangsa jahiliyah
tersebut telah menjadi “umat terbaik” yang dijadikan untuk
kepentingan seluruh manusia (QS.2:144; QS.3:111).
Pendek kata, demikian luar biasa eratnya “persaudaraan ruhani” yang tercipta di
kalangan bangsa Arab ketika mereka beriman dan patuh-taat sepenuhnya kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar
Muhammad saw., padahal keadaan mereka
sebelumnya adalah bagaikan “tulang-belulang
yang berserakan” (QS.17:50-53), tiba-tiba saja mereka menjadi “satu tubuh yang hidup” dalam “persaudaraan Muslim” yang hakiki, yang
sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah berlimpah-ruahnya harta kekayaan duniawi, firman-Nya:
وَ اَلَّفَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ ؕ لَوۡ اَنۡفَقۡتَ مَا
فِی الۡاَرۡضِ جَمِیۡعًا مَّاۤ اَلَّفۡتَ بَیۡنَ قُلُوۡبِہِمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ اَلَّفَ بَیۡنَہُمۡ ؕ اِنَّہٗ عَزِیۡزٌ
حَکِیۡمٌ ﴿﴾ یٰۤاَیُّہَا النَّبِیُّ حَسۡبُکَ
اللّٰہُ وَ مَنِ اتَّبَعَکَ مِنَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ﴿٪﴾
Dan Dia
telah menanamkan kecintaan di antara hati mereka, seandainya engkau membelanjakan yang ada di bumi ini
seluruhnya, engkau sekali-kali tidak akan dapat menanamkan
kecintaan di antara hati mereka, tetapi Allah telah menanamkan kecintaan di antara mereka, sesungguhnya Dia Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Hai Nabi, Allah mencukupi bagi engkau dan bagi
orang-orang
yang mengikuti engkau di antara orang-orang
beriman. (Al-Anfāl [8]:64-65).
Perintah Melakukan Amar
Ma’ruf dan Nahi Munkar
Secara “Ber-Jama’ah”
Setelah memperingatkan
orang-orang Islam mengenai pentingnya memiliki ketakwaan yang hakiki
dan pentingnya berpegang teguh pada
“tali Allah”, sehingga umat Islam tetap merupakan satu Jama’ah Ilahi yang dipimpin oleh seorang Imam (pemimpin) atau Khalifah
Nabi Besar Muhammad saw. yang senantiasa mendapat petunjuk Allah Swt. melalui wahyu-wahyu-Nya.
Mengenai pentingnya hal tersebut dalam
ayat selanjutnya Allah Swt. berfirman: وَلۡتَکُنۡ مِّنۡکُمۡ اُمَّۃٌ یَّدۡعُوۡنَ اِلَی الۡخَیۡرِ وَ یَاۡمُرُوۡنَ بِالۡمَعۡرُوۡفِ وَ یَنۡہَوۡنَ عَنِ الۡمُنۡکَرِ ؕ وَ اُولٰٓئِکَ ہُمُ
الۡمُفۡلِحُوۡنَ
-- “Dan hendaklah ada segolongan di antara kamu yang senantiasa menyeru manusia
kepada kebaikan, menyuruh
kepada yang makruf, melarang dari berbuat
munkar, dan mereka itulah
orang-orang yang berhasil.”
(QS.3:105).
Walau pun benar bahwa melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar merupakan kewajiban setiap pribadi
orang-orang bertakwa tetapi perintah
dalam ayat tersebut bukan terbatas pada perseorangan melainkan suatu umat atau golongan
atau kelompok atau jama’ah Muslim.
Sejarah umat Islam membuktikan bahwa umat Islam benar-benar sebagai suatu Jamaah Muslim yang hakiki hanya sampai masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib r.a., sebab setelah itu Nabi Besar
Muhammad saw. menyebut keadaan umat Islam sebagai masa mulkan jabbariyatan (kerajaan yang
memaksa/diktator) lalu bersambung dengan masa mulkan ‘āzhan (kerajaan yang menggigit/zalim).
Setelah
umat Islam mengalami masa kegelapan selama 1000 tahun tersebut (QS.32:6) kemudian Nabi Besar Muhammad saw. bersabda mengenai keberadaan
khilafatun- ‘alā minhāj nubuwwat (khilafat
berdasarkan kenabian) sebagaimana di masa para khulatarur-Rasyidin. Mengenai hal tersebut Imam Ahmad meriwayatkan:
حَدَّثَنَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُدَ الطَّيَالِسِيُّ حَدَّثَنِي دَاوُدُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ الْوَاسِطِيُّ حَدَّثَنِي حَبِيبُ بْنُ سَالِمٍ عَنِ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ كُنَّا قُعُودًا فِي الْمَسْجِدِ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَكَانَ بَشِيرٌ رَجُلًا يَكُفُّ حَدِيثَهُ فَجَاءَ أَبُو ثَعْلَبَةَ الْخُشَنِيُّ فَقَالَ يَا بَشِيرُ بْنَ سَعْدٍ أَتَحْفَظُ حَدِيثَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْأُمَرَاءِ فَقَالَ حُذَيْفَةُ أَنَا أَحْفَظُ خُطْبَتَهُ فَجَلَسَ أَبُو ثَعْلَبَةَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Telah berkata kepada
kami Sulaiman bin Dawud al-Thayaalisiy; di mana ia berkata, "Dawud bin
Ibrahim al-Wasithiy telah menuturkan hadits kepadaku (Sulaiman bin Dawud
al-Thayalisiy). Dan Dawud bin Ibrahim berkata, "Habib bin Salim telah
meriwayatkan sebuah hadits dari Nu’man bin Basyir; dimana ia berkata,
"Kami sedang duduk di dalam Masjid bersama Nabi saw., lalu datanglah Abu Tsa’labah al-Khusyaniy seraya
berkata, "Wahai Basyir bin Sa’ad, apakah kamu hafal hadits Nabi saw yang
berbicara tentang para pemimpin? Hudzaifah menjawab, "Saya hafal khuthbah Nabi
saw." Hudzaifah berkata,
"Nabi saw bersabda, "Akan datang kepada kalian masa kenabian,
dan atas kehendak Allah masa itu akan datang. Kemudian, Allah akan
menghapusnya, jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa
Kekhilafahan ‘ala Minhaaj al-Nubuwwah; dan atas kehendak Allah masa itu akan
datang. Lalu, Allah menghapusnya jika Ia berkehendak menghapusnya. Setelah itu,
akan datang kepada kalian, masa raja menggigit (raja yang dzalim), dan atas
kehendak Allah masa itu akan datang. Lalu, Allah menghapusnya, jika Ia
berkehendak menghapusnya. Setelah itu, akan datang masa raja dictator
(pemaksa); dan atas kehendak Allah masa itu akan datang; lalu Allah akan
menghapusnya jika berkehendak menghapusnya. Kemudian, datanglah masa Khilafah
‘ala Minhaaj al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah
itu, beliau diam".[HR. Imam
Ahmad].
Dengan terbunuhnya Khalifah Ali bin Abu Thalib r.a. maka silsilah Khilafat ‘ala minhaj nubuwwah terhenti, dan selanjutnya dalam
rangka pemeliharaan Al-Quran serta pemeliharaan isinya dari berbagai
bentuk penyimpangan (QS.15:10) Allah Swt. membangkitkan di setiap abad
para mujaddid.
Para Mujaddid
(Pembaharu) & ‘Ulama Pewaris Nabi-nabi
Dalam
sebuah hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“إِنَّ اللَّهَ يَبْعَثُ لِهَذِهِ الأُمَّةِ عَلَى رَأْسِ كُلِّ
مِائَةِ سَنَةٍ مَنْ يُجَدِّدُ لَهَا دِينَهَا”
“Sesungguhnya Allah akan mengutus (menghadirkan)
bagi umat ini (umat Islam) orang yang akan memperbaharui (urusan) agama mereka
pada setiap akhir seratus tahun”( HR Abu Dawud - no. 4291).
Sehubungan dengan hal tersebut Imam
Ahmad bin Hambal berkata, “Sesungguhnya Allah akan menghadirkan bagi umat
manusia, pada setiap akhir seratus tahun orang yang akan mengajarkan kepada
mereka sunnah-sunnah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang
banyak telah ditinggalkan manusia) dan menghilangkan/memberantas kedustaan dari
(hadits-hadits)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam”
(Dinukil oleh Imam adz-Dzahabi dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” - 10/46).
Mengenai
siapa saja para mujaddid yang muncul di setiap abad tersebut terdapat
perbedaan pendapat, tetapi umumnya dipercayai bahwa mujaddid yang pertama adalah ‘Umar
bin ‘Abdul ‘Aziz, sedangkan para mujaddid lainnya antara lain adalah Imam Asy-Syafi’i; Hasan al-Bashri; Imam Ghazal dan Sheikh
‘Abdul Qadir al-Jailani.
Pada
hakikatnya yang dimaksud dengan sabda Nabi Besar Muhammad saw. bahwa “para ulama umatku seperti para nabi Bani
Israil” atau “para ‘ulama adalah pewaris para nabi” adalah merujuk kepada para mujaddid yang juga wujud-wujud suci tersebut merupakan
para wali Allah besar.
Melalui keberadaan para mujaddid
di setiap awal abad itulah Allah
Swt. bukan saja memelihara Al-Quran dari berbagai bentuk perusakan
– baik dalam makna harfiyah mau pun
makna ruhaniyah – tetapi juga
membukakan khazanah-khazanah baru
keruhanian yang terkandung dalam
Al-Quran yang diperlukan pada abad itu, sebagai realisasi dari firman-Nya:
اِنَّا نَحۡنُ نَزَّلۡنَا الذِّکۡرَ
وَ اِنَّا لَہٗ
لَحٰفِظُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
Kami-lah Yang menurunkan
peringatan ini dan sesungguhnya Kami-lah pemeliharanya. (Al-Hijr [5]:10).
Janji
mengenai perlindungan dan penjagaan Al-Quran yang diberikan dalam
ayat ini telah genap dengan cara yang sangat menakjubkan, sehingga sekalipun
andaikata tidak ada bukti-bukti lainnya, kenyataan ini saja niscaya sudah cukup
membuktikan bahwa Al-Quran itu berasal dari Allah Swt..
Surah ini diturunkan di Mekkah
(Noldeke pun mengakuinya), ketika kehidupan Nabi Besar Muhammad saw. beserta para pengikut beliau saw. sangat morat-marit keadaannya, dan musuh-musuh
dengan mudah dapat menghancurkan agama baru itu. Ketika itulah orang-orang kafir ditantang untuk mengerahkan segenap
tenaga mereka guna menghancurkan Islam,
dan mereka diperingatkan bahwa Allah
Swt. akan menggagalkan segala tipu-daya mereka sebab Dia
sendirilah Penjaganya.
Tantangan itu terbuka dan tidak
samar-samar, sedangkan keadaan musuh kuat lagi kejam, kendatipun demikian Al-Quran
tetap selamat dari perubahan, penyisipan, dan pengurangan, serta senantiasa terus-menerus menikmati penjagaan yang sempurna. Keistimewaan
Al-Quran yang demikian itu tidak dimiliki oleh Kitab-kitab lainnya yang
diwahyukan.
Sir William Muir, sarjana ahli
kritik yang tersohor, karena sikapnya memusuhi Islam, berkata: “Kita dapat
menetapkan berdasarkan dugaan yang paling keras, bahwa tiap-tiap ayat dalam
Al-Quran itu asli dan merupakan gubahan Muhammad sendiri yang tidak mengalami
perubahan ...................... Ada jaminan yang kuat, baik dari dalam Alquran
maupun dari luar, bahwa kita memiliki teks yang Muhammad sendiri siarkan dan
pergunakan ...................... Membandingkan teks asli mereka yang tidak
mengalami perubahan itu dengan berbagai naskah kitab-kitab suci kita, adalah
membandingkan hal-hal yang antaranya tidak ada persamaan (Introduction to “The Life of Mohammad”).
Prof. Noldeke, ahli ketimuran besar yang
berkebangsaan Jerman menulis sebagai berikut, “Usaha-usaha dari para sarjana
Eropa untuk membuktikan adanya sisipan-sisipan dalam Al-Quran di masa kemudian,
telah gagal” (Encyclopaedia Britannica.). Kebalikannya, kegagalan mutlak dari Dr.
Mingana, beberapa tahun berselang, untuk mencari-cari kelemahan dalam kemurnian
teks Al-Quran, membuktikan dengan pasti kebenaran da'wa kitab itu, bahwa di
antara semua kitab suci yang diwahyukan, hanya Al-Quranlah yang seluruhnya
tetap kebal dari penyisipan atau campur-tangan manusia.
“Orang-orang yang Disucikan” &
Pembukaan Khazanah-khazanah Baru Al-Quran
Kemudian mengenai pemeliharaan serta pembukaan
khazanah-khazanah
baru kandungan Al-Quran yang sangat diperlukan manusia Allah Swt.
berfirman:
اِنَّہٗ لَقُرۡاٰنٌ کَرِیۡمٌ ﴿ۙ﴾ فِیۡ
کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ ﴿ۙ﴾ لَّا یَمَسُّہٗۤ
اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Sesungguhnya
itu benar-benar Al-Quran
yang mulia, dalam suatu
kitab yang sangat terpelihara, yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan. (Al-Wāqi’ah
[56]:78-80).
Bahwa Al-Quran itu sebuah Kitab wahyu Ilahi yang terpelihara
dan terjaga baik, merupakan tantangan terbuka kepada seluruh dunia,
tetapi selama 14 abad, tantang-an itu
tetap tidak terjawab atau tidak mendapat sambutan. Tidak ada upaya
yang telah disia-siakan para pengecam yang tidak bersahabat untuk mencela
kemurnian teksnya.
Tetapi semua daya upaya ke arah ini telah membawa
kepada satu-satunya hasil yang tidak terelakkan – walaupun tidak enak dirasakan
oleh musuh-musuh – bahwa kitab yang disodorkan oleh Nabi Besar Muhammad saw. kepada dunia empat belas abad yang
lalu, telah sampai kepada kita tanpa
perubahan barang satu huruf pun (Sir William Muir).
Al-Quran adalah sebuah
Kitab yang sangat terpelihara dalam pengertian bahwa hanya orang-orang beriman yang hatinya bersih dapat meraih khazanah keruhanian seperti diterangkan
dalam ayat berikutnya. Ayat ini pun dapat berarti bahwa cita-cita dan asas-asas
yang terkandung dalam Al-Quran itu
tercantum di dalam kitab alam, yaitu cita-cita dan asas-asas itu sepenuhnya serasi dengan hukum alam.
Itulah makna فِیۡ کِتٰبٍ مَّکۡنُوۡنٍ -- “dalam suatu kitab yang sangat terpelihara”
yakni seperti halnya hukum alam,
cita-cita dan asas-asas itu juga kekal dan tidak berubah serta hukum-hukumnya tidak dapat dilanggar tanpa menerima hukuman. Atau, ayat ini dapat diartikan
bahwa Al-Quran dipelihara dalam fitrat yang telah dianugerahkan Allah Swt.
kepada manusia (QS.30:31).
Fitrat insani berlandaskan pada hakikat-hakikat
dasar dan telah dilimpahi kemampuan untuk sampai kepada keputusan yang benar. Orang yang secara
jujur bertindak sesuai dengan naluri
atau fitratnya ia dengan mudah dapat mengenal kebenaran
Al-Quran.
Selanjutnya Allah Swt.
berfirman لَّا یَمَسُّہٗۤ اِلَّا الۡمُطَہَّرُوۡنَ -- “yang
tidak
dapat menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan”, yakni hanya orang yang bernasib baik sajalah yang
diberi pengertian mengenai dan dapat mendalami kandungan arti Al-Quran yang hakiki, melalui cara menjalani kehidupan bertakwa lalu meraih kebersihan hati dan dimasukkan ke dalam
alam rahasia ruhani makrifat Ilahi,
yang tertutup bagi orang-orang yang hatinya
tidak bersih. Secara sambil lalu dikatakannya bahwa kita hendaknya jangan
menyentuh atau membaca Al-Quran sementara keadaan fisik kita tidak bersih.
‘Ulama Hakiki & Ûlil Albāb (Orang-orang yang Berakal)
Oleh karena itu sangat keliru jika sabda
Nabi Besar Muhammad saw. bahwa “para ulama umatku seperti para nabi Bani
Israil” atau “para ‘ulama adalah pewaris para nabi” ditujukan
kepada para ‘ulama Islam secara umum,
sebab menurut Allah Swt. yang berhak disebut sebagai ‘ulama hakiki yang dikemukakan dalam firman-Nya berikut ini adalah
mereka yang benar-benar takut kepada
Allah Swt.:
اَلَمۡ تَرَ
اَنَّ اللّٰہَ اَنۡزَلَ مِنَ السَّمَآءِ
مَآءً ۚ فَاَخۡرَجۡنَا بِہٖ ثَمَرٰتٍ
مُّخۡتَلِفًا اَلۡوَانُہَا ؕ وَ
مِنَ الۡجِبَالِ جُدَدٌۢ بِیۡضٌ وَّ
حُمۡرٌ مُّخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہَا وَ
غَرَابِیۡبُ سُوۡدٌ ﴿﴾ وَ مِنَ النَّاسِ وَ
الدَّوَآبِّ وَ الۡاَنۡعَامِ مُخۡتَلِفٌ اَلۡوَانُہٗ کَذٰلِکَ ؕ اِنَّمَا یَخۡشَی اللّٰہَ مِنۡ
عِبَادِہِ الۡعُلَمٰٓؤُا ؕ اِنَّ اللّٰہَ
عَزِیۡزٌ غَفُوۡرٌ ﴿﴾
Apakah
engkau tidak melihat bahwasanya Allah menurunkan air dari awan, dan Kami mengeluarkan dengan air itu
buah-buahan yang beraneka warnanya. Dan di gunung-gunung ada garis-garis putih, merah dengan beraneka macam warnanya, dan ada
yang sehitam burung gagak? Dan demikian juga di antara manusia, hewan berkaki empat dan binatang ternak bermacam-macam warnanya.
Sesungguhnya dari antara hamba-hamba-Nya yang takut kepada Allah
adalah ulama. Sesungguhnya
Allah Maha Perkasa, Maha Pengampun. (Al-Fāthir [35]:28-29).
Ayat 28 bermaksud mengatakan, bahwa bila hujan turun di atas tanah yang kering
dan gersang, maka air hujan itu
menimbulkan aneka ragam tanam-tanaman,
bunga-bungaan, dan buah-buahan
yang warna warni serta aneka cita rasa, dan bentuk serta corak yang berlainan.
Air hujannya sama tetapi tanam-tanaman, bunga-bungaan, dan buah-buahan yang
dihasilkan sangat berbeda satu sama
lain. Perbedaan-perbedaan itu mungkin sekali dikarenakan sifat yang dimiliki tanah
dan benih. Demikian pula manakala wahyu Ilahi — yang pada beberapa tempat
dalam Al-Quran telah diibaratkan air
— turun kepada suatu kaum dengan perantaran
seorang rasul Allah, maka wahyu itu menimbulkan berbagai-bagai akibat pada
bermacam-macam manusia menurut
keadaan “tanah” (hati) mereka dan cara mereka menerimanya.
Dalam
ayat selanjutnya dijelaskan bahwa keaneka-ragaman
yang indah sekali dalam bentuk, warna, dan corak, yang telah dikemukakan
dalam ayat sebelumnya tidak hanya terdapat pada bunga, buah, dan batu karang,
akan tetapi juga pada manusia,
binatang buas dan ternak.
Kata an-nās (manusia), ad-dawāb
(binatang buas) dan al-an’ām (binatang ternak) dapat juga melukiskan
manusia dengan bermacam-macam kesanggupan, pembawaan, dan kecenderungan alami.
Ungkapan “Sesungguhnya dari antara hamba-hambanya yang takut kepada
Allah dari adalah para ulama”
memberikan bobot arti kepada pandangan bahwa ketiga kata itu menggambarkan tiga golongan manusia, dan menurut Allah Swt. di antara mereka itu hanya ‘ulama – yakni mereka yang dikaruniai ilmu -- saja
yang takut kepada Tuhan.
Akan tetapi di sini ilmu itu
tidak seharusnya selalu berarti ilmu
keruhanian atau ilmu keagamaan
saja akan tetapi juga pengetahuan hukum alam. Penyelidikan yang seksama terhadap alam dan hukum-hukumnya niscaya membawa orang kepada makrifat mengenai kekuasaan
Maha Besar Allah Ta’ala dan sebagai akibat-nya merasa kagum dan takzim terhadap Tuhan.
Mereka itulah yang dalam Al-Quran
disebut ūlul albāb (orang-orang yang
berakal), karena melalui bashirah
(penglihatan ruhani) yang mereka miliki,
setelah membaca tanda-tanda
alam mau pun tanda-tanda zaman mereka
berhasil mengambil kesimpulan bahwa
Rasul Allah yang kedatangannya dijanjikan Allah kepada mereka dalam
Kitab-kitab suci -- termasuk dalam Kitab Suci
Al-Quran – benar-benar telah
datang dan mereka pun beriman kepadanya
(QS.3:191-195).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 9 Juli
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar