Minggu, 13 Januari 2013

Nabi Besar Muhammad Saw. & "Magna Charta" (Piagam Persaudaraan dan Persamaan Umat Manusia)





بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 34

    Nabi Besar Muhammad Saw.

&

“Magna Charta”

(Piagam Persaudaraan dan

Persamaan Umat Manusia) 

  
Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  bagian akhir Bab  sebelumnya telah  dijelaskan  firman Allah mengenai orang-orang Arab gurun, yang karena telah menjadi Muslim merasa telah memberikan anugerah besar kepada Nabi Besar Muhammad Saw., firman-Nya:
یَمُنُّوۡنَ عَلَیۡکَ اَنۡ  اَسۡلَمُوۡا ؕ قُلۡ  لَّا تَمُنُّوۡا عَلَیَّ  اِسۡلَامَکُمۡ ۚ بَلِ اللّٰہُ یَمُنُّ عَلَیۡکُمۡ  اَنۡ ہَدٰىکُمۡ  لِلۡاِیۡمَانِ  اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾  اِنَّ  اللّٰہَ  یَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ وَ اللّٰہُ  بَصِیۡرٌۢ  بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Mereka mengira telah memberi anugerah  kepada engkau karena mereka telah menjadi orang Islam. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa memberi anugerah kepadaku karena keIslamanmu, bahkan Allah-lah Yang memberi anugerah terhadap kamu karena Dia telah memberi kamu petunjuk kepada iman, jika kamu orang-orang yang benar.”  Sesungguhnya Allah mengetahui yang gaib di seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.  (Al-Hujurat [49]:18-19).

Habaib (Habib-habib) Hakiki di Sisi Allah Swt.

    Nabi Besar Muhammad Saw. walau pun muncul di kalangan orang-orang Arab, akan tetapi beliau saw. bukanlah rasul Allah hanya untuk orang-orang Arab saja,  dan bukan hanya khusus orang-orang Arab saja yang  dapat menjadi  habaib (habib-habib) ruhani yang benar-benar akan dicintai Allah Swt.  dan mendapat pengampunan-Nya, berikut firman-Nya kepada Nabi Besar Muhammad Saw.:
قُلۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ  رَّحِیۡمٌ ﴿﴾  قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ اللّٰہَ  لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah:  ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku,  Allah pun akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”   Katakanlah:   Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika mereka berpaling maka ketahuilah sesungguh-nya Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33).
    Sehubungan dengan hal tersebut Nabi Besar Muhammad Saw. pada waktu khutbah pada pelaksanaan hajji wada (hajji terakhir) telah memperjelas makna firman Allah Swt. dalam QS.49:14 mengenai hubungan ketakwaan  dengan kemuliaan seseorang  dalam pandangan Allah Swt.:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ  اِنَّا خَلَقۡنٰکُمۡ  مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ  اَکۡرَمَکُمۡ  عِنۡدَ اللّٰہِ  اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan,  dan Kami telah menjadikan kamu bangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu dapat saling mengenal. Sesungguhnya  yang paling mulia  di antara kamu di sisi Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt [49]:14).
Sehubungan dengan firman Allah Swt. tersebut Nabi Besar Muhmmad saw. bersabda:
“Wahai sekalian manusia! Tuhan kamu itu Esa dan bapak-bapak kamu satu jua. Seorang orang Arab tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan kewajibannya terhadap Allah dan manusia. Orang yang paling mulia di antara kamu sekalian pada pandangan Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).
  Jadi,   dalam pandangan Allah Swt. – sesuai dengan  kedudukan Nabi Besar Muhammad Saw. “rahmat bagi seluruh  alam” (QS.21:108) – berasal dari bangsa atau agama serta kepercayaan apa pun sebelumnya  mereka yang beriman kepada Allah Swt. dan kepada Nabi Besar Muhammad saw., mereka itu  mendapat hak yang sama dalam memperoleh karunia serta nikmat-nikmat ruhani yang disediakan Allah Swt. bagi mereka,  sesuai dengan  jihad ruhani  yang mereka lakukan di dalam mengikuti  suri teladan  Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22), firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾   ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan  barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul ini maka mereka akan termasuk di antara orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid, dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang sejati.   Itulah karunia dari Allah,  dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā  [4]:70-71).
      Mengenai  terbukanya nikmat-nikmat keruhanian bagi siapa pun dan dari berbagai bangsa dan agama  apa pun mereka berasal,  dengan syarat mereka beriman dan taat sepenuhnya  kepada Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71; QS.33:22), Allah Swt. berfirman mengenai hal tersebut:
اِنَّ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ الَّذِیۡنَ ہَادُوۡا وَ النَّصٰرٰی وَ الصّٰبِئِیۡنَ مَنۡ اٰمَنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ وَ عَمِلَ صَالِحًا فَلَہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۪ۚ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang beriman,  orang-orang Yahudi,  orang-orang Nasrani, dan orang-orang Shabi,  barangsiapa di antara mereka  beriman kepada Allah dan Hari Kemudian  dan mengerjakan amal saleh, maka untuk mereka ada ganjaran pada sisi Tuhan mereka, dan  tidak  ada ketakutan atas  mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:63). Lihat pula (QS.5:70; QS.22:18).
      Shabi adalah  orang-orang yang meninggalkan agamanya sendiri untuk menerima agama yang baru. Tetapi menurut penggunaannya kata shabi itu menunjuk kepada golongan-golongan agama tertentu yang terdapat di bagian-bagian tanah Arab dan negeri-negeri yang berbatasan dengan daerah itu. Nama itu ditujukan kepada:
(1) kaum penyembah bintang yang hidup di Mesopotamia (Gibbon’s Roman Empire; Muruj al-Dhahab dan Encyclopaedia of Religions & Ethics  VIII,  pada kata “Mandaeans”);
(2) Kaum yang tinggal dekat Mosul di Irak dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dan kepada semua nabi Allah, tetapi tidak memiliki Kitab wahyu. Mereka itu mendakwakan mengikuti agama Nabi Nuh a.s.  (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir). Tetapi mereka hendaknya jangan disamakan dengan kaum Shabi yang disebut oleh ahli tafsir Bible tertentu, sebagai kaum yang hidup di negeri Yaman kuno.

Tidak Cukup Sekedar Menyatakan “Beriman”

     Sebagaimana firman Allah Swt. sebelumnya dalam QS.3:32 dan QS.4:70-91, ayat ini (QS.2:63)  tidak berarti bahwa hanya  iman kepada Allah Swt.    dan kepada Hari Kiamat saja cukup untuk mencapai keselamatan, sebagaimana  orang telah keliru memahaminya. Al-Quran menerangkan dengan tegas bahwa iman kepada Nabi Besar Muhammad Saw.  itu sangat pokok (QS.4:151, 152; QS.6:93) dan merupakan bagian tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah Swt..,  dan juga bahwa iman kepada akhirat, mencakup juga iman kepada wahyu Ilahi (QS.4:151-152; QS.6:93).
     Di tempat lain telah dinyatakan dengan tegas bahwa hanya Islam yang dapat diterima oleh Allah Swt.  sebagai agama (QS.3:20, 86). Al-Quran di sini membatasi diri pada sebutan iman kepada Allah Swt. dan Hari Kiamat, bukan karena iman kepada wahyu dan iman kepada Nabi Besar Muhammad saw.  itu tidak bersifat pokok, tetapi karena kedua Rukun Iman pertama tersebut  meliputi juga dua Rukun Iman yang belakangan, keempat-empatnya benar-benar tidak dapat dipisah-pisahkan.
    Pada hakikatnya, ayat  ini (QS.2:63) dimaksudkan untuk melenyapkan kepercayaan agama Yahudi yang keliru dan juga agama Nasrani (Kristen) bahwa mereka adalah “bangsa yang dianak-emaskan Tuhan” sebagai “anak-anak  Allah dan kekasih-Nya (QS.5:19) dan oleh karena itu hanyalah mereka yang berhak mendapat najat (keselamatan – QS. 2:112).
     Menurut ayat ini  bahwa tidak menjadi soal apakah orang itu pada lahirnya orang Yahudi, Kristen, Shabi atau Muslim, bila  imannya  hanya di bibir saja maka iman demikian itu merupakan suatu barang mati, tanpa jiwa dan tanpa kekuatan bergerak sedikit pun di dalamnya.
     Ayat ini juga dianggap mengandung suatu nubuatan dan tolok ukur yang aman, untuk menguji kebenaran Islam. Nubuatan itu ialah bahwa Islam akan menang karena Islam itu agama yang benar. Tolok ukur itu terletak pada kenyataan bahwa nubuatan itu dikemukakan Allah Swt. pada saat ketika Islam sedang berjuang mempertahankan hidupnya sendiri.  
     Ayat ini dapat pula diartikan bahwa semua yang mendakwakan diri sebagai orang yang beriman  -- apakah mereka orang Yahudi, Kristen atau Shabi atau termasuk suatu agama apa pun -- bila iman mereka kepada Allah Swt.  atau Hari Kiamat benar dan jujur, dan mereka beramal saleh — yang merupakan intisari agama yang benar, yakni Islam — maka tidak ada ketakutan akan menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ  اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾     بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka berkata:  Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga, kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.” Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah: “Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika kamu sungguh orang-orang yang benar.” Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa berserah diri kepada  Allah dan ia berbuat ihsan maka baginya ada ganjaran di sisi Tuhan-nya, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).

Cara Meraih Kehidupan Surgawi di Dunia
Melalui Ajaran Islam (Al-Quran)

    Orang-orang Yahudi dan Kristen kedua-duanya berkhayal kosong bahwa hanya orang Yahudi atau Kristen saja yang dapat meraih najat (keselamatan), karena menurut pengakuan mereka masing-masing mereka adalah “bangsa yang dianak-emaskan Tuhan” sebagai “anak-anak  Allah dan kekasih-Nya  (QS.5:19) dan oleh karena itu hanyalah mereka yang berhak mendapat najat (keselamatan – QS. 2:112). Pada ayat selanjutnya Allah Swt.  dengan tegas menolak pendakwaan mereka itu firman-Nya:
بَلٰی ٭  مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ  لِلّٰہِ وَ ہُوَ  مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ  وَ لَا ہُمۡ  یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Tidak demikian, bahkan yang benar ialah  barangsiapa berserah diri  (aslama) kepada  Allah dan ia berbuat ihsan (kebajikan) maka baginya ada ganjaran di sisi Tuhan-nya, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:113).
   Aslama artinya berserah-diri sepenuhnya kepada Allah Swt. (QS.2:131-136; QS.2:209). Wajh berarti: wajah (muka); benda itu sendiri; tujuan dan motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang menujukan perhatian; jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-ul-Mawarid).
      Ayat ini memberi isyarat kepada  tiga taraf penting ketakwaan sempurna, yaitu: (1) fana (menghilangkan diri), (2)  baqa (kelahiran kembali), dan (3)  liqa (memanunggal dengan Allah Swt.).  Kata-kata aslama “berserah diri kepada Allah” berarti  segala kekuatan dan anggota tubuh orang-orang beriman,  dan apa-apa yang menjadi bagian dirinya, hendaknya diserahkan kepada Allh Swt. seutuhnya dan dibaktikan kepada-Nya (QS.6:162-164). Keadaan itu dikenal sebagai fana atau kematian yang harus ditimpakan seorang Muslim atas dirinya sendiri.
    Anak-kalimat kedua “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau kelahiran kembali, sebab bila seseorang telah melenyapkan dirinya (fana) dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap,   ia seolah-olah dianugerahi kehidupan baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia hidup untuk Allah Swt.   dan bakti kepada umat manusia.
   Kata-kata penutup – tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan bersedih   -- menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi — yaitu taraf liqa atau memanunggal (menyatu) dengan Allah Swt.  yang dalam Al-Quran (QS.89:28) disebut pula “jiwa yang tenteram” atau nafs muthma’innah, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾   ارۡجِعِیۡۤ  اِلٰی  رَبِّکِ رَاضِیَۃً  مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾   فَادۡخُلِیۡ  فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram!   Kembalilah kepada Tuhan engkau, engkau ridha kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada engkau.  Maka masuklah dalam golong-an hamba-hamba-Ku,   dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr [98]:28-31) 
   Nafs al-Mutmainnah  (jiwa yang tentram) merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak dapat hidup tanpa Dia. Di dunia inilah dan bukan sesudah mati  perubahan ruhani besar terjadi di dalam dirinya, dan di dunia inilah  dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk ke surga.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
                                                                
Pajajaran Anyar,14 Januari 2013
(Bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar