بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 50
Mereka yang “Disesatkan”
Perumpamaan-perumpamaan
dalam Al-Quran
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab sebelumnya
dijelaskan tentang firman Allah Swt. mengenai keadaan nikmat-nikmat
surgawi di alam akhirat, firman-Nya:
فَلَا
تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ اُخۡفِیَ لَہُمۡ
مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ
بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ اَفَمَنۡ کَانَ مُؤۡمِنًا کَمَنۡ کَانَ
فَاسِقًا ؕؔ لَا یَسۡتَوٗنَ ﴿﴾ اَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا
الصّٰلِحٰتِ فَلَہُمۡ جَنّٰتُ الۡمَاۡوٰی ۫ نُزُلًۢا بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ
﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa
mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mere-ka kerjakan. Maka apakah seorang yang beriman sama seperti orang fasik (durhaka)? Mereka tidak sama. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka bagi mereka ada surga-surga tempat tinggal, sebagai jamuan untuk apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah
[32]:18-20).
Waktu Nabi Besar Muhammad saw. menggambarkan bentuk dan sifat nikmat dan kesenangan surga (jannah), beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda –
sesuai dengan pernyataan Allah Swt.
dalam ayat di atas:
“Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga
itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia
dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).
Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan bersifat kebendaan. Nikmat-nikmat itu
akan merupakan penjelmaan-keruhanian perbuatan dan tingkah-laku baik yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini. Demikian juga halnya dengan gambaran siksaan di dalam neraka.
Kata-kata yang dipergunakan untuk
menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam
Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan.
Firman-Nya dalam
As-Sajdah ayat 18 pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi
yang akan dilimpahkan kepada orang-orang
beriman yang bertakwa di alam akhirat
bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan. Nikmat-nikmat
surgawi
tersebut itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ
جَزَآءًۢ بِمَا کَانُوۡا
یَعۡمَلُوۡنَ
“Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang
tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(As-Sajdah [32]:18).
Falsafah Nikmat-nikmat
Surgawi
Kembali kepada firman Allah Swt. dalam Surah As-Shaffat berikut ini mengenai hamba-hamba
Allah yang mukhlish dan nikmat-nikmat surgawi yang akan
dianugerahkan Allah Swt. kepada mereka:
اِلَّا
عِبَادَ اللّٰہِ الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿ ﴾ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ رِزۡقٌ
مَّعۡلُوۡمٌ ﴿ۙ ﴾ فَوَاکِہُ ۚ وَ ہُمۡ
مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ فِیۡ جَنّٰتِ
النَّعِیۡمِ ﴿ۙ ﴾ عَلٰی سُرُرٍ
مُّتَقٰبِلِیۡنَ ﴿ ﴾
Kecuali hamba-hamba
Allah yang tulus ikhlas, mereka memperoleh
rezeki yang telah diketahui, buah-buahan dan mereka
dimuliakan dalam kebun-kebun nikmat, duduk di
atas singgasana, berhadap-hadapan, (Ash-shāffāt [37]:41-45).
Dalam firman tersebut yang dikemukakan
secara jelas adalah “buah-buahan” sebagai “rezeki”
yang “telah diketahui”; dan “kebun-kebun” (jānnah), sedangkan
mengenai “sungai-sungai” (anhār) tidak
dikemukakan secara jelas, tetapi secara tersirat
dapat diketahui dari adanya
“kebun-kebun” (jannāh) dan
“buah-buahan” (fawākihu), sebab tanpa
keberadaan aliran air (sungai-sungai)
maka “kebun-kebun” tidak akan pernah
menghasilkan “buah-buahan” sebagai “rezeki yang diketahui.”
Mengenai pentingnya keberadaan “kebun-kebun” dan aliran “sungai-sungai” agar “kebun-kebun” tersebut menghasilkan “buah-buahan”, Allah Swt.
berfirman:
وَ بَشِّرِ
الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ
تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ کُلَّمَا
رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا
مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ
مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa sesungguhnya untuk
mereka ada kebun-kebun yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, mereka berkata: “Inilah
yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, akan diberikan kepada mereka yang
serupa dengannya, dan bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh
yang suci, dan mereka
akan kekal di dalamnya” (Al-Baqarah [2]:26).
Firman Allah Swt. ini menerangkan makna
tentang nikmat-nikmat surgawi yang terkandung dalam firman Allah Swt. sebelumnya, yakni:
اِلَّا
عِبَادَ اللّٰہِ الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿ ﴾ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ رِزۡقٌ
مَّعۡلُوۡمٌ ﴿ۙ ﴾ فَوَاکِہُ ۚ وَ ہُمۡ
مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ فِیۡ جَنّٰتِ
النَّعِیۡمِ ﴿ۙ ﴾ عَلٰی سُرُرٍ
مُّتَقٰبِلِیۡنَ ﴿ ﴾
Kecuali hamba-hamba
Allah yang tulus ikhlas, mereka memperoleh
rezeki yang telah diketahui, buah-buahan dan mereka
dimuliakan dalam kebun-kebun nikmat, duduk di
atas singgasana, berhadap-hadapan, (Ash-shāffāt [37]:41-45).
Makna “Jodoh-jodoh” dalam Surga
Sehubungan dengan kalimat “bagi mereka di dalamnya ada jodoh-jodoh yang suci“ Allah
Swt. dalam Al-Quran mengajarkan, bahwa
tiap-tiap makhluk memerlukan pasangan untuk perkembangannya yang sempurna, firman-Nya:
سُبۡحٰنَ الَّذِیۡ خَلَقَ الۡاَزۡوَاجَ کُلَّہَا مِمَّا تُنۡۢبِتُ الۡاَرۡضُ
وَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ مِمَّا لَا
یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Maha Suci Dzat Yang menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan
dari diri mereka sendiri, mau
pun dari apa yang tidak mereka ketahui.
(Yā
Sīn [36]:37).
Ilmu pengetahuan telah
menemukan kenyataan bahwa pasangan-pasangan
(jodoh-jodoh) terdapat dalam segala sesuatu — dalam alam nabati (tumbuh-tumbuhan/flora) dan malahan dalam zat anorganik. Bahkan yang disebut unsur-unsur pun tidak terwujud dengan
sendirinya. Unsur-unsur itu pun
bergantung pada zat-zat lain –
sebagai “pasangan/jodoh” -- untuk dapat mengambil wujud.
Kebenaran ilmiah ini berlaku juga
untuk kecerdasan manusia. Sebelum nur-nur
samawi turun, manusia tidak dapat memperoleh ilmu sejati yang lahir dari
perpaduan wahyu Ilahi dan kecerdasan otak manusia, karena itu
betapa pentingnya kesinambungan pengutusan rasul
Allah di kalangan Bani Adam
(QS.7:35-37), sebab berarti kesinambungan wahyu
Ilahi non-syariat terus berlangsung, sesuai dengan sifat Allah Swt. Al-Mutakallim (Maha Berbicara).
Dengan demikian diciptakannya
manusia yang berbeda kelamin
(laki-laki dan perempuan) pun pada hakikatnya satu sama lain merupakan bagian dari “jodoh/pasangan”, karena tanpa adanya “pasangan/jodoh””
tersebut manusia tidak akan dapat
memperkembangkan keadaan akhlak dan ruhaninya menjadi semakin sempurna, sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt.
melalui pernikahan yang sah (QS.4:2;
QS.7:190; QS.16:73; QS.30:22; QS.39:7), itulah sebabnya Allah Swt. dalam
Al-Quran melarang ajaran rahbaniyat (rahib yakni hidup membujang/menggadis) seumur hidup (QS.57:28).
Jadi, menurut Allah Swt. dalam
Al-Quran, para penghuni surga di dalam surga
– seperti halnya di dalam kehidupan di dunia ini -- orang-orang bertakwa laki-laki
dan perempuan akan mendapat jodoh (pasangan) suci untuk
menyempurnakan perkembangan ruhani
dan melengkapkan kebahagiaan mereka.
Macam apakah jodoh (pasangan) tersebut hanya dapat diketahui kelak di akhirat, sesuai dengan firman Allah Swt. sebelum ini:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ
جَزَآءًۢ بِمَا کَانُوۡا
یَعۡمَلُوۡنَ
“Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang
tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”
(As-Sajdah [32]:18).
Tujuan Mengemukakan Perumpamaan
“Nikmat-nikmat Surgawi”
Pernyataan Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 26, memberikan gambaran singkat secara kiasan (perumpamaan) mengenai ganjaran yang akan diperoleh orang-orang beriman di akhirat. Para kritikus Islam telah melancarkan
berbagai keberatan atas lukisan dalam
bentuk perumpamaan itu.
Kecaman-kecaman itu disebabkan oleh karena
sama sekali, tidak memahami ajaran Islam
tentang nikmat-nikmat surgawi.
Al-Quran dengan tegas mengemukakan bahwa ada
di luar kemampuan alam pikiran manusia untuk dapat mengenal hakikatnya
(QS.32:18), dan sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa Nabi Besar Muhammad
saw. diriwayatkan pernah
bersabda: “Tidak ada mata telah
melihatnya, tidak ada pula telinga telah mendengarnya, dan tidak pula pikiran
manusia dapat mengirakannya” (Bukhari).
Dengan sendirinya timbul
pertanyaan: Mengapa nikmat-nikmat surga diberi nama
yang biasa dipakai untuk benda-benda
di bumi ini? Hal demikian adalah karena seruan
Al-Quran itu tidak hanya semata-mata tertuju kepada orang-orang yang maju
dalam bidang ilmu, karena itu
Al-Quran mempergunakan kata-kata
sederhana yang dapat dipahami
semua orang. Sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman:
اِنَّ
اللّٰہَ لَا یَسۡتَحۡیٖۤ اَنۡ یَّضۡرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوۡضَۃً فَمَا فَوۡقَہَا
ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ
ۚ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَیَقُوۡلُوۡنَ مَا ذَاۤ اَرَادَ
اللّٰہُ بِہٰذَا مَثَلًا ۘ یُضِلُّ بِہٖ
کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
Allah tidak malu mengemukakan suatu perumpamaan sekecil
nyamuk bahkan yang
lebih kecil dari itu, ada pun orang-orang yang beriman maka mereka
mengetahui bahwa sesungguhnya perumpamaan itu kebenaran
dari Tu-han mereka, sedangkan orang-orang
kafir maka mereka mengatakan: “Apa yang dikehendaki Allah dengan perumpamaan ini?” Dengannya
Dia menyesatkan banyak orang dan dengannya pula Dia memberi petunjuk banyak orang, dan
sekali-kali tidak ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang fasik. (Al-Baqarah
[2]:27).
Dharaba al-matsala berarti: ia
memberi gambaran atau pengandaian; ia membuat pernyataan; ia mengemukakan
perumpamaan (Lexicon Lane; Taj-ul-‘Urus, dan QS.14:46). Allah
Swt. telah menggambarkan surga dan neraka dalam Al-Quran, dengan perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan.
Perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan melukiskan mendalamnya arti (makna/falsafah/petunjuk) yang tidak dapat diungkapkan sebaik-baiknya dengan jalan
lain, dan dalam hal-hal keruhanian perumpamaan-perumpamaan
dan tamsilan-tamsilan tersebut
memberikan satu-satunya cara untuk
dapat menyampaikan buah pikiran
dengan baik.
Kata-kata atau perumpamaan-perumpamaan yang dipakai
untuk menggambarkan surga, mungkin
tidak cukup dan tidak berarti (lemah) bagaikan nyamuk, yang dianggap oleh orang-orang Arab sebagai makhluk yang lemah dan memang pada
hakikatnya demikian. Orang-orang Arab berkata: Adh-‘afu min ba’udhatin, artinya "ia lebih lemah dari nyamuk".
Mereka yang “Disesatkan” Perumpamaan-
pertumpamaan
dalam Al-Quran
Meskipun demikian, perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan itu membantu untuk memunculkan dalam
angan-angan gambaran nikmat-nikmat surga itu. Orang-orang beriman mengetahui bahwa kata-kata itu hanya perumpamaan dan mereka berusaha menyelami kedalaman artinya, tetapi
orang-orang kafir mulai mencela perumpamaan-perumpamaan itu dan makin
bertambah dalam kesalahan dan kesesatan.
Fauq berarti dan bermakna “lebih
besar” dan “lebih kecil” dan dipakai dalam artian yang sesuai dengan konteksnya
(letaknya, ujung pangkalnya) — (Al-Mufradat),
itulah makna dari ayat “Sesungguhnya Allah tidak malu mengemukakan suatu
perumpamaan sekecil nyamuk bahkan yang
lebih kecil dari itu.“
Sehubungan dengan perumpamaan-perumpamaan
dalam Al-Quran tersebut, selanjutnya Allah Swt. menyatakan:
ۘ یُضِلُّ بِہٖ کَثِیۡرًا ۙ وَّ
یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ
اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ
“…Dengannya Dia
menyesatkan banyak orang dan dengannya pula Dia
memberi petunjuk banyak orang, dan sekali-kali tidak
ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang fasik….” (Al-Baqarah
[2]:27).
Adhallahullāh berarti: (1) Allah Swt. menetapkan dia berada dalam
kekeliruan; (2) Allah Swt. meninggalkan
atau membiarkan dia sehingga ia tersesat (Al-Kasysyaf
‘an
Ghawamidh al Tanzil); (3) Allah Swt. mendapatkan atau meninggalkan dia dalam kekeliruan atau membiarkan dia tersesat (Lexicon Lane).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 26 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar