Selasa, 08 Januari 2013

Tauhid Ilahi Tidak Bisa Dikompromikan




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 29

     Tauhid Ilahi  
Tidak Bisa Dikompromikan
  
Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab  sebelumnya telah dikemukakan mengenai  dialog masalah Ketuhanan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. antara delegasi utusan orang-orang Kristen dari Najran dengan Nabi Besar Muhammad saw., yang dilakukan dalam mesjid Nabawi di Madinah dalam suasana yang damai dan penuh toleransi, hal tersebut  merupakan salah satu bukti bahwa ajaran Islam (Al-Quran) yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad  Saw. tidak menyukai cara-cara kekerasan dan pemaksaan kehendak  (QS.5:4; QS.9:6),    firman-Nya:
اِنَّ مَثَلَ عِیۡسٰی عِنۡدَ اللّٰہِ کَمَثَلِ اٰدَمَ ؕ خَلَقَہٗ مِنۡ تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَہٗ  کُنۡ فَیَکُوۡنُ ﴿﴾  اَلۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُنۡ مِّنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾   فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ اَبۡنَآءَکُمۡ وَ نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟ ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ فَنَجۡعَلۡ لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾   اِنَّ ہٰذَا لَہُوَ الۡقَصَصُ الۡحَقُّ ۚ وَ مَا مِنۡ  اِلٰہٍ  اِلَّا اللّٰہُ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾   فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌۢ  بِالۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya misal penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti misal penciptaan Adam. Dia menjadikannya dari debu  kemudian Dia berfirman kepadanya: “Jadilah!”  maka  terjadilah ia.   Kebenaran ini dari Tuhan engkau maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang ragu. Tetapi barangsiapa membantah engkau mengenainya setelah datang kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah kita panggil anak-anak laki-laki kami dan anak-anak laki-laki kamu,  perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, orang-orang kami dan orang-orang kamu, kemudian kita   berdoa supaya  laknat Allah menimpa orang-orang yang berdusta.”   Sesungguhnya ini benar-benar  kisah yang haq, dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Allah,  Dia benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Lalu jika mereka berpaling maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah Maha Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan.   (Ali ‘Imran [3]:60-64).
     Dalam ayat 60 Allah Swt. menegaskan bahwa tidak ada keistimewaan apa pun dalam kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. yang dilahirkan tanpa ayah – sehingga harus dipertuhankan – sebab dalam kenyataannya beliau diciptakan dan dilahirkan melalui rahim seorang perempuan (Maryam binti ‘Imran), sama seperti bayi-bayi manusia lainnya yang juga mendapat makanan dalam rahim yang  berasal dari sari-sari “tanah” yang dimakan ibunya.
    Pembahasan ajaran Kristen yang digarap oleh Surah Ali ‘Imran   telah berakhir dalam ayat 62. Rujukan  ayat itu, seperti telah disebut di atas, tertuju kepada suatu delegasi  utusan orang-orang Kristen dari Najran, terdiri atas 40 orang dipimpin oleh kepala kabilah mereka ‘Abd-al-Masih, yang terkenal dengan nama Al-’Āqib. Mereka menjumpai Nabi Besar Muhammad saw. di masjid beliau di Madinah,  dan melakukan dialog  tentang akidah yang dinamakan mereka ketuhanan Isa berlangsung beberapa lama.

Menolak Melakukan Mubahalah (Pertandingan Doa) &
Kriteria “Tuhan Yang Hakiki

     Ketika masalahnya telah dibahas secukupnya dan para anggota delegasi Kristen ternyata masih tetap berpegang pada ajaran mereka, maka Nabi Besar Muhammad saw.  mematuhi perintah Ilahi yang tercantum dalam ayat 62, sebagai langkah penghabisan mengajak mereka untuk ikut serta dengan beliau saw. dalam semacam adu kekuatan doa dan yang secara teknis disebut mubahalah, yakni menyeru agar kutukan Allah Swt.    menimpa penganut kepercayaan palsu, firman-Nya:     
فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ اَبۡنَآءَکُمۡ وَ نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟ ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ فَنَجۡعَلۡ لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾ 
Tetapi barangsiapa membantah engkau mengenainya setelah datang kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah kita panggil anak-anak laki-laki kami dan anak-anak laki-laki kamu,  perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuanmu, orang-orang kami dan orang-orangmu, kemudian kita   berdoa supaya  laknat Allah menimpa orang-orang yang berdusta.”   Sesungguhnya ini benar-benar  kisah yang haq, dan sekali-kali tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah, dan sesungguhnya Allah,  Dia benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana. (Ali ‘Imran [3]:62).
     Tetapi karena delegasi  orang-orang Kristen  dari Najran tersebut  tidak merasa yakin mengenai dasar kepercayaan mereka tentang Ketuhanan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., maka mereka menolak menerima tantangan Nabi Besar Muhammad Saw. – yang apabila “cara meminta keputusan Allah Swt.” tersebut dilaksanakan sama sekali tidak akan menimbulkan kerusuhan dan pertumpahan darah – maka dengan demikian secara tidak langsung penolakan  tersebut mengakhiri dan membuktikan  kepalsuan akidah mereka (Zurqani).
      Secara sambil lalu baiklah disebutkan bahwa sewaktu berlangsung tukar pikiran (dialog) dengan delegasi Kristen dari Najran itu, Nabi Besar Muhammad saw. mengizinkan mereka melakukan sembahyang di masjid beliau saw. dengan cara mereka sendiri, dan mereka melakukan dengan menghadap ke timur, suatu sikap toleransi keagamaan yang tiada taranya, dalam sejarah agama (Zurqani).
   Selanjutnya  Allah Swt. berfirman mengenai tidak perlu adanya tindak pemaksaan dan kekerasan dalam masalah agama (QS.5:4; QS.9:6) sehingga  keamanan dan kedamaian antara sesama umat beragama dapat tetap terpelihara:
قُلۡ یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ تَعَالَوۡا اِلٰی کَلِمَۃٍ سَوَآءٍۢ  بَیۡنَنَا وَ بَیۡنَکُمۡ اَلَّا نَعۡبُدَ اِلَّا اللّٰہَ وَ لَا نُشۡرِکَ بِہٖ شَیۡئًا وَّ لَا یَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَقُوۡلُوا اشۡہَدُوۡا بِاَنَّا مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Hai Ahlul Kitab, marilah kepada satu kalimat yang sama di antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah kecuali kepada Allah, dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun, dan  sebagian kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.” Tetapi jika mereka berpaling maka katakanlah: “Jadi saksilah bahwa sesungguhnya kami orang-orang yang berserah diri kepada Allah.” (Ali ‘Imran [3]:65).
      Berikut adalah gambaran Tauhid Ilahi – yakni ke-Maha Esa-an Allah Swt. – yang dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Quran, sebagai standar yang paling utama apa sesuatu yang dipertuhankan manusia  itu benar-benar Tuhan Yang hakiki atau hanyalah makhluk yang dipertuhankan, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾  قُلۡ ہُوَ  اللّٰہُ  اَحَدٌ  ۚ﴿﴾  اَللّٰہُ  الصَّمَدُ ۚ﴿﴾  لَمۡ  یَلِدۡ ۬ۙ  وَ  لَمۡ  یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾  وَ  لَمۡ  یَکُنۡ  لَّہٗ   کُفُوًا  اَحَدٌ ٪﴿﴾
Aku baca  dengan nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Dia-lah  Allah   Yang Maha Esa.   Allah, adalah Tuhan Yang segala sesuatu bergantung pada-Nya.  Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan,  dan tidak ada sesuatu pun yang setara  dengan-Nya.” (Al-Ikhlash [112]:1-5). 

Bukan   Kompromi Kepercayaan  

   Ayat QS.3:65 sebelumnya  dengan keliru dianggap oleh sementara orang seakan-akan mem-berikan dasar untuk mencapai suatu kompromi antara Islam di satu pihak dan Kristen serta agama Yahudi di lain pihak. Dikemukakan sebagai alasan, bahwa bila agama-agama tersebut pun mengajarkan dan menanamkan Keesaan Tuhan, maka ajaran Islam lainnya yang dianggap menduduki tempat kedua dalam kepentingannya, sebaiknya ditinggalkan saja.
   Sulit dimengerti bahwa gagasan kompromi dalam urusan agama pernah dianjurkan dengan kaum yang dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutuk dengan sangat keras atas kepalsuan kepercayaan mereka dan ditantang begitu hebat untuk melakukan mubahalah (pertandingan doa – QS.3:62).
      Sejarah dakwah Islam yang dilakukan Nabi Besar Muhammad Saw. dalam menulis surat dakwah kepada Heraclius, Kaisar kerajaan Romawi, yang beragama Kristen memakai ayat ini pula, malahan mendesak Heraclius supaya menerima Islam dan mengancamnya dengan ancaman azab Ilahi, bila ia menolak berbuat demikian (Bukhari). Hal itu tak ayal lagi menunjukkan bahwa kepercayaannya terhadap Keesaan Tuhan semata-mata, menurut Nabi Besar Muhammad saw.  tidak dapat menyelamatkan Heraclius dari azab Ilahi.
    Memang ayat Al-Quran ini dimaksudkan untuk menyarankan satu cara yang mudah dan sederhana yang dengan itu orang-orang Yahudi dan Kristen dapat sampai kepada keputusan yang tepat mengenai kebenaran Islam. Kaum Kristen, kendatipun mengaku beriman kepada Tauhid Ilahi, percaya pula kepada ketuhanan Isa, dan orang-orang Yahudi  — sungguhpun mengaku berpegang kuat kepada Tauhid — mereka mengikuti dengan membuta rahib-rahib dan ulama-ulama mereka (QS.9:30-31-33), dan dengan demikian seolah-olah menempatkan mereka dalam kedudukan yang sama dengan Tuhan sendiri, firman-Nya:
    Ayat ini menyuruh kedua golongan itu kembali kepada kepercayaan asal mereka, yakni Tauhid Ilahi sebagaimana yang diajarkan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ya’qub a.s. (QS.2:131-142) dan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan palsu yang menjadi perintang bagi mereka untuk masuk Islam.
    Jadi,  bukan   mencari kompromi dengan agama-agama itu, melainkan ayat ini sesungguhnya mengajak para pengikut agama itu untuk menerima Islam dengan menarik perhatian mereka kepada Tauhid -- yang sedikitnya dalam bentuk lahir merupakan akidah pokok yang sama pada agama-agama tersebut -- dapat berlaku sebagai satu dasar titik-temu untuk penyelidikan lebih lanjut.

Keotentikan  Surat Dakwah Islam Nabi Besar Muhammad Saw. &
Tidak Ada Paksaan dalam Agama Islam

      Secara sambil lalu baiklah di sini diperhatikan, bahwa surat dakwah yang dikirim  Muhammad Saw. yang disebut oleh Bukhari dan ahli-ahli hadist lainnya, yang dialamatkan oleh Nabi Besar Muhammad Saw.  kepada Heraclius dan beberapa kepala pemerintahan lain — Muqauqis, raja muda Mesir itu satu dari antara mereka yang juga menganut agama Kristen — disusun dengan kata-kata dari ayat QS.3:65 ini,  dan mengajak mereka untuk menerima Islam, akhir-akhir ini surat dakwah Nabi Besar Muhammad Saw. tersebut telah ditemukan dan ternyata mengandung kata-kata yang persis dikutip oleh Bukhari (The Review of Religion, jilid V, no. 8). Hal itu mengandung bukti kuat mengenai keotentikan Bukhari dan pula kita-kitab hadits lainnya yang telah diakui.
     Pendek kata, ajaran   Islam (Al-Quran) mengenai Tauhid Ilahi sangat tegas  dan jelas serta   tidak dapat dikompromikan untuk tujuan apa pun (QS.48:30), namun demikian  dalam pelaksanaannya dan penyebarannya  tidak memerlukan paksaan dan tindakan kekerasan, firman-Nya:
 لَاۤ اِکۡرَاہَ فِی الدِّیۡنِ ۟ۙ قَدۡ تَّبَیَّنَ الرُّشۡدُ مِنَ الۡغَیِّ ۚ فَمَنۡ یَّکۡفُرۡ بِالطَّاغُوۡتِ وَ یُؤۡمِنۡۢ بِاللّٰہِ فَقَدِ اسۡتَمۡسَکَ بِالۡعُرۡوَۃِ الۡوُثۡقٰی ٭ لَا انۡفِصَامَ  لَہَا ؕ وَ اللّٰہُ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh  jalan benar itu nyata bedanya dari kesesatan, karena itu barangsiapa kafir kepada thāghūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh  ia  telah berpegang kepada suatu pegangan yang sangat kuat lagi tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:257).
     Bahkan dalam situasi peperangan pun ajaran Islam (Al-Quran) melarang melakukan paksaan terhadap pihak lawan yang tetap lebih menyukai kemusyrikan daripada Tauhid Ilahi, firman-Nya:
وَ اِنۡ  اَحَدٌ مِّنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ اسۡتَجَارَکَ فَاَجِرۡہُ حَتّٰی یَسۡمَعَ کَلٰمَ اللّٰہِ ثُمَّ اَبۡلِغۡہُ مَاۡمَنَہٗ ؕ ذٰلِکَ بِاَنَّہُمۡ قَوۡمٌ لَّا یَعۡلَمُوۡنَ ٪﴿﴾
Dan jika salah seorang di antara orang-orang musyrik meminta perlindungan kepada engkau, berilah dia perlindungan  hingga dia dapat mendengar firman Allah, kemudian bila tidak cenderung untuk beriman  sampaikanlah dia ke tempatnya yang aman, hal itu karena mereka kaum yang tidak mengetahui. (At-Taubah [9]:6).  
   Ayat ini dengan jelas membuktikan kenyataan bahwa perang terhadap kaum musyrik dilancarkan, bukan dengan tujuan memaksa mereka memeluk Islam, sebab  menurut ayat itu, bahkan di masa berlakunya keadaan perang pun, orang-orang musyrik diizinkan datang ke perkemahan atau markas orang-orang Islam, jika mereka ingin menyelidiki kebenaran.
    Kemudian, setelah kebenaran itu diajarkan kepada mereka dan mereka telah mengenal ajaran Islam, mereka harus diantarkan ke tempat keamanan mereka, seandainya mereka tidak merasa cenderung untuk memeluk Islam. Di hadapan ajaran-ajaran yang begitu jelas, sangatlah tidak adil  melancarkan tuduhan bahwa Islam tidak toleran atau mempergunakan kekerasan, atau membiarkan — seolah-olah tidak melihat  kekerasan dipakai sebagai alat tablighnya.

Tanda Orang-orang yang “Bersama”
 Nabi Besar Muhammad Saw.

     Kalimat  asyiddā-u ‘alal-kuffār -- mereka keras terhadap orang-orang kafir” dalam firman Allah Swt. berikut ini sama sekali tidak berarti boleh melakukan  paksaan dan kekerasan dalam mendakwahkan agama Islam, firman-Nya:
مُحَمَّدٌ  رَّسُوۡلُ اللّٰہِ ؕ وَ الَّذِیۡنَ مَعَہٗۤ اَشِدَّآءُ  عَلَی الۡکُفَّارِ  رُحَمَآءُ  بَیۡنَہُمۡ   تَرٰىہُمۡ  رُکَّعًا سُجَّدًا یَّبۡتَغُوۡنَ  فَضۡلًا مِّنَ  اللّٰہِ  وَ رِضۡوَانًا ۫ سِیۡمَاہُمۡ  فِیۡ وُجُوۡہِہِمۡ  مِّنۡ  اَثَرِ السُّجُوۡدِ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُہُمۡ  فِی التَّوۡرٰىۃِ ۚۖۛ وَ مَثَلُہُمۡ  فِی الۡاِنۡجِیۡلِ ۚ۟ۛ کَزَرۡعٍ  اَخۡرَجَ  شَطۡـَٔہٗ  فَاٰزَرَہٗ  فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰی عَلٰی سُوۡقِہٖ یُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ  لِیَغِیۡظَ بِہِمُ  الۡکُفَّارَ ؕ وَعَدَ اللّٰہُ  الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ مِنۡہُمۡ  مَّغۡفِرَۃً  وَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad itu adalah Rasul Allah, dan orang-orang bersamanya  sangat  keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih-sayang di antara mereka, engkau melihat mereka rukuk serta sujud  mencari karunia dari Allah dan keridhaan-Nya, ciri-ciri pengenal mereka terdapat pada wajah mereka dari bekas-bekas sujud. Demikianlah perumpamaan mereka dalam Taurat, dan perumpamaan mereka dalam Injil adalah laksana tanaman yang mengeluarkan tunasnya, kemudian menjadi kuat, kemudian menjadi kokoh, dan berdiri mantap pada batangnya, menyenangkan penanam-penanamnya supaya Dia membangkitkan amarah orang-orang kafir dengan perantaraan itu. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh di antara mereka ampunan dan ganjaran yang besar. (Ar-Rūm [48]:30).


(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid

***

Pajajaran Anyar, 8 Januari  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar