بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 49
Gambaran “Nikmat-nikmat
Surga”
di Akhirat
Bermakna Ruhani
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam akhir Bab
sebelumnya dijelaskan tentang firman Allah Swt. mengenai orang-orang takabur yang menolak Tauhid Ilahi yang diajarkan oleh
para Rasul Allah, terutama Nabi Besar
Muhammad saw.:
اِنَّہُمۡ کَانُوۡۤا
اِذَا قِیۡلَ لَہُمۡ لَاۤ اِلٰہَ اِلَّا اللّٰہُ ۙ یَسۡتَکۡبِرُوۡنَ ﴿ۙ﴾ وَ یَقُوۡلُوۡنَ اَئِنَّا
لَتَارِکُوۡۤا اٰلِہَتِنَا
لِشَاعِرٍ مَّجۡنُوۡنٍ ﴿ؕ﴾ بَلۡ
جَآءَ بِالۡحَقِّ وَ صَدَّقَ الۡمُرۡسَلِیۡنَ ﴿﴾
اِنَّکُمۡ لَذَآئِقُوا
الۡعَذَابِ الۡاَلِیۡمِ ﴿ۚ﴾
وَ مَا تُجۡزَوۡنَ
اِلَّا مَا کُنۡتُمۡ تَعۡمَلُوۡنَ ﴿ۙ﴾
Sesungguhnya
dahulu apabila dikatakan kepada mereka: “Tidak
ada tuhan selain Allah”, mereka menyombongkan
diri. Dan mereka berkata: “Apakah kami benar-benar harus meninggalkan
tuhan-tuhan kami karena seorang
penyair gila?” Tidak
demikian, bahkan ia telah datang
dengan kebenaran dan telah
menggenapi [kebenaran] semua rasul.
Sesungguhnya kamu pasti akan merasakan
azab yang pedih. Dan kamu tidak akan
diberi balasan, kecuali apa yang kamu telah kerjakan, (Ash-shāffāt
[37]:36-40).
Bantahan Tuduhan Sebagai “Penyair
Gila” &
Penganugerahan Nikmat-nikmat
Ilahi
Dalam ayat-ayat tersebut Abu Jahal dan kawan-kawannya telah
menyebut Nabi Besar Muhammad saw. sebagai “seorang
penyair gila” (QS.15:7; QS.44:15; QS.68:52-53), dan mereka menganggap Al-Quran sebagai sekumpulan syair-syair gubahan beliau saw., namun
dengan tegas Allah Swt. menyatakan
tentang Nabi Besar Muhammad saw. dan Al-Quran: “bahkan ia telah datang dengan
kebenaran dan telah menggenapi [kebenaran] semua rasul”, dan untuk memperkuat pernyataan-Nya
tersebut selanjutnya Allah Swt. menyatakan mengenai nasib buruk yang akan dialami oleh para penentang Nabi Besar Muhammad saw.: Sesungguhnya kamu pasti akan
merasakan azab yang pedih. Dan kamu
tidak akan diberi balasan,
kecuali apa yang kamu telah kerjakan (QS.37:39-40).
Pernyataan Allah Swt. tersebut sesuai
dengan Sunnatullah yang telah
ditetapkan-Nya mengenai kehinaan para penentang rasul Allah dan
mengenai kemenangan rasul Allah pada akhirnya, firman-Nya:
اِنَّ الَّذِیۡنَ یُحَآدُّوۡنَ اللّٰہَ وَ
رَسُوۡلَہٗۤ اُولٰٓئِکَ فِی
الۡاَذَلِّیۡنَ ﴿﴾
کَتَبَ
اللّٰہُ لَاَغۡلِبَنَّ اَنَا وَ
رُسُلِیۡ ؕ اِنَّ اللّٰہَ قَوِیٌّ
عَزِیۡزٌ ﴿﴾
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya mereka itu termasuk orang-orang yang sangat hina. Allah
telah menetapkan: “Aku dan
rasul-rasul-Ku pasti
akan menang.” Sesungguhnya Allah
Maha Kuat, Maha Perkasa. (Al-Mujādilah
[58]:21-22).
Sebaliknya dengan nasib buruk para penentang rasul
Allah tersebut, selanjutnya Allah Swt. dalam Surah Ash-Shāffāt memberikan
lukisan singkat mengenai nikmat-nikmat
Ilahi yang dianugerahkan kepada hamba-hamba
Allah yang bertakwa dan terpilih.
Keterangan mengenai nikmat dan berkat Ilahi
yang akan dianugerahkan kepada orang-orang yang beriman, diikuti oleh
keterangan mengenai siksaan yang akan
ditimpakan kepada orang-orang yang menolak
kebenaran dan berbuat zalim
terhadap nabi-nabi Allah, firman-Nya:
اِلَّا
عِبَادَ اللّٰہِ الۡمُخۡلَصِیۡنَ ﴿ ﴾ اُولٰٓئِکَ لَہُمۡ رِزۡقٌ
مَّعۡلُوۡمٌ ﴿ۙ ﴾ فَوَاکِہُ ۚ وَ ہُمۡ
مُّکۡرَمُوۡنَ ﴿ۙ ﴾ فِیۡ جَنّٰتِ
النَّعِیۡمِ ﴿ۙ ﴾ عَلٰی سُرُرٍ
مُّتَقٰبِلِیۡنَ ﴿ ﴾
Kecuali hamba-hamba
Allah yang tulus ikhlas, mereka memperoleh
rezeki yang telah diketahui, buah-buahan dan mereka
dimuliakan dalam kebun-kebun nikmat, duduk di
atas singgasana, berhadap-hadapan, (Ash-shāffāt [37]:41-45).
Makna Mukhlishīn
Kata mukhlashīn
mengenai hamba-hamba Allah Swt.
dalam ayat tersebut berasal dari kata khalasha (khalish) yang
artinya antara lain: murni, bersih, tidak kecampuran,
jernih dan lain-lain, dan sehubungan dengan Tauhid Ilahi kata khalish
sering diterjemahkan “tulus ikhlas”. Sehubungan dengan hal itu
berikut firman-Nya mengenai tugas utama
pengutusan para rasul Allah yaitu
mengajarkan tauhid Ilahi yang hakiki,
terutama Nabi Besar Muhammad saw.
yang dalam firman-Nya berikut ini beliau saw. sebut
sebagai “bayyinah” (bukti yang
nyata):
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
﴿﴾ لَمۡ
یَکُنِ الَّذِیۡنَ کَفَرُوۡا
مِنۡ اَہۡلِ الۡکِتٰبِ وَ الۡمُشۡرِکِیۡنَ
مُنۡفَکِّیۡنَ حَتّٰی تَاۡتِیَہُمُ
الۡبَیِّنَۃُ ۙ﴿﴾ رَسُوۡلٌ مِّنَ اللّٰہِ یَتۡلُوۡا صُحُفًا
مُّطَہَّرَۃً ۙ﴿﴾ فِیۡہَا کُتُبٌ قَیِّمَۃٌ ؕ﴿﴾ وَ مَا تَفَرَّقَ الَّذِیۡنَ اُوۡتُوا الۡکِتٰبَ اِلَّا مِنۡۢ
بَعۡدِ مَا جَآءَتۡہُمُ
الۡبَیِّنَۃُ ؕ﴿﴾ وَ مَاۤ
اُمِرُوۡۤا اِلَّا لِیَعۡبُدُوا
اللّٰہَ مُخۡلِصِیۡنَ لَہُ الدِّیۡنَ ۬ۙ
حُنَفَآءَ وَ یُقِیۡمُوا الصَّلٰوۃَ وَ
یُؤۡتُوا الزَّکٰوۃَ وَ ذٰلِکَ دِیۡنُ الۡقَیِّمَۃِ ؕ﴿﴾
Aku
baca dengan nama Allah, Maha Pemurah,
Maha Penyayang. Orang-orang kafir dari Ahli-kitab dan orang-orang musyrik- tidak akan berhenti dari kekafiran
hingga datang kepada mereka bukti yang nyata, yaitu seorang rasul dari Allah yang membacakan
lembaran-lembaran suci, yang di
dalamnya ada perintah-perintah abadi.
Dan orang-orang yang diberi Kitab tidak berpecah-belah kecuali setelah datang kepada mereka bukti yang
nyata, padahal mereka tidak
diperin-tahkan melainkan supaya beribadah
kepada Allah dengan tulus ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya dan dengan lurus, serta mendirikan
shalat dan membayar zakat, dan
itulah agama yang lurus. (Al-Bayyinah
[98]:1-6).
Dīn dalam kalimat mukhlishīna lahu dīn berarti:
ketaatan; penguasaan; perintah; rencana; ketakwaan; kebiasaan atau adat;
perilaku atau tindak-tanduk (Lexicon
Lane), dengan demikian sesuai dengan arti-arti kata khalasha (khalis) bahwa semuanya yang
dimaksud dengan dīn -- yang juga artinya agama – bahwa semua rasul
Allah, terutama sekali Nabi Besar Muhammad saw., menyeru
semua manusia – termasuk golongan ahli
Kitab dan orang-orang musyrik –
untuk beribadah kepada Allah Swt dengan “tulus ikhlas dalam ketaatan kepada-Nya dan dengan lurus,
serta mendirikan shalat dan membayar zakat, dan itulah agama yang lurus.“
Orang-orang yang pemahaman dan pengamalan agamanya seperti itu, Allah Swt. menyebut mereka dalam Surah Ash-Shaffat ayat 41 “hamba-hamba
Allah yang mukhlis”, dan mengenai mereka itu selanjutnya Allah Swt.
berfirman “mereka memperoleh rezeki yang telah diketahui, buah-buahan dan mereka
dimuliakan dalam kebun-kebun
nikmat, duduk
di atas singgasana, berhadap-hadapan“.
Falsafah Gambaran Nikmat-nikmat Surgawi
Sebelum lebih lanjut
membahas nikmat-nikmat surgawi yang
akan dianugerahkan Allah Swt. kepada “hamba-hamba-Nya
yang mukhlish”, terlebih dulu akan dijelaskan mengenai hakikat nikmat-nikmat surgawi di alam akhirat, karena pada umumnya berbagai
gambaran nikmat-nikmat surgawi yang
dikemukakan Allah Swt. dalam Al-Quran secara keliru telah diartikan dalam
makna harfiah (jasmani), padahal pemahaman seperti itu bertentangan dengan firman Allah Swt. dan sabda
Nabi Besar Muhammad saw.. Allah Swt. berfirman mengenai nikmat-nikmat surgawi, firman-Nya:
فَلَا تَعۡلَمُ
نَفۡسٌ مَّاۤ اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ
قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ جَزَآءًۢ بِمَا کَانُوۡا
یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾ اَفَمَنۡ کَانَ
مُؤۡمِنًا کَمَنۡ کَانَ فَاسِقًا ؕؔ لَا
یَسۡتَوٗنَ ﴿﴾ اَمَّا الَّذِیۡنَ
اٰمَنُوۡا وَ عَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ فَلَہُمۡ جَنّٰتُ الۡمَاۡوٰی ۫ نُزُلًۢا بِمَا
کَانُوۡا یَعۡمَلُوۡنَ ﴿﴾
Maka tidak ada sesuatu jiwa
mengetahui apa yang tersembunyi bagi mereka dari penyejuk mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mere-ka kerjakan. Maka apakah seorang yang beriman sama seperti orang fasik (durhaka)? Mereka tidak sama. Adapun orang-orang yang beriman dan beramal saleh maka bagi mereka ada surga-surga tempat tinggal, sebagai jamuan untuk apa yang telah mereka kerjakan. (As-Sajdah
[32]:18-20).
Waktu Nabi Besar Muhammad saw. menggambarkan bentuk dan sifat nikmat dan kesenangan surga (jannah), beliau saw. diriwayatkan pernah bersabda –
sesuai dengan pernyataan Allah Swt.
dalam ayat di atas:
“Tiada mata pernah melihatnya (nikmat surga
itu) dan tiada pula telinga pernah mendengarnya, tidak pula pikiran manusia
dapat membayangkannya” (Bukhari, Kitab Bad’al-Khalaq).
Hadits itu menunjukkan bahwa nikmat kehidupan ukhrawi tidak akan bersifat kebendaan. Nikmat-nikmat itu
akan merupakan penjelmaan-keruhanian perbuatan dan tingkah-laku baik yang telah dikerjakan orang-orang bertakwa di alam dunia ini. Demikian juga halnya dengan gambaran siksaan di dalam neraka.
Kata-kata yang dipergunakan untuk
menggambarkan nikmat-nikmat itu dalam
Al-Quran telah dipakai hanya dalam arti kiasan.
Firman-Nya dalam
As-Sajdah ayat 18 pun dapat berarti bahwa karunia dan nikmat Ilahi
yang akan dilimpahkan kepada orang-orang
beriman yang bertakwa di alam akhirat
bahkan jauh lebih baik dan jauh lebih berlimpah-limpah dari yang dikhayalkan atau dibayangkan. Nikmat-nikmat
surgawi
tersebut itu akan berada jauh di luar batas jangkauan daya cipta manusia:
فَلَا تَعۡلَمُ نَفۡسٌ مَّاۤ اُخۡفِیَ لَہُمۡ مِّنۡ قُرَّۃِ اَعۡیُنٍ ۚ
جَزَآءًۢ بِمَا کَانُوۡا
یَعۡمَلُوۡنَ
“Maka tidak ada sesuatu jiwa mengetahui apa yang tersembunyi
bagi mereka dari penyejuk mata sebagai
balasan terhadap apa yang
telah mereka kerjakan.” (As-Sajdah
[32]:18).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 25 Februari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar