بِسۡمِ
اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ
Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt
Bab 84
Hubungan Doa Istri
‘Imran
Untuk Maryam
dan Keturunannya
dengan Penghapusan Rahbaniyah
Oleh
Ki Langlang Buana Kusuma
Dalam Bab
sebelumnya telah dikemukakan firman Allah Swt. mengenai kebingungan
istri ‘Imran ketika mengetahui bahwa bayi
yang dilahirkannya adalah seorang bayi
perempuan – bertentangan dengan harapannya menginginkan kelahiran bayi laki-laki, karena istri ‘Imran telah bernazar
hendak mewakafkan anak laki-laki yang
masih ada dalam kandungannya untuk berbakti kepada Tuhan, tetapi dalam
kenyataannya yang dilahirkannya adalah seorang anak perempuan, sehingga
dengan sendirinya istri ‘Imran menjadi bingung,
firman-Nya:
فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ
وَضَعۡتُہَاۤ اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ
اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ
کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ
الشَّیۡطٰنِ الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala
ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya
Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang
kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan anak
lelaki yang diharapkannya itu
tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan
sesungguhnya aku memohon perlindungan
Engkau untuknya dan keturunannya
dari syaitan yang terkutuk.”
(Āli ‘Imran [3]:37).
Anak kalimat aku menamainya
Maryam, mengandung doa kepada Allah
Swt. secara tidak langsung, untuk menjadikannya seorang anak perempuan yang mulia dan baik
serta shalih, seperti nampak dari
arti kata Maryam (yakni mulia
atau seorang ahli ibadah yang saleh).
Siti Maryam adalah
ibunda Nabi Isa ibnu Maryam, beliau mungkin diberi nama yang sama
dengan saudara perempuan Nabi Musa.s.
dan Nabi Harun a.s. -- yang dikenal dengan nama Miriam. Kata itu, yang adalah kata
majemuk dalam bahasa Ibrani, berarti: bintang laut; nyonya atau perempuan bangsawan; mulia; ahli ibadah yang saleh (Cruden’s Concordance; Kasysyaf; dan Encyclopaedia Biblica).
Kata-kata doa
ibu Siti Maryam – “sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya
dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk” -- itu
menimbulkan sedikit kesulitan. Bila ibunda Siti Maryam berniat mewakafkan anaknya untuk berbakti kepada Tuhan,
pasti beliau telah mengetahui bahwa
anaknya tidak akan menikah seumur hidup.
Jika demikian, maka apakah artinya memanjatkan
doa untuk keturunan sang anak perempuannya itu?
Melihat Kasyaf
(Penglihatan Ruhani)
Penjelasan yang paling mungkin adalah bahwa Allah Swt. telah mengabarkan kepada ibunda Siti Maryam dalam sebuah kasyaf (penglihatan ruhani) bahwa anak perempuannya itu akan tumbuh hingga dewasa dan akan mendapat seorang anak, dan atas berita itu
beliau mendoa agar Siti Maryam dan anaknya dikaruniai perlindungan Ilahi.
Namun demikian beliau nampaknya
telah menyerahkan hari depan Siti
Maryam ke tangan Ilahi dan mewakafkannya, sebagaimana diniatkannya semula untuk mengabdi
kepada Allah Swt. (QS.3:36; Injil Kelahiran Siti Maryam). Hal itu tentu saja merupakan suatu kekecualian, sebab hanya laki-laki sajalah yang dapat dipilih untuk bakti demikian.
Dugaan bahwa ibunda Siti Maryam menerima kasyaf
mengenai anak perempuannya akan
mendapat seorang laki-laki, tercantum
dalam Injil Maryam (3:5),
meskipun mungkin dalam bentuk yang agak
lain.
Alasan lainnya adalah bahwa Allah
Swt. berkehendak menghapuskan lembaga kerahiban di kalangan penganut agama Yahudi, khususnya
golongan Essennes. Karena telah bertentangan dengan tujuan awal dari rahbaniyah itu sendiri, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ اَرۡسَلۡنَا نُوۡحًا وَّ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ جَعَلۡنَا
فِیۡ ذُرِّیَّتِہِمَا النُّبُوَّۃَ وَ الۡکِتٰبَ فَمِنۡہُمۡ مُّہۡتَدٍ ۚ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾ ثُمَّ قَفَّیۡنَا عَلٰۤی اٰثَارِہِمۡ بِرُسُلِنَا وَ قَفَّیۡنَا بِعِیۡسَی ابۡنِ
مَرۡیَمَ وَ اٰتَیۡنٰہُ الۡاِنۡجِیۡلَ ۬ۙ
وَ جَعَلۡنَا فِیۡ قُلُوۡبِ الَّذِیۡنَ
اتَّبَعُوۡہُ رَاۡفَۃً وَّ رَحۡمَۃً ؕ وَ رَہۡبَانِیَّۃَۨ ابۡتَدَعُوۡہَا مَا کَتَبۡنٰہَا
عَلَیۡہِمۡ اِلَّا ابۡتِغَآءَ رِضۡوَانِ
اللّٰہِ فَمَا رَعَوۡہَا حَقَّ
رِعَایَتِہَا ۚ فَاٰتَیۡنَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنۡہُمۡ اَجۡرَہُمۡ ۚ وَ
کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Dan sungguh
Kami benar-benar telah mengutus
Nuh dan Ibrahim, dan Kami meletakkan di antara benih keturunan
mereka berdua kenabian dan Kitab, maka sebagian mereka mengikuti petunjuk tetapi kebanyak-an
dari mereka itu fasik. Kemudian Kami
mengikutkan di atas jejak-jejak mereka rasul-rasul Kami, dan Kami mengikutkan pula Isa Ibnu
Maryam, dan Kami memberikan
kepadanya Injil, dan Kami menjadikan
dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan cara hidup merahib yang dibuat-buat
mereka Kami sekali-kali tidak
mewajibkannya atas mereka, kecuali untuk mencari keridhaan Allah, tetapi mereka
tidak melaksanakannya sebagaimana seharusnya dilaksanakan, maka Kami menganugerahkan kepada orang-orang
yang beriman di antara mereka ganjaran
mereka, tetapi kebanyakan dari
mereka fasik. (Al-Hadīd [57]:27-28).
Membatalkan Rahbaniyah
(Hidup Tidak Menikah)
Ayat 28 dapat juga
diartikan bahwa para pengikut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. mengadakan
sendiri rahbaniyah (cara hidup membujang sebagai biarawan atau
biarawati) untuk mencari keridhaan Allah,
akan tetapi Allah Swt. tidak
memerintahkan yang demikian kepada mereka; atau artinya ialah mereka
membuat-buat sendiri cara hidup membiara
(merahib), akan tetapi Allah Swt. tidak pernah menetapkannya bagi mereka –
Dia hanya memerintahkan kepada mereka mencari
keridhaannya.
Dalam ayat yang mendahukuinya (QS.57:26) dinyatakan bahwa Allah Swt. telah menurunkan al-mīzān (timbangan) agar dengan menjauhi batas-batas
keterlaluan (ekstrim), orang harus mengambil jalan-tengah dalam segala urusan dan tindakan mereka.
Dalam ayat 28 contoh berkenaan dengan suatu umat (umat Kristen)
telah diutarakan guna memperlihatkan bahwa penempuhan
jalan ekstrim (keterlaluan) yang dilakukan oleh mereka -- meskipun dengan niat yang betapa pun baiknya –akan menjauhkan mereka dari tujuan yang telah diusahakan mereka
untuk mencapainya.
Mereka telah menciptakan
sendiri lembaga kerahiban untuk –
sebagaimana aggapan mereka yang keliru --
mencari keridhaan Allah, dan sesuai dengan ajaran dan sunah Nabi Isa
Ibnu Maryam a.s., akan tetapi lembaga kerahiban
itu ternyata merupakan sumber kejahatan sosial yang sangat banyak. Mereka mulai
mengamalkan rahbaniyah dan berakhir dengan menyibukan diri dalam
penyembahan Mamon. Tetapi Islam telah
mencela dan menyesali rahbaniyah sebagai
hal yang bertentangan dengan fitrat manusia.
Menurut riwayat Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda: “Tidak ada rahbaniyah dalam Islam” (Kamil
ibnu Atsir). Islam
bukanlah agama khayali yang hidup
dalam alam konsepsi atau ciptaan mereka sendiri dan sama sekali
terpisah dari kenyataan-kenyataan jelas dalam kehidupan ini. Tidak ada tempat
dalam Islam untuk ajaran yang tidak dapat diamalkan semacam itu,
seperti “jangan kamu khawatir akan hal
esok hari” (Matius 6:34).
Islam memerintahkan dengan tegas supaya “memperhatikan apa yang didahulukannya untuk esok hari” (QS.59:19).
Seorang Muslim sejati adalah orang
yang melaksanakan semua kewajibannya
kepada Tuhan dan manusia, secara adil dan sepenuhnya.
Doa Nabi Zakaria a.s. &
Kelahiran Nabi Yahya a.s.
Jadi, tidak ada sesuatu yang luar
biasa mengenai doa Hanna (istri
‘Imran) yang ingin agar Siti Maryam
serta keturunannya terpelihara dari pengaruh syaitan. Semua orang tua mendambakan hal seperti itu
untuk anak-anak mereka dan mendoa
agar mereka itu dibesarkan untuk menempuh kehidupan
yang baik lagi lurus:
وَ اِنِّیۡۤ اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ
ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ
الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
“…aku
memohon perlindungan Engkau untuknya
dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.” (Āli ‘Imran [3]:37).
Baik juga dicatat, meskipun Islam (Al-Quran) menyatakan bahwa semua nabi Allah selamat dari pengaruh syaitan, namun Bible tidak menganggap perlindungan itu dinikmati Nabi Isa Ibnu
Maryam a.s.. (Markus
1:12, 13).
Rajim diserap dari kata rajama artinya: (1) orang yang diusir dari hadirat
Ilahi dan kasih-sayang-Nya, atau orang terkutuk; (2) ditinggalkan dan dibiarkan
seorang diri; (3) dilempari dengan batu; (4) mahrum (luput) dari segala kebaikan dan kebajikan (Lexicon Lane).
Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pengabulan doa istri ‘Imran
mengenai anak perempuan yang
dilahirkannya:
فَتَقَبَّلَہَا
رَبُّہَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا
زَکَرِیَّا ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ
عِنۡدَہَا رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ
عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾
Maka Tuhan-nya telah menerimanya dengan penerimaan yang sangat baik, menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang
sangat baik dan menyerahkan
pemeliharaannya kepada Zakaria. Setiap kali Zakaria datang menemuinya di
mihrab didapatinya ada rezeki padanya.
Ia berkata: “Hai Maryam, dari
manakah engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia ber-kata: “Rezeki itu dari sisi Allah.” Se-sungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab. (Āli ‘Imran [3]:38).
Zakaria
a.s. itu nama seorang
orang-suci dari kalangan Bani Israil
yang dikemukakan oleh Al-Quran sebagai seorang nabi (QS.6:86), tetapi dalam Bible hanya disebut sebagai seorang imam (Lukas 1:5). Orang yang dikemukakan sebagai nabi oleh Bible ialah Zakharya -- perhatikan
perbedaan-perbedaan ejaannya -- yang
Al-Quran tidak menyebutnya. Nabi Zakaria a.s. dari Al-Quran itu
ialah ayahanda Nabi Yahya a.s., saudara sepupu Nabi Isa ibnu Maryam
a.s..
Hadiah-hadiah itu dibawa oleh orang-orang yang berkunjung ke
tempat itu untuk beribadah dan tidak ada hal luar biasa dalam bunyi jawaban Siti Maryam bahwa hadiah-hadiah itu dari Allah Swt., sebab
tiap-tiap barang baik yang datang kepada manusia sebenarnya berasal dari Allah
Swt. karena Tuhan itu Maha Pemberi.
Pada hakikatnya, suatu jawaban
lain dari seorang anak perempuan
dengan didikan agama seperti yang
diperoleh Siti Maryam tentu akan mengherankan. Kenyataan itulah yang
telah menggugah Nabi Zakaria a.s.
untuk memperoleh keturunan yang shaleh
seperti Maryam, karena istri
beliau sampai dengan saat itu belum juga
dapat melahirkan seorang anak, walau pun selama itu Nabi Zakaria terus
menerus berdoa (QS.19:3-12), firman-Nya:
ہُنَالِکَ
دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً
طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ الدُّعَآءِ
﴿﴾ فَنَادَتۡہُ
الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ
اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ سَیِّدًا
وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾
Di sanalah
Zakaria berdoa kepada
Tuhan-nya, dia berkata: ”Ya
Tuhan-ku, anugerahilah aku juga dari
sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” Maka malaikat
menyerunya ketika ia sedang
berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya Allah memberi engkau kabar gembira
tentang Yahya, yang akan menggenapi kalimat
dari Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi dari antara orang-orang saleh.” (Āli ‘Imran [3]:39-40).
Jawaban
yang saleh dari anak itu memberi kesan
sangat mendalam pada pikiran Nabi Zakaria a.s. dan membangkitkan dalam jiwanya
keinginan terpendam yang wajar untuk mempunyai anak sendiri yang shalih seperti dia. Beliau mendoa kepada Allah
Swt. untuk dianugerahi
seorang anak seperti Siti Maryam.
Nabi Zakaria a.s. Tidak Pernah Menjadi
Bisu
Doa Nabi Zakaria a.s. tersebut nampaknya
dipanjatkan berulang-ulang selama satu masa yang panjang, seperti disebutkan dengan kata-kata lain di
berbagai tempat dalam Al-Quran (QS.3:39; QS.19:4-7; QS.21:90), karena beliau pun
-- seperti halnya istri ‘Imran
-- merasakan keprihatinan yang
sama mengenai keadaan akhlak dan ruhani
Bani Israil bagaikan keadaan seorang perempuan
tua yang rahimnya mandul sebagaimana tergambar dalam doa beliau dalam Surah Maryam ayat 4-7.
Nabi Yahya a.s. adalah seorang nabi yang datang sebelum
Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. berlaku
sebagai perintis bagi kedatangan
beliau, sesuai dengan nubuatan Bible (Maleakhi
3:1 dan 4:5). Kata Ibraninya ialah Yuhanna,
yang dalam bahasa itu berarti
"Tuhan telah bermurah hati" (Encyclopaedia Britannica). Nama Yahya diberikan oleh Allah
Swt. Sendiri.
Nabi Yahya a.s. datang sesuai dengan nubuatan
Maleakhi: “Bahwasanya Aku menyuruhkan
kepadamu Elia, nabi itu, dahulu
daripada datang hari Tuhan yang besar
dan hebat itu” (Maleakhi 4:5). Selanjutnya
Allah Swt. berfirman:
قَالَ رَبِّ
اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ وَّ قَدۡ
بَلَغَنِیَ الۡکِبَرُ وَ امۡرَاَتِیۡ عَاقِرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکَ اللّٰہُ یَفۡعَلُ مَا یَشَآءُ ﴿﴾ قَالَ رَبِّ اجۡعَلۡ لِّیۡۤ اٰیَۃً ؕ قَالَ اٰیَتُکَ اَلَّا تُکَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَۃَ
اَیَّامٍ اِلَّا رَمۡزًا ؕ وَ اذۡکُرۡ
رَّبَّکَ کَثِیۡرًا وَّ سَبِّحۡ بِالۡعَشِیِّ وَ الۡاِبۡکَارِ ﴿٪﴾
Ia, Zakaria, berkata:
”Ya Tuhan-ku,
bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki, sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi
pula istriku mandul?” Dia
berfirman: “Demikianlah kekuasaan
Allah, Dia berbuat apa yang Dia kehendaki.” Ia berkata: “Ya Tuhan-ku, berikanlah
kepadaku suatu Tanda. Dia
berfirman: “Tanda bagi engkau yaitu engkau
tidak boleh berbicara dengan manusia selama tiga hari kecuali
dengan isyarat, dan ingatlah Tuhan engkau sebanyak-banyaknya
serta bertasbihlah di waktu petang
dan pagi hari.” (Āli ‘Imran [3]:41-42).
Ghulam berarti anak muda (Lexicon
Lane). Pertanyaan Nabi Zakaria a.s. merupakan ungkapan yang tercetus dari rasa heran yang tulus dan polos tatkala
mendengar janji Ilahi itu. Pertanyaan
itu mengandung pula doa terselubung
agar mudah-mudahan ia mendapat umur cukup panjang sehingga dapat melihat anak
itu lahir dan tumbuh menjadi seorang pemuda
(ghulam).
Nabi Zakaria
a.s. harus pantang berbicara selama tiga hari, dan
kemudian janji itu baru akan
dipenuhi. Beliau tidak kehilangan kemampuan bicara – yakni tiba-tiba menjadi bisu, -- seperti nampaknya dikatakan Bible, sebagai hukuman karena tidak percaya kepada perkataan Allah Swt. (Lukas
1:20-22).
Perintah supaya membisu dimaksudkan agar memberikan kesempatan baik kepada Nabi Zakaria
a.s. untuk menggunakan waktu beliau dengan bertafakur dan berdoa — suatu syarat yang istimewa sekali, berfaedah untuk menarik
rahmat dan berkat Ilahi. Pantang bercakap-cakap juga ternyata sangat berfaedah
dalam keadaan tertentu untuk membuat seseorang memulihkan kembali daya
hayati dan kekuatan jasmani yang
telah hilang. Kebiasaan itu agaknya lazim terdapat di tengah kaum Yahudi di
zaman itu.
(Bersambung)
Rujukan: The
Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***
Pajajaran Anyar, 31 Maret 2013