بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 29
Tauhid Ilahi
Tidak Bisa Dikompromikan
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab sebelumnya telah dikemukakan mengenai dialog
masalah Ketuhanan Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. antara delegasi utusan orang-orang
Kristen dari Najran dengan Nabi Besar Muhammad saw., yang dilakukan dalam
mesjid Nabawi di Madinah dalam suasana yang damai
dan penuh toleransi, hal
tersebut merupakan salah satu bukti
bahwa ajaran Islam (Al-Quran) yang diajarkan dan diamalkan oleh Nabi Besar Muhammad
Saw. tidak menyukai cara-cara kekerasan
dan pemaksaan kehendak (QS.5:4; QS.9:6), firman-Nya:
اِنَّ مَثَلَ عِیۡسٰی عِنۡدَ اللّٰہِ کَمَثَلِ اٰدَمَ ؕ خَلَقَہٗ مِنۡ
تُرَابٍ ثُمَّ قَالَ لَہٗ کُنۡ فَیَکُوۡنُ
﴿﴾ اَلۡحَقُّ
مِنۡ رَّبِّکَ فَلَا تَکُنۡ مِّنَ الۡمُمۡتَرِیۡنَ ﴿﴾ فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ
تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ اَبۡنَآءَکُمۡ وَ نِسَآءَنَا وَ
نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟ ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ فَنَجۡعَلۡ
لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ ہٰذَا لَہُوَ الۡقَصَصُ الۡحَقُّ ۚ وَ مَا مِنۡ اِلٰہٍ
اِلَّا اللّٰہُ ؕ وَ اِنَّ اللّٰہَ لَہُوَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌۢ بِالۡمُفۡسِدِیۡنَ ﴿٪﴾
Sesungguhnya misal penciptaan Isa di sisi Allah adalah seperti misal penciptaan Adam. Dia menjadikannya dari
debu kemudian Dia berfirman kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. Kebenaran
ini dari Tuhan engkau maka janganlah engkau termasuk orang-orang yang
ragu. Tetapi barangsiapa membantah
engkau mengenainya setelah datang kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah kita panggil anak-anak laki-laki
kami dan anak-anak laki-laki kamu,
perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuan kamu, orang-orang kami
dan orang-orang kamu, kemudian kita
berdoa supaya laknat Allah menimpa orang-orang yang
berdusta.” Sesungguhnya ini benar-benar kisah
yang haq, dan sekali-kali tidak ada
Tuhan yang patut disembah kecuali
Allah, dan sesungguhnya Allah, Dia benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana. Lalu jika mereka berpaling maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah Maha
Mengetahui orang-orang yang berbuat kerusakan. (Ali ‘Imran [3]:60-64).
Dalam ayat 60 Allah
Swt. menegaskan bahwa tidak ada keistimewaan
apa pun dalam kelahiran Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. yang dilahirkan tanpa ayah
– sehingga harus dipertuhankan – sebab
dalam kenyataannya beliau diciptakan
dan dilahirkan melalui rahim seorang perempuan (Maryam binti ‘Imran), sama seperti bayi-bayi manusia
lainnya yang juga mendapat makanan
dalam rahim yang berasal dari sari-sari “tanah” yang dimakan
ibunya.
Pembahasan ajaran Kristen yang
digarap oleh Surah Ali ‘Imran telah berakhir dalam ayat 62. Rujukan ayat itu, seperti telah disebut di atas,
tertuju kepada suatu delegasi utusan orang-orang Kristen dari Najran, terdiri
atas 40 orang dipimpin oleh kepala kabilah mereka ‘Abd-al-Masih, yang terkenal dengan nama Al-’Āqib. Mereka menjumpai Nabi Besar Muhammad saw. di masjid beliau di Madinah, dan melakukan dialog tentang akidah yang dinamakan mereka ketuhanan
Isa berlangsung beberapa lama.
Menolak Melakukan Mubahalah (Pertandingan Doa) &
Kriteria “Tuhan Yang Hakiki”
Ketika
masalahnya telah dibahas secukupnya dan para anggota delegasi Kristen ternyata
masih tetap berpegang pada ajaran
mereka, maka Nabi Besar Muhammad saw. mematuhi perintah Ilahi yang tercantum dalam ayat 62, sebagai langkah penghabisan mengajak mereka
untuk ikut serta dengan beliau saw.
dalam semacam adu kekuatan doa dan
yang secara teknis disebut mubahalah, yakni menyeru agar kutukan Allah Swt. menimpa penganut kepercayaan palsu, firman-Nya:
فَمَنۡ حَآجَّکَ فِیۡہِ مِنۡۢ بَعۡدِ مَا جَآءَکَ
مِنَ الۡعِلۡمِ فَقُلۡ تَعَالَوۡا نَدۡعُ اَبۡنَآءَنَا وَ اَبۡنَآءَکُمۡ وَ
نِسَآءَنَا وَ نِسَآءَکُمۡ وَ اَنۡفُسَنَا وَ اَنۡفُسَکُمۡ ۟ ثُمَّ نَبۡتَہِلۡ
فَنَجۡعَلۡ لَّعۡنَتَ اللّٰہِ عَلَی الۡکٰذِبِیۡنَ ﴿﴾
Tetapi barangsiapa membantah engkau
mengenainya setelah datang kepada engkau ilmu maka katakanlah: “Marilah kita
panggil anak-anak laki-laki kami dan anak-anak laki-laki kamu, perempuan-perempuan kami dan perempuan-perempuanmu,
orang-orang kami dan orang-orangmu, kemudian kita berdoa supaya laknat Allah menimpa orang-orang yang
berdusta.” Sesungguhnya ini
benar-benar kisah yang haq, dan
sekali-kali tidak ada Tuhan yang patut disembah kecuali Allah, dan
sesungguhnya Allah, Dia benar-benar Maha
Perkasa, Maha Bijaksana. (Ali ‘Imran
[3]:62).
Tetapi karena delegasi orang-orang
Kristen dari Najran tersebut tidak
merasa yakin mengenai dasar
kepercayaan mereka tentang Ketuhanan
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., maka mereka menolak
menerima tantangan Nabi Besar
Muhammad Saw. – yang apabila “cara meminta keputusan Allah Swt.” tersebut
dilaksanakan sama sekali tidak akan menimbulkan kerusuhan dan pertumpahan
darah – maka dengan demikian secara
tidak langsung penolakan tersebut mengakhiri dan membuktikan kepalsuan
akidah mereka (Zurqani).
Secara
sambil lalu baiklah disebutkan bahwa sewaktu berlangsung tukar pikiran (dialog) dengan delegasi
Kristen dari Najran itu, Nabi Besar Muhammad saw. mengizinkan mereka melakukan sembahyang
di masjid beliau saw. dengan cara
mereka sendiri, dan mereka melakukan dengan menghadap ke timur, suatu sikap toleransi keagamaan yang tiada taranya,
dalam sejarah agama (Zurqani).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai tidak perlu
adanya tindak pemaksaan dan kekerasan dalam masalah agama (QS.5:4; QS.9:6) sehingga keamanan
dan kedamaian antara sesama umat beragama dapat tetap terpelihara:
قُلۡ یٰۤاَہۡلَ الۡکِتٰبِ تَعَالَوۡا اِلٰی کَلِمَۃٍ
سَوَآءٍۢ بَیۡنَنَا
وَ بَیۡنَکُمۡ اَلَّا نَعۡبُدَ اِلَّا اللّٰہَ وَ لَا نُشۡرِکَ بِہٖ شَیۡئًا وَّ
لَا یَتَّخِذَ بَعۡضُنَا بَعۡضًا اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ فَاِنۡ
تَوَلَّوۡا فَقُوۡلُوا اشۡہَدُوۡا بِاَنَّا مُسۡلِمُوۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: “Hai Ahlul Kitab, marilah
kepada satu kalimat yang sama di antara kami dan kamu, bahwa kita tidak menyembah
kecuali kepada Allah, dan tidak pula kita mempersekutukan-Nya dengan sesuatu
apa pun, dan sebagian
kita tidak menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan-tuhan selain Allah.”
Tetapi jika mereka berpaling maka katakanlah: “Jadi saksilah bahwa sesungguhnya
kami orang-orang yang berserah diri kepada Allah.” (Ali
‘Imran [3]:65).
Berikut adalah gambaran Tauhid Ilahi – yakni ke-Maha Esa-an Allah Swt. – yang
dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Quran, sebagai standar yang paling utama apa sesuatu
yang dipertuhankan manusia itu benar-benar Tuhan Yang hakiki atau hanyalah makhluk
yang dipertuhankan, termasuk Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾
قُلۡ ہُوَ اللّٰہُ اَحَدٌ ۚ﴿﴾ اَللّٰہُ
الصَّمَدُ ۚ﴿﴾ لَمۡ یَلِدۡ ۬ۙ
وَ لَمۡ یُوۡلَدۡ ۙ﴿﴾ وَ لَمۡ یَکُنۡ
لَّہٗ کُفُوًا اَحَدٌ ٪﴿﴾
Aku
baca dengan nama Allah,
Maha Pemurah, Maha Penyayang. Katakanlah: “Dia-lah Allah Yang Maha Esa. Allah, adalah Tuhan Yang segala
sesuatu bergantung pada-Nya. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan,
dan tidak ada sesuatu pun yang
setara dengan-Nya.” (Al-Ikhlash [112]:1-5).
Bukan Kompromi
Kepercayaan
Ayat QS.3:65 sebelumnya dengan keliru dianggap oleh sementara orang
seakan-akan mem-berikan dasar untuk
mencapai suatu kompromi antara Islam di satu pihak dan Kristen serta agama Yahudi di lain pihak. Dikemukakan sebagai alasan, bahwa bila
agama-agama tersebut pun mengajarkan dan menanamkan Keesaan Tuhan, maka ajaran
Islam lainnya yang dianggap menduduki tempat kedua dalam kepentingannya,
sebaiknya ditinggalkan saja.
Sulit dimengerti bahwa gagasan kompromi dalam urusan agama pernah dianjurkan dengan kaum yang
dalam ayat-ayat sebelum ayat ini dikutuk
dengan sangat keras atas kepalsuan kepercayaan mereka dan ditantang begitu hebat untuk melakukan mubahalah (pertandingan doa – QS.3:62).
Sejarah dakwah Islam yang dilakukan
Nabi Besar Muhammad Saw. dalam menulis surat dakwah kepada Heraclius,
Kaisar kerajaan Romawi, yang beragama Kristen
memakai ayat ini pula, malahan mendesak Heraclius supaya menerima Islam dan mengancamnya dengan ancaman azab Ilahi, bila ia menolak berbuat demikian (Bukhari). Hal
itu tak ayal lagi menunjukkan bahwa kepercayaannya terhadap Keesaan Tuhan semata-mata, menurut Nabi
Besar Muhammad saw. tidak
dapat menyelamatkan Heraclius dari azab Ilahi.
Memang ayat Al-Quran ini dimaksudkan untuk menyarankan satu cara yang mudah dan sederhana yang dengan itu orang-orang
Yahudi dan Kristen dapat sampai
kepada keputusan yang tepat mengenai kebenaran Islam. Kaum Kristen,
kendatipun mengaku beriman kepada Tauhid
Ilahi, percaya pula kepada ketuhanan
Isa, dan orang-orang Yahudi — sungguhpun mengaku berpegang kuat kepada Tauhid — mereka mengikuti dengan membuta
rahib-rahib dan ulama-ulama mereka (QS.9:30-31-33), dan dengan demikian seolah-olah
menempatkan mereka dalam kedudukan
yang sama dengan Tuhan sendiri,
firman-Nya:
Ayat ini menyuruh kedua golongan itu
kembali kepada kepercayaan asal
mereka, yakni Tauhid Ilahi
sebagaimana yang diajarkan Nabi Ibrahim a.s. dan Nabi Ya’qub a.s.
(QS.2:131-142) dan meninggalkan penyembahan tuhan-tuhan
palsu yang menjadi perintang bagi
mereka untuk masuk Islam.
Jadi, bukan mencari kompromi
dengan agama-agama itu, melainkan ayat ini sesungguhnya mengajak para pengikut
agama itu untuk menerima Islam dengan menarik perhatian mereka
kepada Tauhid -- yang sedikitnya
dalam bentuk lahir merupakan akidah pokok
yang sama pada agama-agama tersebut -- dapat berlaku sebagai satu dasar titik-temu untuk penyelidikan lebih lanjut.
Keotentikan Surat Dakwah Islam Nabi Besar Muhammad Saw.
&
Tidak Ada Paksaan
dalam Agama Islam
Secara sambil lalu baiklah di sini diperhatikan, bahwa surat dakwah yang dikirim Muhammad
Saw. yang disebut oleh Bukhari dan ahli-ahli hadist
lainnya, yang dialamatkan oleh Nabi Besar Muhammad Saw. kepada Heraclius dan beberapa kepala
pemerintahan lain — Muqauqis,
raja muda Mesir itu satu dari antara mereka yang juga menganut agama Kristen — disusun dengan kata-kata dari ayat QS.3:65 ini, dan mengajak
mereka untuk menerima Islam,
akhir-akhir ini surat dakwah Nabi
Besar Muhammad Saw. tersebut telah ditemukan dan ternyata mengandung kata-kata
yang persis dikutip oleh Bukhari (The Review of Religion, jilid
V, no. 8). Hal itu mengandung bukti kuat mengenai keotentikan Bukhari dan pula kita-kitab
hadits lainnya yang telah diakui.
Pendek kata, ajaran Islam (Al-Quran) mengenai Tauhid Ilahi sangat tegas dan jelas serta tidak dapat dikompromikan untuk tujuan apa pun (QS.48:30), namun demikian dalam pelaksanaannya
dan penyebarannya tidak memerlukan paksaan dan tindakan kekerasan,
firman-Nya:
لَاۤ اِکۡرَاہَ فِی الدِّیۡنِ ۟ۙ قَدۡ
تَّبَیَّنَ الرُّشۡدُ مِنَ الۡغَیِّ ۚ فَمَنۡ یَّکۡفُرۡ بِالطَّاغُوۡتِ وَ
یُؤۡمِنۡۢ بِاللّٰہِ فَقَدِ اسۡتَمۡسَکَ بِالۡعُرۡوَۃِ الۡوُثۡقٰی ٭ لَا
انۡفِصَامَ لَہَا ؕ وَ اللّٰہُ سَمِیۡعٌ
عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Tidak ada paksaan dalam agama. Sungguh jalan benar itu nyata bedanya dari
kesesatan, karena itu barangsiapa
kafir kepada thāghūt dan beriman kepada Allah, maka sungguh ia telah berpegang kepada suatu
pegangan yang sangat kuat lagi tidak akan putus, dan Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. (Al-Baqarah [2]:257).
Bahkan dalam situasi peperangan pun ajaran Islam (Al-Quran)
melarang melakukan paksaan terhadap
pihak lawan yang tetap lebih menyukai
kemusyrikan daripada Tauhid Ilahi, firman-Nya:
وَ اِنۡ اَحَدٌ مِّنَ
الۡمُشۡرِکِیۡنَ اسۡتَجَارَکَ فَاَجِرۡہُ حَتّٰی یَسۡمَعَ کَلٰمَ اللّٰہِ ثُمَّ اَبۡلِغۡہُ مَاۡمَنَہٗ ؕ ذٰلِکَ بِاَنَّہُمۡ قَوۡمٌ لَّا یَعۡلَمُوۡنَ ٪﴿﴾
Dan jika salah
seorang di antara orang-orang musyrik
meminta perlindungan kepada engkau,
berilah dia perlindungan hingga dia dapat mendengar firman Allah,
kemudian bila tidak cenderung untuk beriman sampaikanlah
dia ke tempatnya yang aman, hal itu karena mereka kaum yang tidak mengetahui. (At-Taubah [9]:6).
Ayat ini dengan jelas
membuktikan kenyataan bahwa perang
terhadap kaum musyrik dilancarkan,
bukan dengan tujuan memaksa mereka
memeluk Islam, sebab menurut ayat
itu, bahkan di masa berlakunya keadaan
perang pun, orang-orang musyrik diizinkan
datang ke perkemahan atau markas orang-orang Islam, jika mereka
ingin menyelidiki kebenaran.
Kemudian, setelah kebenaran itu
diajarkan kepada mereka dan mereka telah mengenal ajaran Islam, mereka harus diantarkan ke tempat keamanan mereka, seandainya mereka tidak merasa cenderung untuk memeluk Islam. Di hadapan ajaran-ajaran yang begitu jelas,
sangatlah tidak adil melancarkan tuduhan bahwa Islam tidak
toleran atau mempergunakan kekerasan,
atau membiarkan — seolah-olah tidak
melihat — kekerasan dipakai sebagai alat
tablighnya.
Tanda Orang-orang yang “Bersama”
Nabi Besar Muhammad
Saw.
Kalimat asyiddā-u
‘alal-kuffār -- mereka keras terhadap orang-orang kafir” dalam firman Allah
Swt. berikut ini sama sekali tidak berarti boleh melakukan paksaan
dan kekerasan dalam mendakwahkan agama Islam, firman-Nya:
مُحَمَّدٌ رَّسُوۡلُ اللّٰہِ ؕ وَ
الَّذِیۡنَ مَعَہٗۤ اَشِدَّآءُ عَلَی
الۡکُفَّارِ رُحَمَآءُ بَیۡنَہُمۡ
تَرٰىہُمۡ رُکَّعًا سُجَّدًا
یَّبۡتَغُوۡنَ فَضۡلًا
مِّنَ اللّٰہِ وَ رِضۡوَانًا ۫ سِیۡمَاہُمۡ فِیۡ وُجُوۡہِہِمۡ مِّنۡ
اَثَرِ السُّجُوۡدِ ؕ ذٰلِکَ مَثَلُہُمۡ
فِی التَّوۡرٰىۃِ ۚۖۛ وَ مَثَلُہُمۡ
فِی الۡاِنۡجِیۡلِ ۚ۟ۛ کَزَرۡعٍ
اَخۡرَجَ شَطۡـَٔہٗ فَاٰزَرَہٗ
فَاسۡتَغۡلَظَ فَاسۡتَوٰی عَلٰی سُوۡقِہٖ یُعۡجِبُ الزُّرَّاعَ لِیَغِیۡظَ بِہِمُ الۡکُفَّارَ ؕ وَعَدَ اللّٰہُ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ
مِنۡہُمۡ مَّغۡفِرَۃً وَّ اَجۡرًا عَظِیۡمًا ﴿﴾
Muhammad itu adalah Rasul Allah, dan orang-orang bersamanya sangat keras terhadap orang-orang kafir,
tetapi berkasih-sayang di
antara mereka, engkau melihat mereka rukuk
serta sujud mencari karunia
dari Allah dan keridhaan-Nya, ciri-ciri pengenal mereka terdapat
pada wajah mereka dari bekas-bekas sujud. Demikianlah perumpamaan mereka dalam Taurat, dan perumpamaan mereka dalam Injil adalah laksana tanaman yang mengeluarkan tunasnya, kemudian menjadi kuat,
kemudian menjadi kokoh, dan berdiri mantap pada batangnya, menyenangkan
penanam-penanamnya supaya Dia
membangkitkan amarah orang-orang kafir dengan perantaraan itu. Allah telah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh di antara mereka ampunan dan ganjaran yang besar. (Ar-Rūm [48]:30).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar