بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab I
Pentingnya Keberadaan “Imam” (Pemimpin) &
Jama’ah yang Hakiki
Oleh
Ki
Langlang Buana Kusuma
Baihaqi dan Ibn Mardawaih meriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbas
mengatakan Surah Ash-Shāffāt diturunkan di Makkah. Menurut Qurthubi, para
ulama pun sepakat menganggap bahwa Surah Ash-Shāffāt ini telah diwahyukan pada waktu awal sekali
di masa nubuwah (kenabian) Nabi Besar Muhammad saw. di Makkah. Gaya bahasa dan isi Surahnya
pun mendukung pandangan itu.
Dalam Surah sebelumnya (Surah
Yā Sīn) Nabi Besar
Muhammad saw. disebut Yā Sīn
yakni “Pemimpin yang sempurna.”
Kepada beliau saw. telah diberikan Al-Quran,
sebagai pemandu yang tak akan pernah
membuat kesalahan, untuk seluruh manusia
sampai Akhir Zaman. Masalah ini telah dibahas secara rinci dalam Blog “Purnama
Galuh Pakuan”.
Pada permulaan Surah Ash-Shaffat --
yang artinya “jajaran-jajaran”
atau “yang berjajar-jajar” --
dinyatakan, bahwa “Pemimpin yang sempurna” (Yā Sīn) tersebut dengan bantuan Al-Quran
dan teladan agung dan mulia yang diperlihatkan oleh beliau
saw. sendiri (QS.33:22) akan berhasil mewujudkan suatu jemaat (jama’ah) terdiri dari orang-orang yang bertakwa.
Surah ini mulai dengan suatu pernyataan
tegas, bahwa di bawah asuhan Nabi Besar
Muhammad saw. — “Pemimpin yang sempurna” — dari kalangan bangsa Arab jahiliyah akan lahir suatu jemaat (jama’ah) yang terdiri dari orang-orang mulia dan bertakwa, yang bukan saja mereka sendiri akan memuliakan Allah Swt. dan mendendangkan puji-pujian kepada-Nya, sehingga belantara padang pasir Arabia akan
bergema dengan puji-pujian itu , tetapi
dengan ajaran dan amal perbuatan akan mencegah orang-orang lain dari penyembahan
berhala dan perbuatan-perbuatan jahat,
sehingga Keesaan Tuhan akan berdiri
tegak dengan kokoh kuat di Arabia, dan
dari sana cahaya Islam akan menyebar
ke pelosok-pelosok dunia (QS.62:3-5), firman-Nya:
بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ ﴿﴾ وَ الصّٰٓفّٰتِ صَفًّا ۙ﴿﴾
Aku baca dengan
nama Allah, Maha Pemurah, Maha Penyayang.
Demi (Aku bersumpah demi) mereka yang berjajar-jajar dalam jajaran-jajaran yang rapat. (Ash-Shāffāt
[37]:1-2).
Hakikat Sumpah
Allah Swt.
Huruf wau berarti: juga; maka; sedangkan; sementara itu; pada
waktu itu juga; bersama-sama; dengan; namun; tetapi. Huruf itu mempunyai arti
yang sama dengan kata rubba, yaitu seringkali; kadang-kadang;
barangkali. Huruf itu pun merupakan huruf
persumpahan, yang berarti “demi” atau “aku bersumpah” atau “aku kemukakan
sebagai saksi” (Aqrab-ul-Mawarid
dan Lexicon Lane). Wau
telah dipakai dalam ayat ini dan dalam dua ayat berikutnya dalam arti “demi,” atau “aku bersumpah,” atau “aku kemukakan
sebagai saksi.”
Dalam Al-Quran Allah Swt. telah bersumpah atas nama wujud-wujud atau benda-benda tertentu atau telah menyebut wujud-wujud dan benda-benda itu sebagai saksi, misalnya dalam QS.91:2-11. Biasanya, bila seseorang mengambil sumpah dan bersumpah dengan nama Allah Swt., maka tujuannya ialah mengisi kelemahan persaksian yang kurang cukup atau menambah bobot atau meyakinkan pernyataannya. Dengan berbuat demikian ia memanggil Allah Swt. sebagai saksi bahwa ia mengucapkan hal yang benar bila tidak ada orang lain dapat memberikan persaksian atas kebenaran pernyataannya.
Tetapi tidaklah demikian halnya dengan sumpah-sumpah Al-Quran. Bilamana Al-Quran mempergunakan bentuk demikian maka kebenaran pernyataan yang dibuatnya itu tidak diusahakan dibuktikan dengan suatu pernyataan belaka melainkan dengan dalil kuat yang terkandung dalam sumpah itu sendiri. Kadang-kadang sumpah-sumpah itu menunjuk kepada hukum alam yang nyata dan dengan sendirinya menarik perhatian kepada apa yang dapat diambil arti, yaitu hukum-hukum ruhani dari apa yang nyata. Tujuan sumpah Al-Quran lainnya ialah menyatakan suatu nubuatan yang dengan menjadi sempurnanya membuktikan kebenaran Al-Quran. Demikianlah halnya di sini makna firman Allah Swt.: “Demi (Aku bersumpah demi) mereka yang berjajar-jajar dalam jajaran-jajaran yang rapat. (Ash-Shāffāt [37]:1-2).
Dalam Al-Quran Allah Swt. telah bersumpah atas nama wujud-wujud atau benda-benda tertentu atau telah menyebut wujud-wujud dan benda-benda itu sebagai saksi, misalnya dalam QS.91:2-11. Biasanya, bila seseorang mengambil sumpah dan bersumpah dengan nama Allah Swt., maka tujuannya ialah mengisi kelemahan persaksian yang kurang cukup atau menambah bobot atau meyakinkan pernyataannya. Dengan berbuat demikian ia memanggil Allah Swt. sebagai saksi bahwa ia mengucapkan hal yang benar bila tidak ada orang lain dapat memberikan persaksian atas kebenaran pernyataannya.
Tetapi tidaklah demikian halnya dengan sumpah-sumpah Al-Quran. Bilamana Al-Quran mempergunakan bentuk demikian maka kebenaran pernyataan yang dibuatnya itu tidak diusahakan dibuktikan dengan suatu pernyataan belaka melainkan dengan dalil kuat yang terkandung dalam sumpah itu sendiri. Kadang-kadang sumpah-sumpah itu menunjuk kepada hukum alam yang nyata dan dengan sendirinya menarik perhatian kepada apa yang dapat diambil arti, yaitu hukum-hukum ruhani dari apa yang nyata. Tujuan sumpah Al-Quran lainnya ialah menyatakan suatu nubuatan yang dengan menjadi sempurnanya membuktikan kebenaran Al-Quran. Demikianlah halnya di sini makna firman Allah Swt.: “Demi (Aku bersumpah demi) mereka yang berjajar-jajar dalam jajaran-jajaran yang rapat. (Ash-Shāffāt [37]:1-2).
Pentingnya Keberadaan
Seorang Imam dan Jama’ah yang Hakiki
Kalimat tersebut mengisyaratkan kepada orang-orang Muslim yang senantiasa bersiap-siaga berdiri di garis depan menghadapi musuh, atau berdiri berjajar-jajar (bershaf-shaf) di belakang imamnya pada waktu shalat fardu lima waktu setiap hari. Rujukan isyarat yang pertama -- yakni orang-orang Muslim yang senantiasa bersiap-siaga berdiri di garis depan menghadapi musuh -- antara lain firman Allah Swt. berikut ini:
Kalimat tersebut mengisyaratkan kepada orang-orang Muslim yang senantiasa bersiap-siaga berdiri di garis depan menghadapi musuh, atau berdiri berjajar-jajar (bershaf-shaf) di belakang imamnya pada waktu shalat fardu lima waktu setiap hari. Rujukan isyarat yang pertama -- yakni orang-orang Muslim yang senantiasa bersiap-siaga berdiri di garis depan menghadapi musuh -- antara lain firman Allah Swt. berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا
اصۡبِرُوۡا وَ صَابِرُوۡا وَ رَابِطُوۡا ۟ وَ اتَّقُوا اللّٰہَ لَعَلَّکُمۡ تُفۡلِحُوۡنَ ﴿ ﴾
Wahai orang-orang
yang beriman bersabarlah, tingkatkanlah kesabaran
serta bersiap-siagalah di
perbatasan dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu berhasil (Ali
‘Imran [3]:201).
Rābithū berarti: gigih dalam
perlawanan musuh kamu atau ikatlah kuda kamu dalam keadaan siap-siaga di tapal
batas; atau lazimkanlah dirimu tekun dan rajin dalam menjalankan kewajiban
terhadap agamamu; atau jagalah waktu shalat (Lexicon Lane).
Kelima syarat untuk kemenangan
(sukses) yang disebut dalam ayat Al-Quran ini ialah: (1) memperlihatkan
kesabaran dan kegigihan; (2) memperlihatkan kesabaran dan keteguhan hati lebih
besar daripada musuh; (3) melazimkan diri dengan senantiasa tekun dan rajin
dalam mengkhidmati agama dan masyarakat (4) senantiasa berjaga-jaga dengan
waspada di perbatasan untuk tujuan pertahanan dan serangan; dan (5) menempuh
kehidupan yang shalih.
Ribāth berarti
pula hati manusia. Jadi dalam ayat
ini orang-orang beriman diperintahkan
Allah Swt. untuk senantiasa berada dalam keadaan siap-siaga dan berjaga-jaga
untuk memerangi musuh-musuh di dalam
dan di luar. Musuh dari dalam antara
lain adalah hawa-nafsu, dimana menurut Nabi Besar Muhammad saw. syaitan yang berada dalam tubuh manusia tersebut mengalir
bersama darah dalam tubuhnya.
Bahaya “Musuh dari Dalam” &
Kemenangan Di Perang Badar
Sehubungan dengan “musuh dari dalam” hal tersebut Nabi Besar Muhammad saw. bersabda pula
mengenai defisini “orang yang kuat”, bahwa orang yang kuat
itu bukanlah yang bisa mengalahkan lawannya yang berada di luar tubuhnya
dalam suatu perkelahian atau perang, melainkan orang yang bisa mengalahkan hawa-nafsunya sendiri.
Sejarah Nabi Besar Muhammad saw. serta para Sahabah beliau saw. – demikian juga sejarah
umat Islam setelah Nabi Besar Muhammad saw. wafat
-- membuktikan bahwa pelanggaran
terhadap salah satu perintah
Allah Swt. dalam ayat terakhir Surah Ali
‘Imran tersebut telah menimbulkan kerugian
besar bagi umat Islam, bahkan
pada saat Perang Uhud pelanggaran tersebut nyaris membuat Nabi Besar Muhammad
saw. terbunuh oleh pasukan kaum kafir
Quraisy pimpinan Khalid bin Walid, yang menyerang
balik, ketika ia menyaksikan
terjadinya “pelanggaran” dari sebagian para pemanah
Muslim yang ditempatkan Nabi Besar Muhammad saw. di bukit Uhud terhadap perintah baliau saw., yang memerintahkan
mereka untuk tidak meninggalkan kedudukan
mereka di bukit uhud, walau pun mereka melihat pihak musuh dapat dikalahkan.
Berikut adalah firman Allah Swt. mengenai kemenangan
sementara umat Islam dalam Perang
Uhud yang berubah menjadi suatu kekalahan
yang bahkan nyaris membuat Nabi Besar Muhammad saw. terbunuh, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ صَدَقَکُمُ اللّٰہُ
وَعۡدَہٗۤ اِذۡ تَحُسُّوۡنَہُمۡ بِاِذۡنِہٖ
ۚ حَتّٰۤی اِذَا فَشِلۡتُمۡ وَ
تَنَازَعۡتُمۡ فِی الۡاَمۡرِ وَ عَصَیۡتُمۡ مِّنۡۢ بَعۡدِ مَاۤ اَرٰىکُمۡ مَّا
تُحِبُّوۡنَ ؕ مِنۡکُمۡ مَّنۡ یُّرِیۡدُ الدُّنۡیَا وَ مِنۡکُمۡ مَّنۡ یُّرِیۡدُ
الۡاٰخِرَۃَ ۚ ثُمَّ صَرَفَکُمۡ عَنۡہُمۡ
لِیَبۡتَلِیَکُمۡ ۚ وَ لَقَدۡ عَفَا عَنۡکُمۡ
ؕ وَ اللّٰہُ ذُوۡ فَضۡلٍ عَلَی الۡمُؤۡمِنِیۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya hingga apabila kamu telah menampakkan kelemahan dan bertengkar mengenai perintah Rasul itu, dan kamu durhaka sesudah Dia memperlihatkan kepada-mu apa yang kamu sukai yakni harta rampasan perang. Di antara kamu ada yang menginginkan dunia dan di antara kamu ada pula yang menginginkan akhirat, kemudian Dia memalingkan kamu dari memperhatikan mereka supaya Dia menguji kamu, dan sungguh Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Dan Allah memiliki karunia besar atas orang-orang yang beriman. (Ali ‘Imran [3]:153).
Dan sungguh Allah benar-benar telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya hingga apabila kamu telah menampakkan kelemahan dan bertengkar mengenai perintah Rasul itu, dan kamu durhaka sesudah Dia memperlihatkan kepada-mu apa yang kamu sukai yakni harta rampasan perang. Di antara kamu ada yang menginginkan dunia dan di antara kamu ada pula yang menginginkan akhirat, kemudian Dia memalingkan kamu dari memperhatikan mereka supaya Dia menguji kamu, dan sungguh Dia benar-benar telah memaafkan kamu. Dan Allah memiliki karunia besar atas orang-orang yang beriman. (Ali ‘Imran [3]:153).
Janji dalam kalimat “Allah benar-benar telah memenuhi
janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh mereka dengan izin-Nya“
tersebut mengisyaratkan kepada janji umum
mengenai kemenangan dan kebahagiaan yang berulang-ulang diberikan kepada kaum
Muslimin, terutama dalam ayat-ayat QS.3:124-126 yakni dalam peristiwa Perang Badar di mana umat
Islam yang berjumlah 313 orang,
dengan pertolongan Allah Swt.
mereka telah mampu mengalahkan pasukan kafir Quraisy pimpinan Abu Jahal, yang
berjumlah 1000 orang.
Buah Ketakwaan dan
Ketaatan
Pasukan kaum kafir Quraisy tersebut memiliki pengalaman berperang serta peralatan perang yang jauh lebih baik daripada pihak
orang-orang beriman yang sangat lemah
dalam segala sesuatunya, kecuali keunggulan dalam masalah
ketakwaan kepada Allah Swt. dan ketaatan
Nabi Besar Muhammad saw. yang sangat luar biasa, sehingga Suraqah bin Malik yang saat itu belum
beriman kepada Nabi Besar Muhammad saw.
– dan Allah Swt. menyebutnya setan yang menghasut kaum kafir Makkah untuk memerangi
Nabi Besar Muhammad saw. dan orang-orang beriman (QS.9:49)-- hatinya menjadi gentar melihat semangat jihad yang diperlihatkan oleh
orang-orang beriman tersebut, firman-Nya:
وَ اِذۡ زَیَّنَ لَہُمُ الشَّیۡطٰنُ اَعۡمَالَہُمۡ
وَ قَالَ لَا غَالِبَ
لَکُمُ الۡیَوۡمَ مِنَ النَّاسِ
وَ اِنِّیۡ جَارٌ لَّکُمۡ ۚ فَلَمَّا تَرَآءَتِ الۡفِئَتٰنِ نَکَصَ
عَلٰی عَقِبَیۡہِ وَ قَالَ اِنِّیۡ بَرِیۡٓءٌ مِّنۡکُمۡ اِنِّیۡۤ اَرٰی مَا لَا تَرَوۡنَ اِنِّیۡۤ اَخَافُ اللّٰہَ ؕ وَ اللّٰہُ شَدِیۡدُ الۡعِقَابِ ﴿٪﴾
Dan ingatlah ketika
syaitan menampakkan indah kepada mereka amal-amal mereka
dan berkata: ”Tidak seorang pun di antara manusia yang
dapat mengalahkan kamu pada hari ini, dan sesungguhnya aku pelindungmu.” Tetapi tatkala kedua
pasukan itu berhadapan satu sama lain, ia berbalik atas tumitnya
sambil berkata: “Sesungguhnya aku
berlepas diri darimu, sesungguhnya aku
melihat apa yang tidak kamu lihat, sesungguhnya aku takut kepada Allah dan siksaan Allah sangat keras. (Al-Anfāl [8]:49).
Diriwayatkan bahwa orang
yang dimaksudkan syaitan dalam ayat
ini adalah Suraqah bin Malik bin Jusyam,
yang menghasut orang-orang Makkah agar melawan orang-orang Islam, tetapi
kemudian dia sendiri memeluk agama Islam. Lasykar Makkah masih di Makkah
tatkala beberapa tokoh kabilah Quraisy menyatakan kekhawatiran bahwa jangan-jangan Banu Bakar, satu cabang Banu
Kinanah, yang bermusuhan dengan kaum
Quraisy menyerang Makkah secara tak
terduga di waktu mereka tidak ada di tempat atau menyerang lasykar Makkah dari
belakang.
Kekhawatiran Abu Jahal dan parta pemuka
kaum kafir Quraisy Makkah tersebut diredakan oleh Suraqah bin Malik bin Jusam, salah seorang pemuka Banu Kinanah,
yang meyakinkan mereka bahwa
orang-orang dari sukunya tidak akan
mendatangkan kemudaratan apa pun kepada mereka (Tafsir Ibnu Jarir, X, 13).
Tetapi ketika Suraqah bin Malik bin Jusam
menyaksikan tekad membaja orang-orang
Islam di Badar maka rasa takut menguasai dirinya, sebab
setelah melihat mereka ia memperoleh keyakinan
bahwa tekad mereka adalah menang
atau mati. Persis demikianlah
dirasakan oleh Utbah dan Umair pada Hari Badar dan ia memberitahukan kepada
orang-orang Makkah, bahwa orang-orang Islam nampaknya “seperti orang-orang yang mencari kematian” (Thabari).
Jadi, betapa ketakwaan dan ketaatan sempurna umat Islam kepada
Allah Swt. dan Nabi Besar Muhammad saw.
dalam Perang Badar telah menimbulkan
suatu kharisma atau wibawa atau pancaran aura yang demikian hebat, sehingga mempengaruhi hati
Suraqah bin Malik dan Utbah serta Umair, dan telah menyebabkan umat Islam
berhasil mengalahkan pasukan
kafir Quraisy Makkah pimpinan Abu Jahal,
dan bahkan Abu Jahal sendiri serta 7 orang pemuka lainnya – termasuk Utbah bin
Umair – terbunuh dalam Perang Badar, sedangkan Abu lahab mati di Makkah ketika mendengar berikan kekalahan tragis pasukan Abu Jahal dkk dalam perang Badar, sehingga lengkaplah jumlah 9 orang pembuat kerusakan di muka bumi sebagaimana yang juga terjadi di masa Nabi Shalih a.s. (QS.27:49).
Ketakwaan Dapat Menimbulkan
Mukjizat
Sehubungan dengan kemenangan umat Islam
atas pasukan kafir Quraisy dalam Perang Badar tersebut Allah Swt.
berfirman:
فَلَمۡ تَقۡتُلُوۡہُمۡ وَ لٰکِنَّ
اللّٰہَ قَتَلَہُمۡ ۪ وَ مَا رَمَیۡتَ
اِذۡ رَمَیۡتَ وَ لٰکِنَّ اللّٰہَ رَمٰی ۚ وَ لِیُبۡلِیَ الۡمُؤۡمِنِیۡنَ مِنۡہُ
بَلَآءً حَسَنًا ؕ اِنَّ
اللّٰہَ سَمِیۡعٌ عَلِیۡمٌ ﴿﴾
Maka bukan
kamu yang membunuh mereka melainkan Allah yang telah membunuh mereka, dan bukan engkau yang melemparkan pasir ketika engkau melempar melainkan Allah-lah
yang telah melempar, dan supaya
Dia menganugerahi orang-orang yang
beriman anugerah yang baik dari-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mendengar, Maha
Mengetahui. (Al-Anfāl [8]:18).
Menurut Allah Swt. bahwa kemenangan di Badar itu sebenarnya bukan disebabkan oleh suatu kecakapan atau kemahiran pihak orang-orang Islam. Mereka terlalu sedikit, terlalu
lemah, dan terlalu buruk persenjataan
mereka untuk memperoleh kemenangan
terhadap satu lasykar yang jauh lebih
besar jumlahnya, jauh lebih baik persenjataannya, lagi pula jauh lebih
terlatih.
Perlemparan segenggam kerikil dan pasir oleh Nabi Besar Muhammad saw. mempunyai
kesamaan yang ajaib dengan pemukulan air
laut dengan tongkat oleh Nabi
Musa a.s.. Sebagaimana perbuatan Nabi
Musa a.s. itu seolah-olah
merupakan isyarat bagi angin untuk bertiup dan bagi air-pasang
naik kembali sehingga membawa akibat tenggelamnya
Fir’aun serta lasykarnya di laut,
demikian pula halnya pelemparan segenggam
kerikil oleh Nabi Besar Muhammad saw. merupakan satu isyarat untuk angin bertiup
kencang dengan membawa akibat kebinasaan
Abu Jahal -- yang pernah disebut
oleh Nabi Besar Muhammad saw. sebagai
Fir’aun kaumnya -- dan lasykarnya di padang pasir itu.
Dalam kedua kejadian tersebut bekerjanya kekuatan-kekuatan
alam itu, bertepatan benar dengan tindakan-tindakan
kedua rasul Allah itu, di bawah takdir khas Allah Swt.. Allah Swt. telah
menyebut Perang Badar sebagai yang
dalam Al-Quran disebut yawmul furqān (hari pembeda – QS. 8:42-45; QS.3:14, 166-167).
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 11 November 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar