Senin, 25 Februari 2013

Mereka yang "Disesatkan" Perumpamaan-perumpamaan dalam Al-Quran




      بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 



Bab 50


Mereka yang “Disesatkan”
Perumpamaan-perumpamaan
dalam Al-Quran  

 
 Oleh

Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam akhir Bab  sebelumnya  dijelaskan tentang  firman Allah Swt. mengenai  keadaan nikmat-nikmat surgawi di alam akhirat, firman-Nya:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ  اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ  بِمَا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾   اَفَمَنۡ کَانَ مُؤۡمِنًا کَمَنۡ کَانَ فَاسِقًا ؕؔ لَا  یَسۡتَوٗنَ ﴿﴾  اَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَہُمۡ جَنّٰتُ الۡمَاۡوٰی ۫ نُزُلًۢا بِمَا کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai  balasan terhadap apa yang telah mere-ka kerjakan. Maka apakah seorang yang beriman  sama seperti orang fasik (durhaka)? Mereka tidak sama. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka bagi mereka ada surga-surga tempat tinggal, sebagai jamuan untuk apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah [32]:18-20).
     Waktu  Nabi Besar Muhammad saw. menggambarkan bentuk dan sifat nikmat dan kesenangan surga (jannah),  beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda – sesuai dengan pernyataan  Allah Swt. dalam ayat di atas:
Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).
    Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan bersifat kebendaan. Nikmat-nikmat itu akan merupakan penjelmaan-keruhanian perbuatan dan tingkah-laku baik yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini. Demikian juga halnya dengan gambaran siksaan di dalam neraka.
       Kata-kata yang dipergunakan untuk menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan.  Firman-Nya   dalam   As-Sajdah ayat 18  pun  dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi yang akan dilimpahkan kepada orang-orang beriman  yang bertakwa di alam akhirat bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan. Nikmat-nikmat  surgawi tersebut itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ  اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ  بِمَا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ
Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai  balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”  (As-Sajdah [32]:18).

 Falsafah Nikmat-nikmat Surgawi

      Kembali kepada firman Allah Swt. dalam Surah As-Shaffat berikut ini mengenai  hamba-hamba Allah yang mukhlish dan nikmat-nikmat surgawi yang akan dianugerahkan Allah Swt. kepada mereka:
اِلَّا عِبَادَ  اللّٰہِ  الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿ ﴾   اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ  رِزۡقٌ  مَّعۡلُوۡمٌ ﴿ۙ ﴾   فَوَاکِہُ ۚ وَ  ہُمۡ  مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾  فِیۡ   جَنّٰتِ  النَّعِیۡمِ ﴿ۙ ﴾  عَلٰی  سُرُرٍ  مُّتَقٰبِلِیۡنَ ﴿ ﴾
Kecuali hamba-hamba  Allah yang tulus ikhlas,  mereka  memperoleh  rezeki yang telah diketahui, buah-buahan dan mereka  dimuliakan  dalam kebun-kebun nikmatduduk di atas singgasana, berhadap-hadapan,  (Ash-shāffāt [37]:41-45).
       Dalam firman tersebut yang dikemukakan secara jelas adalah “buah-buahan  sebagai “rezeki” yang “telah diketahui”; dan “kebun-kebun” (jānnah), sedangkan mengenai “sungai-sungai” (anhār) tidak dikemukakan secara jelas, tetapi secara tersirat  dapat diketahui dari adanya “kebun-kebun” (jannāh) dan “buah-buahan” (fawākihu), sebab tanpa keberadaan aliran air (sungai-sungai) maka “kebun-kebun” tidak akan pernah menghasilkan  buah-buahan  sebagai “rezeki yang diketahui.  
       Mengenai pentingnya keberadaan “kebun-kebun” dan aliran “sungai-sungai” agar “kebun-kebun” tersebut menghasilkan “buah-buahan”,  Allah Swt.  berfirman:
وَ بَشِّرِ الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ اَنَّ لَہُمۡ جَنّٰتٍ تَجۡرِیۡ مِنۡ تَحۡتِہَا الۡاَنۡہٰرُ ؕ  کُلَّمَا رُزِقُوۡا مِنۡہَا مِنۡ ثَمَرَۃٍ رِّزۡقًا ۙ قَالُوۡا ہٰذَا الَّذِیۡ رُزِقۡنَا مِنۡ قَبۡلُ ۙ وَ اُتُوۡا بِہٖ مُتَشَابِہًا ؕ وَ لَہُمۡ فِیۡہَاۤ اَزۡوَاجٌ مُّطَہَّرَۃٌ ٭ۙ وَّ ہُمۡ فِیۡہَا خٰلِدُوۡنَ ﴿﴾
Dan berilah kabar gembira  orang-orang yang beriman dan beramal saleh bahwa sesungguhnya  untuk mereka ada kebun-kebun yang di bawahnya mengalir sungai-sungai. Setiap kali diberikan kepada mereka buah-buahan dari kebun itu sebagai rezeki, mereka berkata: “Inilah yang telah direzekikan kepada kami sebelumnya”, akan diberikan kepada mereka yang serupa dengannya, dan bagi mereka di dalamnya ada  jodoh-jodoh yang suci, dan mereka akan kekal di dalamnya(Al-Baqarah [2]:26).
      Firman Allah Swt. ini menerangkan makna tentang nikmat-nikmat surgawi  yang terkandung dalam firman Allah Swt.  sebelumnya, yakni:
اِلَّا عِبَادَ  اللّٰہِ  الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿ ﴾   اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ  رِزۡقٌ  مَّعۡلُوۡمٌ ﴿ۙ ﴾   فَوَاکِہُ ۚ وَ  ہُمۡ  مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾  فِیۡ   جَنّٰتِ  النَّعِیۡمِ ﴿ۙ ﴾  عَلٰی  سُرُرٍ  مُّتَقٰبِلِیۡنَ ﴿ ﴾
Kecuali hamba-hamba  Allah yang tulus ikhlas,  mereka  memperoleh  rezeki yang telah diketahui, buah-buahan dan mereka  dimuliakan  dalam kebun-kebun  nikmatduduk di atas singgasana, berhadap-hadapan,  (Ash-shāffāt [37]:41-45).

Makna “Jodoh-jodoh” dalam Surga

       Sehubungan dengan kalimat “bagi mereka di dalamnya ada  jodoh-jodoh yang suci“ Allah Swt. dalam  Al-Quran mengajarkan,  bahwa  tiap-tiap makhluk memerlukan pasangan untuk perkembangannya yang sempurna, firman-Nya:
سُبۡحٰنَ الَّذِیۡ خَلَقَ الۡاَزۡوَاجَ کُلَّہَا مِمَّا تُنۡۢبِتُ الۡاَرۡضُ وَ مِنۡ اَنۡفُسِہِمۡ وَ  مِمَّا لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿﴾
Maha Suci Dzat Yang menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan  dari diri mereka sendiri, mau pun  dari apa yang  tidak mereka ketahui. (Yā Sīn [36]:37).
      Ilmu pengetahuan telah menemukan kenyataan bahwa pasangan-pasangan (jodoh-jodoh) terdapat dalam segala sesuatu — dalam alam nabati (tumbuh-tumbuhan/flora) dan malahan dalam zat anorganik. Bahkan yang disebut unsur-unsur pun tidak terwujud dengan sendirinya. Unsur-unsur itu pun bergantung pada zat-zat lain – sebagai “pasangan/jodoh” -- untuk dapat mengambil wujud.
       Kebenaran ilmiah ini berlaku juga untuk kecerdasan manusia. Sebelum nur-nur samawi turun, manusia tidak dapat memperoleh ilmu sejati yang lahir dari perpaduan wahyu Ilahi dan kecerdasan otak manusia, karena itu betapa pentingnya kesinambungan pengutusan rasul Allah di kalangan Bani Adam (QS.7:35-37), sebab berarti kesinambungan wahyu Ilahi non-syariat terus berlangsung, sesuai dengan sifat Allah Swt. Al-Mutakallim (Maha Berbicara).
     Dengan demikian diciptakannya manusia yang berbeda kelamin (laki-laki dan perempuan) pun pada hakikatnya  satu sama lain merupakan bagian dari “jodoh/pasangan”, karena tanpa adanya “pasangan/jodoh”” tersebut  manusia tidak akan dapat memperkembangkan keadaan akhlak dan ruhaninya  menjadi semakin sempurna,  sebagaimana yang dikehendaki Allah Swt. melalui pernikahan yang sah (QS.4:2; QS.7:190; QS.16:73; QS.30:22; QS.39:7), itulah sebabnya Allah Swt. dalam Al-Quran melarang ajaran rahbaniyat (rahib yakni  hidup membujang/menggadis) seumur hidup (QS.57:28).
       Jadi, menurut Allah Swt. dalam Al-Quran,  para penghuni surga di dalam surga – seperti halnya di dalam kehidupan di dunia ini -- orang-orang bertakwa laki-laki dan perempuan akan mendapat jodoh (pasangan) suci untuk menyempurnakan perkembangan ruhani dan melengkapkan kebahagiaan mereka.
      Macam apakah jodoh (pasangan) tersebut   hanya dapat diketahui kelak di akhirat, sesuai dengan firman Allah  Swt. sebelum ini:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ  اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ  بِمَا  کَانُوۡا  یَعۡمَلُوۡنَ
Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai  balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.”  (As-Sajdah [32]:18).

Tujuan Mengemukakan  Perumpamaan
“Nikmat-nikmat Surgawi”

      Pernyataan Allah Swt. dalam Surah Al-Baqarah ayat 26, memberikan gambaran singkat secara kiasan (perumpamaan) mengenai ganjaran yang akan diperoleh orang-orang beriman di akhirat. Para kritikus Islam telah melancarkan berbagai keberatan atas lukisan dalam bentuk perumpamaan  itu.
      Kecaman-kecaman itu disebabkan oleh karena sama sekali, tidak memahami ajaran Islam tentang nikmat-nikmat surgawi. Al-Quran dengan tegas mengemukakan bahwa ada di luar kemampuan alam pikiran manusia untuk dapat mengenal hakikatnya (QS.32:18), dan sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa Nabi Besar Muhammad saw.  diriwayatkan pernah bersabda: “Tidak ada mata telah melihatnya, tidak ada pula telinga telah mendengarnya, dan tidak pula pikiran manusia dapat mengirakannya” (Bukhari).
      Dengan sendirinya timbul pertanyaan:  Mengapa nikmat-nikmat surga diberi nama yang biasa dipakai untuk benda-benda di bumi ini? Hal demikian adalah karena seruan Al-Quran itu tidak hanya semata-mata tertuju kepada orang-orang yang maju dalam bidang ilmu, karena itu Al-Quran mempergunakan kata-kata sederhana yang dapat dipahami semua orang. Sehubungan dengan hal tersebut Allah Swt. berfirman:
اِنَّ اللّٰہَ لَا یَسۡتَحۡیٖۤ اَنۡ یَّضۡرِبَ مَثَلًا مَّا بَعُوۡضَۃً فَمَا فَوۡقَہَا ؕ فَاَمَّا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا فَیَعۡلَمُوۡنَ اَنَّہُ الۡحَقُّ مِنۡ رَّبِّہِمۡ ۚ وَ اَمَّا الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا فَیَقُوۡلُوۡنَ مَا ذَاۤ  اَرَادَ  اللّٰہُ بِہٰذَا مَثَلًا ۘ یُضِلُّ بِہٖ کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ  اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya Allah  tidak malu  mengemukakan suatu perumpamaan sekecil nyamuk bahkan  yang lebih kecil dari itu, ada pun orang-orang yang beriman maka mereka mengetahui bahwa sesungguhnya perumpamaan itu  kebenaran  dari Tu-han mereka, sedangkan orang-orang kafir maka mereka mengatakan: “Apa  yang dikehendaki Allah dengan  perumpamaan ini?”  Dengannya   Dia menyesatkan banyak orang  dan dengannya pula    Dia memberi petunjuk banyak orang, dan sekali-kali   tidak ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang  fasik. (Al-Baqarah [2]:27).
     Dharaba al-matsala berarti: ia memberi gambaran atau pengandaian; ia membuat pernyataan; ia mengemukakan perumpamaan (Lexicon Lane; Taj-ul-‘Urus, dan QS.14:46).   Allah Swt. telah menggambarkan surga dan neraka dalam Al-Quran, dengan perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan. Perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan melukiskan mendalamnya arti (makna/falsafah/petunjuk) yang tidak dapat diungkapkan sebaik-baiknya dengan jalan lain, dan dalam hal-hal keruhanian perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan tersebut memberikan satu-satunya cara untuk dapat menyampaikan buah pikiran dengan baik.
    Kata-kata atau perumpamaan-perumpamaan yang dipakai untuk menggambarkan surga, mungkin tidak cukup dan tidak berarti (lemah) bagaikan nyamuk, yang dianggap oleh orang-orang Arab sebagai makhluk yang lemah dan memang pada hakikatnya demikian. Orang-orang Arab berkata: Adh-‘afu min ba’udhatin, artinya  "ia lebih lemah dari nyamuk".

Mereka yang “Disesatkan” Perumpamaan-
pertumpamaan dalam Al-Quran

     Meskipun demikian, perumpamaan-perumpamaan dan tamsilan-tamsilan itu membantu untuk memunculkan dalam angan-angan  gambaran nikmat-nikmat surga itu. Orang-orang  beriman mengetahui bahwa kata-kata itu hanya perumpamaan dan mereka berusaha menyelami kedalaman artinya, tetapi orang-orang kafir mulai mencela perumpamaan-perumpamaan itu dan makin bertambah dalam kesalahan dan kesesatan.
      Fauq berarti dan bermakna “lebih besar” dan “lebih kecil” dan dipakai dalam artian yang sesuai dengan konteksnya (letaknya, ujung pangkalnya) — (Al-Mufradat), itulah makna dari ayat “Sesungguhnya Allah  tidak malu  mengemukakan suatu perumpamaan sekecil nyamuk bahkan  yang lebih kecil dari itu.“
      Sehubungan dengan perumpamaan-perumpamaan  dalam Al-Quran tersebut, selanjutnya Allah Swt. menyatakan:
ۘ یُضِلُّ بِہٖ کَثِیۡرًا ۙ وَّ یَہۡدِیۡ بِہٖ کَثِیۡرًا ؕ وَ مَا یُضِلُّ بِہٖۤ  اِلَّا الۡفٰسِقِیۡنَ
“…Dengannya   Dia menyesatkan banyak orang  dan dengannya pula  Dia memberi petunjuk banyak orang, dan sekali-kali   tidak ada yang Dia sesatkan dengannya kecuali orang-orang  fasik….” (Al-Baqarah [2]:27).
       Adhallahullāh berarti: (1) Allah Swt. menetapkan dia berada dalam kekeliruan; (2) Allah Swt.  meninggalkan atau membiarkan dia sehingga ia tersesat (Al-Kasysyafan Ghawamidh al Tanzil); (3) Allah Swt.  mendapatkan atau meninggalkan dia dalam kekeliruan atau membiarkan dia tersesat (Lexicon Lane).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 26 Februari  2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar