بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 42
Imam
Mahdi a.s. – Hakaman ‘Adlan (Hakim yang Adil)
Bukan Imam Mahdi “Penumpah Darah”
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab
sebelumnya telah dijelaskan
tentang kesuksesan Nabi Besar
Muhammad saw. sebagai “suri teladan
terbaik” (QS.33:22) dalam berbagai posisi
kehidupan manusia, di antaranya
ketika beliau saw. diamanati tugas yang amat besar dan berat dalam usaha memperbaiki suatu masyarakat yang sudah rusak (kaum
jahiliyah) beliau saw. menjadi sasaran derita aniaya dan pembuangan, namun
beliau saw. memikul semua penderitaan
itu dengan sikap agung dan budi luhur. Beliau
saw. bertempur sebagai prajurit gagah-berani dan memimpin
pasukan-pasukan. Beliau saw. menghadapi kekalahan dan beliau memperoleh
kemenangan-kemenangan. Beliau saw. menghakimi dan mengambil serta menjatuhkan
keputusan dalam berbagai perkara. Nabi Besar Muhammad saw. adalah seorang
negarawan, seorang pendidik, dan seorang pemimpin. Sebagaimana tergambar dalam
komentar seorang penulis Non-Muslim
berikut ini:
“Kepala negara merangkap Penghulu Agama,
beliau adalah Kaisar dan Paus sekaligus. Tetapi beliau adalah Paus yang tidak
berlaga Paus, dan Kaisar tanpa pasukan-pasukan yang megah. Tanpa balatentara
tetap, tanpa pengawal, tanpa istana yang megah, tanpa pungutan pajak tetap dan
tertentu, sehingga jika ada orang berhak mengatakan bahwa ia memerintah dengan
hak ketuhanan, maka orang itu hanyalah Muhammad, sebab beliau mempunyai
kekuasaan tanpa alat-alat kekuasaan dan tanpa bantuan kekuasaan. Beliau biasa
melakukan pekerjaan rumah tangga dengan tangan beliau sendiri, biasa tidur di
atas sehelai tikar kulit, dan makanan beliau terdiri dari kurma dan air putih
atau roti jawawut, dan setelah melakukan bermacam-macam tugas sehari penuh,
beliau biasa melewatkan malam hari dengan mendirikan shalat dan doa-doa hingga
kedua belah kaki beliau bengkak-bengkak. Tidak ada orang yang dalam keadaan dan
suasana yang begitu banyak berubah telah berubah begitu sedikitnya” (Muhammad and Muham-madanism”
karya Bosworth Smith).
Dalam Surah Ash-Shāffāt ayat 12-18 Allah
Swt. menyatakan ketika kepada orang-orang kafir
dikatakan bahwa ajaran Al-Quran yang
diperagakan oleh Nabi Besar Muhammad saw. akan menimbulkan perubahan besar di Arabia, dan orang-orang Arab yang telah mati ruhaninya itu bukan saja akan
mendapatkan kehidupan baru, malahan
karena mereka sendiri telah menerima kehidupan
baru, dan mereka akan memberikan kehidupan
baru itu kepada orang-orang lain juga, orang-orang
kafir lantas mengejek dan mencemoohkan gagasan
itu dan menyebutnya igauan orang gila
atau gejala yang mustahil terjadi semustahil hidupnya kembali orang yang jasadnya telah mati, firman-Nya:
فَاسۡتَفۡتِہِمۡ
اَہُمۡ اَشَدُّ خَلۡقًا اَمۡ مَّنۡ خَلَقۡنَا ؕ اِنَّا خَلَقۡنٰہُمۡ مِّنۡ
طِیۡنٍ لَّازِبٍ ﴿﴾ بَلۡ عَجِبۡتَ وَ یَسۡخَرُوۡنَ ﴿۪﴾ وَ اِذَا
ذُکِّرُوۡا لَا یَذۡکُرُوۡنَ ﴿۪﴾ وَ اِذَا
رَاَوۡا اٰیَۃً یَّسۡتَسۡخِرُوۡنَ ﴿۪﴾
وَ
قَالُوۡۤا اِنۡ ہٰذَاۤ اِلَّا
سِحۡرٌ مُّبِیۡنٌ ﴿ۚۖ﴾ ءَ
اِذَا مِتۡنَا وَ کُنَّا تُرَابًا وَّ
عِظَامًا ءَاِنَّا لَمَبۡعُوۡثُوۡنَ ﴿ۙ﴾
اَوَ اٰبَآؤُنَا الۡاَوَّلُوۡنَ ﴿ؕ﴾
Maka
tanyakanlah kepada mereka, apakah
mereka yang lebih sukar diciptakan
ataukah orang lainnya yang telah Kami ciptakan?
Sesungguhnya Kami telah menciptakan
mereka dari tanah liat
lengket. Bahkan engkau merasa takjub, sedangkan
mereka berolok-olok. Dan apabila mereka diperingatkan, mereka tidak
memperhatikan. Dan apabila mereka melihat
suatu Tanda, mereka memperolok-oloknya.
Dan mereka berkata, ”Ini tidak lain melainkan sihir
yang nyata. Apakah apabila kami telah mati dan sudah
menjadi debu dan tulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan lagi? Apakah juga bapak-bapak kami dahulu?” (Ash-Shāffāt [37]:12-18).
Dalam ayat-ayat Surah Ash-Shāffāt
selanjutnya Allah Swt. menjawab penolakan keras orang-orang kafir
terhadap gejala kebangkitan ruhani melalui pengutusan rasul Allah tersebut, dengan
pernyataan lebih keras lagi, bahwa hal demikian itu pasti akan terjadi dan mereka akan mengalami kenistaan dan kehinaan,
firman-Nya:
قُلۡ نَعَمۡ وَ
اَنۡتُمۡ دَاخِرُوۡنَ ﴿ۚ﴾ فَاِنَّمَا
ہِیَ زَجۡرَۃٌ وَّاحِدَۃٌ فَاِذَا ہُمۡ یَنۡظُرُوۡنَ ﴿﴾
وَ قَالُوۡا یٰوَیۡلَنَا ہٰذَا یَوۡمُ الدِّیۡنِ ﴿﴾
ہٰذَا یَوۡمُ الۡفَصۡلِ الَّذِیۡ کُنۡتُمۡ بِہٖ
تُکَذِّبُوۡنَ ﴿٪﴾
Katakanlah:
“Ya, dan kamu akan menjadi terhina.” Maka
sesungguhnya saat itu hanya dengan sebuah teriakan maka tiba-tiba mereka akan bangkit lagi dan mulai dapat melihat. Dan mereka
berkata: “Aduhai celakalah kami!
Inilah Hari Pembalasan.” Dia
berfirman: ”Inilah Hari Keputusan yang kamu
selalu mendustakannya.” (Ash-Shaffat
[37]:19-22).
Imam Mahdi Hakaman ‘Adlan (Hakim yang Adil) &
Misal Nabi
Isa Ibnu Maryam a.s.
Keadaan buruk seperti itu
pulalah di Akhir Zaman ini yang
akhirnya akan menimpa pihak-pihak yang mendustakan dan menentang Rasul Akhir Zaman, yang diutus
Allah Swt. sebagai Hakaman ‘Adlan (Hakim yang adil), yang dengan petunjuk
Allah Swt. melalui wahyu-Nya akan
memutuskan dengan benar berbagai perselisihan yang terjadi di kalangan umat beragama,
firman-Nya:
مَا کَانَ
اللّٰہُ لِیَذَرَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ عَلٰی مَاۤ
اَنۡتُمۡ عَلَیۡہِ حَتّٰی یَمِیۡزَ
الۡخَبِیۡثَ مِنَ الطَّیِّبِ ؕ وَ مَا کَانَ اللّٰہُ لِیُطۡلِعَکُمۡ عَلَی
الۡغَیۡبِ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ یَجۡتَبِیۡ مِنۡ رُّسُلِہٖ مَنۡ یَّشَآءُ ۪
فَاٰمِنُوۡا بِاللّٰہِ وَ رُسُلِہٖ ۚ وَ
اِنۡ تُؤۡمِنُوۡا وَ تَتَّقُوۡا فَلَکُمۡ
اَجۡرٌ عَظِیۡمٌ ﴿﴾
Allah
sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang yang beriman di dalam
keadaan kamu berada di dalamnya hingga
Dia memisahkan yang buruk dari
yang baik. Dan Allah sekali-kali
tidak akan memperlihatkan yang gaib kepada kamu, tetapi Allah memilih di antara rasul-rasul-Nya siapa yang Dia
kehendaki, karena itu berimanlah
kamu kepada Allah dan rasul-rasul-Nya,
dan jika kamu beriman dan bertakwa, maka bagi kamu ganjaran yang besar. (Ali
‘Imran [3]:180).
Firman-Nya
lagi:
عٰلِمُ الۡغَیۡبِ فَلَا یُظۡہِرُ عَلٰی غَیۡبِہٖۤ
اَحَدًا ﴿ۙ﴾ اِلَّا مَنِ ارۡتَضٰی
مِنۡ رَّسُوۡلٍ فَاِنَّہٗ یَسۡلُکُ مِنۡۢ
بَیۡنِ یَدَیۡہِ وَ مِنۡ خَلۡفِہٖ
رَصَدًا ﴿ۙ﴾ لِّیَعۡلَمَ اَنۡ
قَدۡ اَبۡلَغُوۡا رِسٰلٰتِ
رَبِّہِمۡ وَ اَحَاطَ بِمَا لَدَیۡہِمۡ وَ اَحۡصٰی کُلَّ شَیۡءٍ عَدَدً ﴿ۙ﴾
Dia-lah Yang mengetahui
yang gaib, maka Dia tidak
menzahirkan rahasia gaib-Nya kepada siapa pun, kecuali kepada Rasul yang Dia ridhai, maka sesungguhnya barisan pengawal berjalan di
hadapannya dan di belakangnya, supaya Dia mengetahui bahwa sungguh
mereka telah menyampaikan Amanat-amanat Tuhan mereka, dan
Dia meliputi semua yang ada pada mereka
dan Dia membuat perhitungan mengenai
segala sesuatu. (Al-Jin [72]:27-29).
Ungkapan, “izhhar ‘ala
al-ghaib” berarti: diberi pengetahuan dengan sering dan secara
berlimpah-limpah mengenai rahasia gaib
bertalian dengan dan mengenai peristiwa
dan kejadian yang sangat penting.
Ayat ini merupakan ukuran yang tiada tara bandingannya guna membedakan
antara sifat dan jangkauan rahasia-rahasia
gaib yang dibukakan kepada seorang rasul
Allah dan rahasia-rahasia gaib yang
dibukakan kepada orang-orang beriman
yang bertakwa lainnya.
Perbedaan itu letaknya
pada kenyataan bahwa, kalau rasul-rasul
Allah dianugerahi izhhar ‘ala al-ghaib yakni penguasaan atas yang
gaib, maka rahasia-rahasia yang
diturunkan kepada orang-orang bertakwa
dan orang-orang suci lainnya tidak
menikmati kehormatan serupa itu.
Tambahan pula wahyu yang
dianugerahkan kepada rasul-rasul Allah,
karena ada dalam pemeliharaan-istimewa-Ilahi,
keadaannya aman dari pemutar-balikkan
atau pemalsuan oleh jiwa-jiwa yang jahat, sedang rahasia-rahasia yang dibukakan kepada orang-orang bertakwa lainnya tidak
begitu terpelihara.
Wahyu rasul-rasul Allah
itu dijamin keamanannya terhadap pemutarbalikkan
atau pemalsuan, sebab para rasul itu membawa tugas dari Allah yang harus dipenuhi dan mengemban Amanat Ilahi yang harus disampaikan oleh
mereka.
Atas atas dasar itulah Nabi
Besar Muhammad Saw. telah menyebut Rasul Akhir Zaman tersebut -- selain
sebagai misal Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. (QS.43:58) atau Al-Masih
Mau’ud a.s. – juga sebagai Imam
Mahdi a.s. - Hakaman ‘Adlan (Hakim yang
adil), bukan Imam Mahdi “Penumpah
Darah” yang akan memutuskan perkara melalui cara-cara paksaan
dan kekerasan, sebagaimana yang
secara keliru difahami, firman-Nya:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ مَثَلًا
اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ یَصِدُّوۡنَ
﴿﴾ وَ
قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا ضَرَبُوۡہُ لَکَ
اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ ﴿﴾
اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ
جَعَلۡنٰہُ مَثَلًا لِّبَنِیۡۤ
اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾
Dan
apabila Ibnu Maryam dikemukakan sebagai
misal tiba-tiba kaum engkau
meneriakkan penentangan terhadapnya,
dan mereka berkata: "Apakah
tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?"
Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata. Bahkan mereka
adalah kaum yang biasa berbantah. Ia tidak lain melainkan seorang hamba yang telah Kami
anugerahi nikmat kepadanya, dan Kami menjadikan dia suatu perumpamaan bagi Bani
Israil. (Al-Zukhruf [43]:58-60).
Persamaan Bani Isma’il
(umat) Islam dengan
Bani Israil (Yahudi dan Nasrani)
Shadda (yashuddu) berarti: ia menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda
(yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes) (Aqrab-ul-Mawarid).
Lawan bicara Allah Swt. dalam ayat 58
adalah Nabi Besar Muhammad saw., dan makna kalimat qaumuka (kaum engkau) adalah umat
Islam, bukan kaum musyrik Arabiya,
sebab bangsa Arab jahiliyah sama
sekali tidak berkepentingan dengan masalah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atau pun
misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s..
Perlu juga dijelaskan, bahwa
walau pun benar kalimat qaumuka (kaum
engkau) tertuju kepada umat Islam, tetapi
bukan umat Islam di masa Nabi Besar Muhammad saw. dan di masa
para Khufatur Rasyidah r.a. melainkan
umat Islam di Akhir Zaman pada masa pengutusan kedua kali secara ruhani Nabi Besar Muhammad saw. (QS.63:3-5), dalam wujud misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atau Al-Masih Mau’ud a.s. (QS.43:58).
Dengan demikian sempurnalah sabda
Nabi Besar Muhammad saw. tentang adanya persamaan -- seperti “persamaan sepasang sepatu” -- antara umat beliau saw. (umat
Islam/Bani Ismail) dengan umat sebelumnya (Yahudi dan Nasrani/Bani Israil),
yakni:
(1)
Sebagaimana silsilah kenabian
di kalangan Bani Israil dimulai dengan pengutusan Nabi Musa a.s. dan Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s.; demikian pula di kalangan Bani Ismail pun silsilah kenabian
diawali dengan pengutusan misal Nabi
Musa a.s. yakni Nabi Besar Muhammad
saw. (QS.46:11) dan diakhiri dengan misal
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. (QS.43:58), yakni Mirza
Ghulam Ahmad a.s., Pendiri Jemaat Ahmadiyah.
(2)
Sebagaimana pada masa kedatangan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. di kalangan
kaum Yahudi telah terpecah-belah dalam berbagai macam sekte atau firqah – yang
utama adalah tiga golongan, yaitu:
golongan Farisi, golongan Saduki, dan golongan Essenes;
demikian pula pada masa kedatangan misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
(Al-Masih Mau’ud a.s.) pun, kalangan umat Islam dalam keadaan terpecah-belah dalam berbagai sekte dan firqah, yang utama ada 3 golongan yakni: Golongan
Ahlus-Sunnah, golongn Syiah, dan golongan
penganut Tashawuf.
(3)
Semua para pemuka sekte-sekte di kalangan kaum Yahudi sepakat melakukan pendustaan dengan mengeluarkan berbagai fatwa dusta dan melakukan penentangan – bahkan berupaya membunuh Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.
melalui penyaliban (QS.4:158-159); hal yang sama terjadi juga terhadap misal Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., yakni Mirza Ghulam Ahmad a.s., sebagaiman a digambarkan dalam
QS. 43:58-59.
(4) Makna “tuhan-tuhan” dalam pernyataan mereka "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?"
mengisyaratkan kefanatikan buta
mereka terhadap para apa pun yang dikatakan
atau difatwakan pemimpin firqah (sekte) yang menentang Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s. maupun yang menentang misal
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. di Akhir Zaman ini, berikut firman Allah Swt.
mengenai hal tersebut:
وَ قَالَتِ الۡیَہُوۡدُ
عُزَیۡرُۨ ابۡنُ اللّٰہِ وَ قَالَتِ النَّصٰرَی
الۡمَسِیۡحُ ابۡنُ
اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ قَوۡلُہُمۡ بِاَفۡوَاہِہِمۡ ۚ یُضَاہِـُٔوۡنَ قَوۡلَ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا مِنۡ
قَبۡلُ ؕ قٰتَلَہُمُ
اللّٰہُ ۚ۫ اَنّٰی یُؤۡفَکُوۡنَ ﴿﴾
اِتَّخَذُوۡۤا اَحۡبَارَہُمۡ وَ رُہۡبَانَہُمۡ اَرۡبَابًا مِّنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ وَ الۡمَسِیۡحَ ابۡنَ مَرۡیَمَ ۚ وَ مَاۤ اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِیَعۡبُدُوۡۤا اِلٰـہًا وَّاحِدًا ۚ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا ہُوَ ؕ سُبۡحٰنَہٗ عَمَّا یُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾ یُرِیۡدُوۡنَ اَنۡ یُّطۡفِـُٔوۡا نُوۡرَ اللّٰہِ بِاَفۡوَاہِہِمۡ وَ یَاۡبَی اللّٰہُ اِلَّاۤ اَنۡ یُّتِمَّ نُوۡرَہٗ وَ
لَوۡ کَرِہَ الۡکٰفِرُوۡنَ ﴿﴾ ہُوَ الَّذِیۡۤ
اَرۡسَلَ رَسُوۡلَہٗ بِالۡہُدٰی وَ دِیۡنِ
الۡحَقِّ لِیُظۡہِرَہٗ عَلَی الدِّیۡنِ کُلِّہٖ ۙ وَ
لَوۡ کَرِہَ الۡمُشۡرِکُوۡنَ ﴿﴾
Dan orang-orang
Yahudi berkata: “Uzair adalah
anak
Allah”, dan orang-orang Nasrani
berkata: “Al-Masih adalah anak Allah.” Demikian itulah perkataan mereka dengan mulutnya, mereka meniru-niru perkataan orang-orang kafir yang
terdahulu. Allah membinasakan mereka, bagaimana mereka sampai dipa-lingkan dari
Tauhid? Mereka telah menjadikan ulama-ulama mereka dan
rahib-rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah, dan begitu
juga Al-Masih ibnu Maryam,
padaha mereka tidak
diperintahkan melainkan supaya mereka menyembah
Tuhan Yang Mahaesa. Tidak ada Tuhan
kecuali Dia. Maha-suci Dia dari apa yang mereka sekutukan. Mereka berkehendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut mereka, tetapi Allah menolak bahkan menyempurnakan cahaya-Nya, walau pun orang-orang kafir tidak menyukai.
Dia-lah Yang telah mengutus Rasul-Nya dengan
petunjuk dan agama yang haq (benar), supaya Dia mengunggulkannya atas semua agama walau-pun orang-orang musyrik tidak menyukainya. (At-Taubah [9]:30-33).
‘Uzair atau Ezra
hidup pada abad kelima sebelum Masehi. Beliau keturunan Seraya, imam agung, dan
karena beliau sendiri pun anggota Dewan
Imam dan dikenal sebagai Imam Ezra.
Beliau termasuk seorang tokoh terpenting di masanya dan mempunyai pengaruh yang
luas sekali dalam mengembangkan agama
Yahudi. Beliau mendapat kehormatan khas di antara nabi-nabi Israil.
Orang-orang Yahudi di Medinah dan
suatu mazhab Yahudi di Hadramaut,
mempercayai beliau sebagai anak Allah.
Para Rabbi (pendeta-pendeta Yahudi) menghubungkan nama beliau dengan
beberapa lembaga-lembaga penting. Renan mengemukakan dalam mukadimah bukunya “History
of the People of Israel” bahwa bentuk agama
Yahudi yang-pasti dapat dianggap berwujud semenjak masa Ezra. Dalam
kepustakaan golongan Rabbi, beliau
dianggap patut jadi wahana pengemban syariat seandainya syariat itu tidak
dibawa oleh Nabi Musa a.s. Beliau
bekerjasama dengan Nehemya dan wafat pada usia 120 tahun di Babil (Yewish Encyclopaedia & Encyclopaedia
Biblica).
Kemusyrikan & Perpecahan Umat Beragama
Ahbar adalah ulama-ulama Yahudi dan Ruhban adalah para rahib agama Nasrani, sebutan-sebutan
tersebut ada juga di kalangan umat
Islam, yakni golongan ‘ulama dan golongan sufi atau faqir yang menjadi sentral terjadinya perpecahan
di kalangan umat Islam, sebagaimana
yang dikemukan firman Allah Swt. berikut ini:
فَاَقِمۡ
وَجۡہَکَ لِلدِّیۡنِ حَنِیۡفًا ؕ فِطۡرَتَ اللّٰہِ الَّتِیۡ فَطَرَ النَّاسَ عَلَیۡہَا ؕ لَا تَبۡدِیۡلَ لِخَلۡقِ اللّٰہِ ؕ ذٰلِکَ الدِّیۡنُ
الۡقَیِّمُ ٭ۙ وَ لٰکِنَّ اَکۡثَرَ
النَّاسِ لَا یَعۡلَمُوۡنَ ﴿٭ۙ﴾ مُنِیۡبِیۡنَ اِلَیۡہِ وَ اتَّقُوۡہُ
وَ اَقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ لَا
تَکُوۡنُوۡا مِنَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ ﴿ۙ﴾
مِنَ الَّذِیۡنَ فَرَّقُوۡا دِیۡنَہُمۡ وَ کَانُوۡا شِیَعًا ؕ کُلُّ حِزۡبٍۭ بِمَا لَدَیۡہِمۡ فَرِحُوۡنَ ﴿﴾
Maka hadapkanlah wajah engkau kepada agama yang lurus, yaitu fitrat Allah, yang atas dasar itu Dia menciptakan manusia, tidak ada
perubahan dalam penciptaan Allah, itulah
agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahui. Kembalilah kamu kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat, dan janganlah
kamu termasuk orang-orang yang musyrik,
Yaitu orang-orang yang memecah-belah agamanya
dan mereka menjadi golongan-golongan, tiap-tiap golongan bangga dengan apa yang ada pada mereka. (Al-Rum [30]:31-33).
Tuhan adalah Esa dan kemanusiaan itu satu,
inilah fithrat Allah dan dīnul-fithrah — satu agama yang berakar dalam fitrat manusia — dan terhadapnya manusia
menyesuaikan diri dan berlaku secara naluri. Di dalam agama inilah seorang bayi dilahirkan akan tetapi lingkungannya, cita-cita dan kepercayaan-kepercayaan
orang tuanya, serta didikan dan ajaran yang diperolehnya dari mereka
itu, kemudian membuat dia Yahudi, Majusi atau Kristen (Bukhari).
Hanya
semata-mata percaya kepada Kekuasaan mutlak dan Keesaan Tuhan, -- yang sesungguhnya hal
itu merupakan asas pokok agama yang
hakiki -- adalah tidak cukup. Suatu agama yang benar harus memiliki peraturan-peraturan
dan perintah-perintah tertentu. Dari
semua peraturan dan perintah itu shalat adalah yang harus mendapat prioritas utama.
Penyimpangan dari agama sejati
menjuruskan umat di zaman lampau kepada perpecahan
dalam bentuk aliran-aliran yang
saling memerangi dan menyebabkan
sengketa di antara mereka. Kenyataan tersebut terjadi pula di kalangan umat Islam di Akhir Zaman ini, yakni
terjerumus kepada sejenis “kemusyrikan” berupa terjadinya perpecahan
umat akibat “menyembah” para pemuka sekte
dan firqah di lingkungan umat Islam, berikut firman-Nya kepada
Nabi Besar Muhammad saw.:
اِنَّ الَّذِیۡنَ فَرَّقُوۡا دِیۡنَہُمۡ وَ کَانُوۡا
شِیَعًا لَّسۡتَ مِنۡہُمۡ فِیۡ شَیۡءٍ ؕ اِنَّمَاۤ اَمۡرُہُمۡ
اِلَی اللّٰہِ ثُمَّ یُنَبِّئُہُمۡ بِمَا کَانُوۡا یَفۡعَلُوۡنَ ﴿﴾
Sesungguhnya
orang-orang
yang memecah-belah agama mereka dan menjadi golongan-golongan, engkau sedikit pun tidak
mempunyai kepentingan dengan mereka. Sesungguhnya urusan
mereka terserah kepada Allah, kemudian Dia
akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. (Al-An’ām
[6]:160).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar,12 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar