بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 34
Nabi Besar Muhammad Saw.
&
“Magna Charta”
(Piagam Persaudaraan dan
Persamaan Umat Manusia)
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Dalam bagian akhir Bab sebelumnya telah dijelaskan firman Allah
mengenai orang-orang Arab gurun, yang
karena telah menjadi Muslim merasa
telah memberikan anugerah besar kepada
Nabi Besar Muhammad Saw., firman-Nya:
یَمُنُّوۡنَ عَلَیۡکَ اَنۡ اَسۡلَمُوۡا ؕ قُلۡ لَّا تَمُنُّوۡا عَلَیَّ اِسۡلَامَکُمۡ ۚ بَلِ اللّٰہُ یَمُنُّ
عَلَیۡکُمۡ اَنۡ ہَدٰىکُمۡ لِلۡاِیۡمَانِ
اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ اِنَّ اللّٰہَ یَعۡلَمُ غَیۡبَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضِ ؕ وَ
اللّٰہُ بَصِیۡرٌۢ بِمَا تَعۡمَلُوۡنَ ﴿٪﴾
Mereka mengira telah
memberi anugerah kepada engkau karena mereka telah menjadi
orang Islam. Katakanlah: “Janganlah kamu merasa memberi anugerah
kepadaku karena keIslamanmu,
bahkan Allah-lah Yang memberi anugerah
terhadap kamu karena Dia telah
memberi kamu petunjuk kepada iman, jika kamu orang-orang yang benar.” Sesungguhnya Allah mengetahui yang gaib di seluruh langit dan bumi. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (Al-Hujurat [49]:18-19).
Habaib (Habib-habib) Hakiki
di Sisi Allah Swt.
Nabi Besar Muhammad Saw. walau pun muncul
di kalangan orang-orang Arab, akan
tetapi beliau saw. bukanlah rasul Allah
hanya untuk orang-orang Arab
saja, dan bukan hanya khusus orang-orang Arab saja yang dapat menjadi
habaib (habib-habib) ruhani yang benar-benar akan dicintai Allah Swt. dan mendapat pengampunan-Nya, berikut firman-Nya
kepada Nabi Besar Muhammad Saw.:
قُلۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ تُحِبُّوۡنَ
اللّٰہَ فَاتَّبِعُوۡنِیۡ یُحۡبِبۡکُمُ اللّٰہُ وَ یَغۡفِرۡ لَکُمۡ ذُنُوۡبَکُمۡ ؕ
وَ اللّٰہُ غَفُوۡرٌ رَّحِیۡمٌ ﴿﴾ قُلۡ اَطِیۡعُوا اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ ۚ فَاِنۡ تَوَلَّوۡا فَاِنَّ
اللّٰہَ لَا یُحِبُّ الۡکٰفِرِیۡنَ ﴿﴾
Katakanlah: ”Jika kamu benar-benar mencintai Allah maka ikutilah aku, Allah pun akan mencintai kamu dan akan mengampuni dosa-dosa kamu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.” Katakanlah: ”Taatilah Allah dan Rasul ini”, kemudian jika
mereka berpaling maka ketahuilah sesungguh-nya
Allah tidak mencintai orang-orang kafir. (Ali ‘Imran [3]:32-33).
Sehubungan dengan hal
tersebut Nabi Besar Muhammad Saw. pada waktu khutbah pada pelaksanaan hajji wada (hajji terakhir) telah
memperjelas makna firman Allah Swt. dalam QS.49:14 mengenai hubungan ketakwaan dengan kemuliaan
seseorang dalam pandangan Allah Swt.:
یٰۤاَیُّہَا النَّاسُ اِنَّا
خَلَقۡنٰکُمۡ مِّنۡ ذَکَرٍ وَّ اُنۡثٰی وَ
جَعَلۡنٰکُمۡ شُعُوۡبًا وَّ قَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوۡا ؕ اِنَّ اَکۡرَمَکُمۡ
عِنۡدَ اللّٰہِ اَتۡقٰکُمۡ ؕ اِنَّ
اللّٰہَ عَلِیۡمٌ خَبِیۡرٌ ﴿﴾
Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan Kami telah menjadikan kamu bangsa-bangsa
dan bersuku-suku supaya kamu dapat saling mengenal. Sesungguhnya yang
paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah yang paling
bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui, Maha Waspada. (Al-Hujurāt
[49]:14).
Sehubungan dengan firman Allah Swt. tersebut Nabi Besar Muhmmad saw.
bersabda:
“Wahai sekalian
manusia! Tuhan kamu itu Esa dan bapak-bapak kamu satu jua. Seorang orang Arab
tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang non Arab. Seorang kulit putih sekali-kali
tidak mempunyai kelebihan atas orang-orang berkulit merah, begitu pula
sebaliknya, seorang kulit merah tidak mempunyai kelebihan apa pun di atas orang
berkulit putih melainkan kelebihannya ialah sampai sejauh mana ia melaksanakan
kewajibannya terhadap Allah dan manusia. Orang yang paling mulia di antara kamu
sekalian pada pandangan Allah ialah yang paling bertakwa di antara kamu” (Baihaqi).
Jadi,
dalam pandangan Allah Swt. – sesuai dengan kedudukan Nabi Besar Muhammad Saw. “rahmat bagi seluruh alam” (QS.21:108) – berasal dari bangsa atau agama serta kepercayaan
apa pun sebelumnya mereka yang beriman kepada Allah Swt. dan kepada Nabi
Besar Muhammad saw., mereka itu
mendapat hak yang sama dalam
memperoleh karunia serta nikmat-nikmat ruhani yang disediakan
Allah Swt. bagi mereka, sesuai dengan jihad
ruhani yang mereka lakukan di dalam
mengikuti suri teladan Nabi Besar
Muhammad saw. (QS.3:32; QS.33:22), firman-Nya:
وَ مَنۡ یُّطِعِ اللّٰہَ وَ الرَّسُوۡلَ فَاُولٰٓئِکَ مَعَ الَّذِیۡنَ اَنۡعَمَ
اللّٰہُ عَلَیۡہِمۡ مِّنَ النَّبِیّٖنَ وَ الصِّدِّیۡقِیۡنَ وَ الشُّہَدَآءِ وَ
الصّٰلِحِیۡنَ ۚ وَ حَسُنَ اُولٰٓئِکَ رَفِیۡقًا ﴿ؕ﴾ ذٰلِکَ الۡفَضۡلُ مِنَ اللّٰہِ ؕ وَ کَفٰی بِاللّٰہِ عَلِیۡمًا ﴿٪﴾
Dan barangsiapa
taat kepada Allah dan Rasul ini
maka mereka akan termasuk di antara
orang-orang yang Allah memberi nikmat kepada mereka yakni: nabi-nabi, shiddiq-shiddiq, syahid-syahid,
dan orang-orang shalih, dan mereka itulah sahabat yang
sejati. Itulah karunia dari Allah, dan cukuplah Allah Yang Maha Mengetahui. (An-Nisā
[4]:70-71).
Mengenai terbukanya nikmat-nikmat keruhanian bagi siapa pun dan dari berbagai bangsa dan agama apa pun mereka
berasal, dengan syarat mereka beriman dan taat sepenuhnya kepada Allah
Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw. (QS.3:32; QS.4:70-71; QS.33:22), Allah Swt. berfirman mengenai hal tersebut:
اِنَّ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ الَّذِیۡنَ ہَادُوۡا وَ النَّصٰرٰی وَ الصّٰبِئِیۡنَ مَنۡ اٰمَنَ بِاللّٰہِ وَ الۡیَوۡمِ الۡاٰخِرِ وَ عَمِلَ
صَالِحًا فَلَہُمۡ اَجۡرُہُمۡ عِنۡدَ رَبِّہِمۡ ۪ۚ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang
Yahudi, orang-orang Nasrani, dan orang-orang
Shabi, barangsiapa di
antara mereka beriman kepada Allah dan Hari Kemudian dan mengerjakan
amal saleh, maka untuk mereka ada ganjaran
pada sisi Tuhan mereka, dan tidak
ada ketakutan atas mereka dan
tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah
[2]:63). Lihat pula (QS.5:70; QS.22:18).
Shabi
adalah orang-orang yang meninggalkan agamanya sendiri untuk menerima agama yang baru. Tetapi menurut
penggunaannya kata shabi itu menunjuk kepada golongan-golongan agama
tertentu yang terdapat di bagian-bagian tanah Arab dan negeri-negeri yang
berbatasan dengan daerah itu. Nama itu ditujukan kepada:
(1) kaum
penyembah bintang yang hidup di Mesopotamia (Gibbon’s Roman Empire; Muruj al-Dhahab dan Encyclopaedia
of Religions & Ethics VIII,
pada kata “Mandaeans”);
(2) Kaum yang tinggal
dekat Mosul di Irak dan beriman kepada Tuhan
Yang Maha Esa dan kepada semua nabi
Allah, tetapi tidak memiliki Kitab
wahyu. Mereka itu mendakwakan mengikuti agama Nabi Nuh a.s. (Tafsir Ibnu Jarir dan Tafsir Ibnu Katsir).
Tetapi mereka hendaknya jangan disamakan dengan kaum Shabi yang disebut
oleh ahli tafsir Bible tertentu,
sebagai kaum yang hidup di negeri Yaman kuno.
Tidak Cukup Sekedar Menyatakan “Beriman”
Sebagaimana firman Allah Swt. sebelumnya dalam QS.3:32 dan QS.4:70-91, ayat ini
(QS.2:63) tidak berarti bahwa hanya iman
kepada Allah Swt. dan
kepada Hari Kiamat saja cukup untuk
mencapai keselamatan,
sebagaimana orang telah keliru
memahaminya. Al-Quran menerangkan dengan tegas bahwa iman kepada Nabi Besar Muhammad Saw. itu sangat pokok (QS.4:151, 152;
QS.6:93) dan merupakan bagian tak terpisahkan dari keimanan kepada Allah Swt.., dan juga bahwa iman kepada akhirat,
mencakup juga iman kepada wahyu Ilahi (QS.4:151-152; QS.6:93).
Di tempat lain telah dinyatakan dengan tegas bahwa hanya Islam yang dapat diterima oleh Allah Swt. sebagai agama (QS.3:20, 86). Al-Quran di sini membatasi diri pada sebutan iman kepada Allah Swt. dan Hari Kiamat,
bukan karena iman kepada wahyu dan iman kepada Nabi Besar
Muhammad saw. itu tidak
bersifat pokok, tetapi karena kedua Rukun Iman pertama tersebut meliputi juga dua Rukun Iman yang belakangan,
keempat-empatnya benar-benar tidak dapat dipisah-pisahkan.
Pada hakikatnya, ayat ini (QS.2:63)
dimaksudkan untuk melenyapkan kepercayaan agama
Yahudi yang keliru dan juga agama Nasrani (Kristen) bahwa mereka
adalah “bangsa yang dianak-emaskan Tuhan”
sebagai “anak-anak Allah dan kekasih-Nya” (QS.5:19) dan
oleh karena itu hanyalah mereka yang berhak
mendapat najat (keselamatan – QS.
2:112).
Menurut ayat ini bahwa tidak menjadi soal apakah orang itu
pada lahirnya orang Yahudi, Kristen, Shabi atau Muslim, bila imannya hanya di bibir
saja maka iman demikian itu merupakan
suatu barang mati, tanpa jiwa dan tanpa kekuatan bergerak sedikit
pun di dalamnya.
Ayat ini juga dianggap mengandung suatu nubuatan
dan tolok ukur yang aman, untuk menguji
kebenaran Islam. Nubuatan itu ialah
bahwa Islam akan menang karena Islam itu agama yang benar. Tolok ukur itu terletak pada kenyataan bahwa nubuatan itu dikemukakan Allah Swt. pada
saat ketika Islam sedang berjuang
mempertahankan hidupnya sendiri.
Ayat ini dapat pula diartikan bahwa semua yang mendakwakan diri sebagai orang
yang beriman -- apakah mereka orang Yahudi, Kristen atau Shabi atau
termasuk suatu agama apa pun -- bila iman mereka kepada Allah Swt. atau Hari Kiamat benar dan jujur, dan mereka beramal saleh — yang merupakan intisari agama yang benar, yakni Islam
— maka tidak ada ketakutan akan
menimpa mereka dan tidak pula mereka akan bersedih, firman-Nya:
وَ قَالُوۡا لَنۡ یَّدۡخُلَ الۡجَنَّۃَ اِلَّا مَنۡ کَانَ ہُوۡدًا اَوۡ
نَصٰرٰی ؕ تِلۡکَ اَمَانِیُّہُمۡ ؕ قُلۡ ہَاتُوۡا بُرۡہَانَکُمۡ اِنۡ کُنۡتُمۡ صٰدِقِیۡنَ ﴿﴾ بَلٰی ٭
مَنۡ اَسۡلَمَ وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ
ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ
رَبِّہٖ ۪ وَ لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ
لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Dan mereka berkata: ”Tidak akan pernah ada yang akan masuk surga, kecuali orang-orang Yahudi atau Nasrani.” Ini hanyalah angan-angan mereka belaka. Katakanlah:
“Kemukakanlah bukti-bukti kamu, jika
kamu sungguh orang-orang yang benar.”
Tidak demikian, bahkan yang benar ialah barangsiapa
berserah diri kepada
Allah dan ia berbuat ihsan
maka baginya ada ganjaran di sisi
Tuhan-nya, tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula mereka akan
bersedih. (Al-Baqarah [2]:112-113).
Cara Meraih Kehidupan
Surgawi di Dunia
Melalui Ajaran Islam
(Al-Quran)
Orang-orang Yahudi dan Kristen kedua-duanya berkhayal
kosong bahwa hanya orang Yahudi
atau Kristen saja yang dapat meraih najat
(keselamatan), karena menurut pengakuan mereka masing-masing mereka adalah “bangsa yang dianak-emaskan Tuhan”
sebagai “anak-anak Allah dan kekasih-Nya” (QS.5:19) dan
oleh karena itu hanyalah mereka yang berhak
mendapat najat (keselamatan – QS.
2:112). Pada ayat selanjutnya Allah Swt.
dengan tegas menolak pendakwaan
mereka itu firman-Nya:
بَلٰی ٭ مَنۡ اَسۡلَمَ
وَجۡہَہٗ لِلّٰہِ وَ ہُوَ مُحۡسِنٌ فَلَہٗۤ اَجۡرُہٗ عِنۡدَ رَبِّہٖ ۪ وَ
لَا خَوۡفٌ عَلَیۡہِمۡ وَ لَا ہُمۡ یَحۡزَنُوۡنَ ﴿﴾٪
Tidak demikian, bahkan yang benar ialah barangsiapa
berserah diri (aslama)
kepada Allah dan ia berbuat ihsan (kebajikan) maka baginya ada ganjaran di sisi Tuhan-nya, tidak ada ketakutan atas mereka dan
tidak pula mereka akan bersedih. (Al-Baqarah [2]:113).
Aslama artinya berserah-diri sepenuhnya kepada Allah Swt. (QS.2:131-136;
QS.2:209). Wajh berarti: wajah (muka); benda itu sendiri; tujuan dan
motif; perbuatan atau tindakan yang kepadanya seseorang menujukan perhatian;
jalan yang diinginkan, anugerah atau kebaikan (Aqrab-ul-Mawarid).
Ayat ini memberi isyarat kepada tiga taraf penting ketakwaan sempurna, yaitu: (1) fana (menghilangkan diri),
(2) baqa (kelahiran kembali), dan
(3) liqa (memanunggal dengan
Allah Swt.). Kata-kata aslama “berserah diri kepada Allah”
berarti segala kekuatan dan anggota
tubuh orang-orang beriman, dan apa-apa
yang menjadi bagian dirinya, hendaknya diserahkan
kepada Allh Swt. seutuhnya dan dibaktikan kepada-Nya (QS.6:162-164). Keadaan
itu dikenal sebagai fana atau kematian
yang harus ditimpakan seorang Muslim
atas dirinya sendiri.
Anak-kalimat kedua “dan ia berbuat ihsan” menunjuk kepada keadaan baqa atau kelahiran kembali, sebab bila seseorang
telah melenyapkan dirinya (fana)
dalam cinta Ilahi dan segala tujuan serta keinginan duniawi telah lenyap,
ia seolah-olah dianugerahi kehidupan
baru yang dapat disebut baqa atau kelahiran kembali, maka ia hidup
untuk Allah Swt. dan bakti kepada umat manusia.
Kata-kata penutup – “tidak ada ketakutan atas mereka dan tidak pula
mereka akan bersedih“ -- menjelaskan taraf kebaikan ketiga dan tertinggi
— yaitu taraf liqa atau memanunggal
(menyatu) dengan Allah Swt. yang
dalam Al-Quran (QS.89:28) disebut pula “jiwa
yang tenteram” atau nafs muthma’innah, firman-Nya:
یٰۤاَیَّتُہَا النَّفۡسُ الۡمُطۡمَئِنَّۃُ ﴿٭ۖ﴾ ارۡجِعِیۡۤ اِلٰی رَبِّکِ رَاضِیَۃً مَّرۡضِیَّۃً ﴿ۚ﴾ فَادۡخُلِیۡ فِیۡ عِبٰدِیۡ ﴿ۙ﴾ وَ
ادۡخُلِیۡ جَنَّتِیۡ ﴿٪﴾
Hai jiwa yang tenteram! Kembalilah
kepada Tuhan engkau, engkau ridha
kepada-Nya dan Dia pun ridha kepada
engkau. Maka masuklah dalam golong-an
hamba-hamba-Ku, dan masuklah ke dalam surga-Ku. (Al-Fajr
[98]:28-31)
Nafs al-Mutmainnah (jiwa yang tentram) merupakan tingkat perkembangan ruhani tertinggi ketika manusia ridha kepada Tuhan-nya
dan Tuhan pun ridha kepadanya (QS.58:23). Pada tingkat ini yang disebut
pula tingkat surgawi, ia menjadi kebal terhadap segala macam kelemahan akhlak, diperkuat dengan kekuatan ruhani yang khusus. Ia “manunggal” dengan Allah Swt. dan tidak
dapat hidup tanpa Dia. Di dunia
inilah dan bukan sesudah mati perubahan ruhani besar terjadi di dalam
dirinya, dan di dunia inilah dan bukan di tempat lain jalan dibukakan baginya untuk masuk
ke surga.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
(Bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar