Minggu, 31 Maret 2013

Hubungan Doa Istri 'Imran untuk Maryam dan Keturunannya dengan Penghapusan "Rahbaniyah"



بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 84


  Hubungan  Doa Istri ‘Imran 
Untuk Maryam dan Keturunannya  
dengan Penghapusan Rahbaniyah 

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  firman Allah Swt. mengenai kebingungan istri ‘Imran ketika mengetahui bahwa bayi yang dilahirkannya adalah seorang bayi perempuan – bertentangan  dengan harapannya menginginkan kelahiran bayi laki-laki, karena istri ‘Imran  telah bernazar hendak mewakafkan anak laki-laki yang masih ada dalam kandungannya untuk berbakti kepada Tuhan, tetapi dalam kenyataannya yang dilahirkannya adalah seorang anak perempuan,  sehingga  dengan sendirinya istri ‘Imran  menjadi bingung, firman-Nya:
  فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan  anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 
     Anak kalimat aku menamainya Maryam, mengandung doa kepada Allah Swt. secara tidak langsung, untuk menjadikannya seorang anak perempuan yang mulia dan baik serta shalih, seperti nampak dari arti kata Maryam (yakni   mulia atau seorang ahli ibadah yang saleh).
      Siti Maryam  adalah  ibunda Nabi Isa ibnu Maryam,  beliau mungkin diberi nama yang sama dengan saudara perempuan Nabi Musa.s.  dan Nabi Harun a.s. --  yang dikenal dengan nama Miriam. Kata itu, yang adalah kata majemuk dalam bahasa Ibrani, berarti: bintang laut; nyonya atau perempuan  bangsawan; mulia; ahli ibadah yang saleh (Cruden’s Concordance; Kasysyaf; dan Encyclopaedia Biblica).
    Kata-kata doa ibu Siti Maryam – “sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk” -- itu menimbulkan sedikit kesulitan. Bila ibunda Siti Maryam berniat mewakafkan anaknya untuk berbakti kepada Tuhan, pasti beliau  telah mengetahui bahwa anaknya tidak akan menikah seumur hidup. Jika demikian, maka apakah artinya memanjatkan doa untuk keturunan sang anak perempuannya  itu?

Melihat Kasyaf (Penglihatan Ruhani)  

     Penjelasan yang paling mungkin adalah  bahwa  Allah Swt. telah mengabarkan kepada ibunda Siti Maryam dalam sebuah kasyaf (penglihatan ruhani) bahwa anak perempuannya  itu akan tumbuh hingga dewasa dan akan mendapat seorang anak, dan atas berita itu beliau mendoa agar Siti Maryam dan anaknya dikaruniai perlindungan Ilahi.
       Namun demikian beliau nampaknya telah menyerahkan hari depan Siti Maryam ke tangan Ilahi dan mewakafkannya, sebagaimana diniatkannya semula untuk mengabdi kepada Allah Swt.   (QS.3:36; Injil Kelahiran Siti Maryam). Hal itu tentu saja merupakan suatu kekecualian, sebab hanya laki-laki sajalah yang dapat dipilih untuk bakti demikian.
  Dugaan bahwa ibunda Siti Maryam menerima kasyaf mengenai anak perempuannya akan mendapat seorang laki-laki, tercantum dalam Injil Maryam (3:5), meskipun  mungkin dalam bentuk yang agak lain.
Alasan lainnya adalah bahwa Allah Swt. berkehendak menghapuskan lembaga kerahiban  di kalangan penganut agama Yahudi, khususnya golongan Essennes. Karena telah bertentangan dengan tujuan awal dari rahbaniyah itu sendiri, firman-Nya:
وَ لَقَدۡ  اَرۡسَلۡنَا  نُوۡحًا وَّ اِبۡرٰہِیۡمَ وَ جَعَلۡنَا فِیۡ  ذُرِّیَّتِہِمَا النُّبُوَّۃَ  وَ الۡکِتٰبَ فَمِنۡہُمۡ  مُّہۡتَدٍ ۚ وَ کَثِیۡرٌ مِّنۡہُمۡ فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾  ثُمَّ قَفَّیۡنَا عَلٰۤی اٰثَارِہِمۡ  بِرُسُلِنَا وَ قَفَّیۡنَا بِعِیۡسَی ابۡنِ مَرۡیَمَ  وَ اٰتَیۡنٰہُ الۡاِنۡجِیۡلَ ۬ۙ وَ جَعَلۡنَا فِیۡ  قُلُوۡبِ الَّذِیۡنَ اتَّبَعُوۡہُ  رَاۡفَۃً  وَّ رَحۡمَۃً ؕ وَ رَہۡبَانِیَّۃَۨ  ابۡتَدَعُوۡہَا مَا کَتَبۡنٰہَا عَلَیۡہِمۡ  اِلَّا ابۡتِغَآءَ رِضۡوَانِ اللّٰہِ  فَمَا رَعَوۡہَا حَقَّ رِعَایَتِہَا ۚ فَاٰتَیۡنَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوۡا مِنۡہُمۡ اَجۡرَہُمۡ ۚ وَ کَثِیۡرٌ  مِّنۡہُمۡ  فٰسِقُوۡنَ ﴿﴾
Dan  sungguh  Kami benar-benar telah mengutus Nuh dan Ibrahim, dan Kami meletakkan di antara benih keturunan mereka berdua kenabian dan  Kitab, maka sebagian mereka mengikuti petunjuk tetapi  kebanyak-an dari mereka itu fasik.  Kemudian  Kami mengikutkan di atas jejak-jejak mereka rasul-rasul Kami, dan Kami mengikutkan pula Isa Ibnu Maryam, dan Kami memberikan kepadanya Injil, dan Kami menjadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya rasa santun dan kasih sayang. Dan cara hidup merahib yang dibuat-buat mereka Kami sekali-kali tidak mewajibkannya atas mereka, kecuali untuk mencari keridhaan Allah,  tetapi mereka tidak melaksanakannya sebagaimana seharusnya dilaksanakan, maka Kami menganugerahkan kepada orang-orang yang beriman di antara mereka ganjaran mereka, tetapi kebanyakan dari mereka fasik. (Al-Hadīd [57]:27-28).

Membatalkan Rahbaniyah (Hidup  Tidak Menikah)

 Ayat 28  dapat juga diartikan bahwa para pengikut Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. mengadakan sendiri rahbaniyah (cara hidup membujang sebagai biarawan atau biarawati) untuk mencari keridhaan Allah, akan tetapi Allah Swt. tidak memerintahkan yang demikian kepada mereka; atau artinya ialah  mereka membuat-buat sendiri cara hidup membiara (merahib),  akan tetapi Allah  Swt. tidak pernah menetapkannya bagi mereka – Dia hanya memerintahkan kepada mereka mencari keridhaannya.
 Dalam ayat yang mendahukuinya (QS.57:26) dinyatakan bahwa Allah  Swt. telah menurunkan al-mīzān (timbangan) agar dengan menjauhi batas-batas   keterlaluan (ekstrim), orang harus mengambil jalan-tengah dalam segala urusan dan tindakan mereka.
 Dalam ayat 28 contoh berkenaan dengan suatu umat (umat Kristen) telah diutarakan guna memperlihatkan bahwa penempuhan jalan ekstrim (keterlaluan) yang dilakukan oleh mereka -- meskipun dengan niat yang betapa pun baiknya –akan menjauhkan mereka dari tujuan yang telah diusahakan mereka untuk mencapainya.
Mereka telah  menciptakan sendiri lembaga kerahiban untuk – sebagaimana aggapan mereka yang keliru --  mencari keridhaan Allah, dan sesuai dengan ajaran dan sunah Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., akan tetapi lembaga kerahiban itu ternyata merupakan sumber kejahatan sosial yang sangat banyak. Mereka mulai mengamalkan rahbaniyah  dan berakhir dengan menyibukan diri dalam penyembahan Mamon.   Tetapi Islam telah mencela dan menyesali rahbaniyah sebagai hal yang bertentangan dengan fitrat manusia.
 Menurut riwayat Nabi Besar Muhammad saw. pernah bersabda: “Tidak ada rahbaniyah dalam Islam” (Kamil ibnu Atsir). Islam bukanlah agama khayali yang hidup dalam alam konsepsi atau ciptaan mereka sendiri dan sama sekali terpisah dari kenyataan-kenyataan jelas dalam kehidupan ini. Tidak ada tempat dalam Islam untuk ajaran yang tidak dapat diamalkan semacam itu, seperti “jangan kamu khawatir akan hal esok hari” (Matius 6:34).
 Islam memerintahkan dengan tegas supaya “memperhatikan apa yang didahulukannya untuk esok hari” (QS.59:19). Seorang Muslim sejati adalah orang yang melaksanakan semua kewajibannya kepada Tuhan dan manusia, secara adil dan sepenuhnya. 

Doa Nabi Zakaria a.s. &
Kelahiran Nabi Yahya a.s.

      Jadi, tidak ada sesuatu yang luar biasa mengenai doa Hanna (istri ‘Imran) yang ingin agar Siti Maryam serta keturunannya terpelihara dari pengaruh syaitan. Semua orang tua mendambakan hal seperti itu untuk anak-anak mereka dan mendoa agar mereka itu dibesarkan untuk menempuh kehidupan yang baik lagi lurus:
وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
“…aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 
     Baik juga dicatat, meskipun Islam (Al-Quran) menyatakan bahwa semua nabi Allah selamat dari pengaruh syaitan, namun Bible tidak menganggap perlindungan itu dinikmati Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. (Markus 1:12, 13).
     Rajim diserap dari kata rajama  artinya: (1) orang yang diusir dari hadirat Ilahi dan kasih-sayang-Nya, atau orang terkutuk; (2) ditinggalkan dan dibiarkan seorang diri; (3) dilempari dengan batu; (4) mahrum (luput)  dari segala kebaikan dan kebajikan (Lexicon Lane).
     Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai pengabulan doa istri ‘Imran mengenai  anak perempuan yang dilahirkannya:
فَتَقَبَّلَہَا رَبُّہَا بِقَبُوۡلٍ حَسَنٍ وَّ اَنۡۢبَتَہَا نَبَاتًا حَسَنًا ۙ وَّ کَفَّلَہَا زَکَرِیَّا ۚؕ کُلَّمَا دَخَلَ عَلَیۡہَا زَکَرِیَّا الۡمِحۡرَابَ ۙ وَجَدَ عِنۡدَہَا رِزۡقًا ۚ قَالَ یٰمَرۡیَمُ اَنّٰی لَکِ ہٰذَا ؕ قَالَتۡ ہُوَ مِنۡ عِنۡدِ اللّٰہِ ؕ اِنَّ اللّٰہَ یَرۡزُقُ مَنۡ یَّشَآءُ بِغَیۡرِ حِسَابٍ ﴿﴾ 
Maka Tuhan-nya telah menerimanya dengan penerimaan yang sangat baik, menumbuhkannya dengan pertumbuhan yang sangat baik dan menyerahkan pemeliharaannya kepada Zakaria.  Setiap kali Zakaria datang menemuinya di mihrab didapatinya ada rezeki padanya. Ia berkata: “Hai Maryam,  dari manakah engkau mendapatkan rezeki ini?” Ia ber-kata: “Rezeki itu dari sisi Allah.”  Se-sungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang Dia kehendaki tanpa hisab.  (Āli ‘Imran [3]:38).
  Zakaria a.s.   itu nama seorang orang-suci dari kalangan Bani Israil yang dikemukakan oleh Al-Quran sebagai seorang nabi (QS.6:86), tetapi dalam Bible hanya disebut sebagai seorang imam (Lukas 1:5). Orang yang dikemukakan sebagai nabi oleh Bible ialah Zakharya -- perhatikan perbedaan-perbedaan ejaannya --  yang Al-Quran tidak menyebutnya. Nabi Zakaria a.s. dari Al-Quran itu ialah ayahanda Nabi Yahya a.s.,   saudara sepupu Nabi Isa ibnu Maryam a.s..   
      Hadiah-hadiah itu  dibawa oleh orang-orang yang berkunjung ke tempat itu untuk beribadah dan tidak ada hal luar biasa dalam bunyi jawaban Siti Maryam bahwa hadiah-hadiah itu dari Allah Swt.,    sebab tiap-tiap barang baik yang datang kepada manusia sebenarnya berasal dari Allah Swt.  karena Tuhan itu Maha Pemberi.
    Pada hakikatnya, suatu jawaban lain dari seorang anak perempuan dengan didikan agama seperti yang diperoleh Siti Maryam  tentu akan mengherankan. Kenyataan itulah yang telah menggugah Nabi Zakaria a.s. untuk  memperoleh keturunan yang shaleh seperti   Maryam, karena istri beliau  sampai dengan saat itu belum juga dapat melahirkan seorang anak,  walau pun selama itu Nabi Zakaria terus menerus berdoa (QS.19:3-12), firman-Nya:  
ہُنَالِکَ دَعَا زَکَرِیَّا رَبَّہٗ ۚ قَالَ رَبِّ ہَبۡ لِیۡ مِنۡ لَّدُنۡکَ ذُرِّیَّۃً طَیِّبَۃً ۚ اِنَّکَ سَمِیۡعُ  الدُّعَآءِ ﴿﴾  فَنَادَتۡہُ  الۡمَلٰٓئِکَۃُ وَ ہُوَ قَآئِمٌ یُّصَلِّیۡ فِی الۡمِحۡرَابِ ۙ اَنَّ اللّٰہَ یُبَشِّرُکَ بِیَحۡیٰی مُصَدِّقًۢا بِکَلِمَۃٍ مِّنَ اللّٰہِ وَ سَیِّدًا وَّ حَصُوۡرًا وَّ نَبِیًّا مِّنَ الصّٰلِحِیۡنَ ﴿﴾ 
Di sanalah Zakaria berdoa  kepada Tuhan-nya, dia berkata:  ”Ya Tuhan-ku, anugerahilah aku juga  dari sisi Engkau keturunan yang suci, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.”   Maka malaikat menyerunya ketika ia  sedang berdiri shalat di mihrab: “Sesungguhnya  Allah memberi engkau kabar gembira  tentang Yahya, yang akan menggenapi  kalimat dari  Allah, dan ia seorang pemimpin, pengekang hawa nafsu, dan seorang nabi dari antara orang-orang saleh.” (Āli ‘Imran [3]:39-40).
    Jawaban yang saleh dari anak itu memberi kesan sangat mendalam pada pikiran Nabi Zakaria a.s.  dan membangkitkan dalam jiwanya keinginan terpendam yang wajar untuk mempunyai anak sendiri yang shalih seperti dia. Beliau mendoa kepada Allah Swt.  untuk dianugerahi seorang anak seperti Siti Maryam.

Nabi Zakaria a.s. Tidak  Pernah  Menjadi  Bisu

      Doa Nabi Zakaria a.s. tersebut nampaknya dipanjatkan berulang-ulang selama satu masa yang panjang,  seperti disebutkan dengan kata-kata lain di berbagai tempat dalam Al-Quran (QS.3:39; QS.19:4-7; QS.21:90), karena  beliau pun  -- seperti halnya istri ‘Imran -- merasakan keprihatinan yang sama  mengenai keadaan akhlak dan  ruhani Bani Israil bagaikan keadaan seorang  perempuan  tua yang rahimnya mandul  sebagaimana tergambar dalam doa beliau dalam Surah Maryam ayat 4-7.
       Nabi  Yahya a.s.  adalah seorang nabi yang datang sebelum Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  berlaku sebagai perintis bagi kedatangan beliau, sesuai dengan nubuatan Bible (Maleakh3:1 dan 4:5). Kata Ibraninya ialah Yuhanna, yang dalam bahasa itu berarti  "Tuhan telah bermurah hati" (Encyclopaedia Britannica). Nama Yahya  diberikan oleh Allah Swt.   Sendiri.
     Nabi  Yahya a.s. datang sesuai dengan nubuatan Maleakhi: “Bahwasanya Aku menyuruhkan kepadamu Elia, nabi itu, dahulu daripada datang hari Tuhan yang besar dan hebat itu” (Maleakhi  4:5).  Selanjutnya Allah Swt. berfirman:
قَالَ رَبِّ اَنّٰی یَکُوۡنُ لِیۡ غُلٰمٌ  وَّ قَدۡ بَلَغَنِیَ الۡکِبَرُ وَ امۡرَاَتِیۡ عَاقِرٌ ؕ قَالَ کَذٰلِکَ اللّٰہُ  یَفۡعَلُ مَا یَشَآءُ ﴿﴾  قَالَ رَبِّ اجۡعَلۡ لِّیۡۤ  اٰیَۃً ؕ قَالَ اٰیَتُکَ  اَلَّا تُکَلِّمَ النَّاسَ ثَلٰثَۃَ اَیَّامٍ  اِلَّا رَمۡزًا ؕ وَ اذۡکُرۡ رَّبَّکَ کَثِیۡرًا وَّ سَبِّحۡ بِالۡعَشِیِّ وَ الۡاِبۡکَارِ ﴿٪﴾
Ia, Zakaria,  berkata:   ”Ya Tuhan-ku, bagaimanakah aku akan mendapat anak laki-laki, sedangkan masa tua telah menjelangku dan lagi pula istriku mandul?” Dia berfirman: “Demikianlah kekuasaan Allah, Dia berbuat apa yang Dia kehendaki.”  Ia berkata: “Ya Tuhan-ku, berikanlah kepadaku suatu Tanda. Dia berfirman: “Tanda bagi engkau yaitu engkau tidak boleh berbicara dengan manusia selama tiga hari  kecuali dengan isyarat, dan ingatlah Tuhan engkau sebanyak-banyaknya serta bertasbihlah di waktu petang dan pagi hari.” (Āli ‘Imran [3]:41-42).
   Ghulam berarti anak muda (Lexicon Lane). Pertanyaan Nabi Zakaria a.s. merupakan ungkapan yang tercetus dari rasa heran yang tulus dan polos tatkala mendengar janji Ilahi itu. Pertanyaan itu mengandung pula doa terselubung agar mudah-mudahan ia mendapat umur cukup panjang sehingga dapat melihat anak itu lahir dan tumbuh menjadi seorang pemuda (ghulam).
       Nabi Zakaria a.s.   harus pantang berbicara selama tiga hari, dan kemudian janji itu baru akan dipenuhi. Beliau tidak kehilangan kemampuan bicara – yakni tiba-tiba menjadi bisu,  --  seperti nampaknya dikatakan Bible, sebagai hukuman karena tidak percaya kepada perkataan Allah Swt.  (Lukas 1:20-22).
     Perintah supaya membisu dimaksudkan agar memberikan kesempatan baik kepada Nabi Zakaria  a.s.  untuk menggunakan waktu beliau dengan bertafakur dan berdoa — suatu syarat yang istimewa sekali, berfaedah untuk menarik rahmat dan berkat Ilahi. Pantang bercakap-cakap juga ternyata sangat berfaedah dalam keadaan tertentu untuk membuat seseorang memulihkan kembali daya hayati dan kekuatan jasmani yang telah hilang. Kebiasaan itu agaknya lazim terdapat di tengah kaum Yahudi di zaman itu.

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 31  Maret  2013




Sabtu, 30 Maret 2013

Hakikat Doa Istri 'Imran Mengenai "Maryam" dan "Isa Ibnu (Anak) Maryam a.s."




بِسۡمِ اللّٰہِ الرَّحۡمٰنِ الرَّحِیۡمِ


Khazanah Ruhani Surah Ash-Shāffāt 


Bab 83


  Hakikat Doa Istri ‘Imran
Mengenai Maryam dan
 Isa Ibnu (Anak) Maryam a.s.

 Oleh

 Ki Langlang Buana Kusuma

Dalam  Bab  sebelumnya  telah dikemukakan  firman Allah Swt. mengenai kebingungan istri ‘Imran ketika mengetahui bahwa bayi yang dilahirkannya adalah seorang bayi perempuan – bertentangan  dengan harapannya menginginkan kelahiran bayi laki-laki -- karena istri ‘Imran  telah bernazar hendak mewakafkan anak laki-laki yang masih ada dalam kandungannya untuk berbakti kepada Tuhan, tetapi dalam kenyataannya yang dilahirkannya adalah seorang anak perempuan, sehingga  dengan sendirinya istri ‘Imran  menjadi bingung, firman-Nya:
  فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan  anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 

Tanda Kehinaan bagi Bani Israil &

     Kata-kata: Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya, merupakan kalimat sisipan yang diucapkan oleh Allah Swt.   secara sambil lalu, sedangkan kata-kata berikutnya: Anak lelaki itu tidaklah sama seperti anak perempuan  dapat dianggap diucapkan oleh Allah Swt. atau diucapkan oleh ibunda Siti Maryam. Besar kemungkinan kata-kata itu diucapkan oleh Allah Swt.  dan berarti, seperti dalam teks terjemahan, bahwa anak perempuan yang dilahirkan beliau itu lebih baik daripada anak laki-laki yang diharapkan beliau.
      Tetapi jika  dianggap diucapkan oleh ibunda Siti Maryam, kata-kata itu berarti bahwa anak perempuan yang dilahirkan olehnya  itu  tidak bisa menjadi seperti anak laki-laki yang diinginkannya, karena (dia beranggapan) hanya anak laki-laki sajalah yang cocok untuk menunaikan bakti istimewa itu dan beliau ingin mewakafkannya.
     Kalimat “Anak lelaki itu tidaklah sama seperti anak perempuan  lebih tepat merupakan pernyataan Allah Swt. – yakni dalam pengertian bahwa anak perempuan yang dilahirkan istri ‘Imran itu lebih baik daripada anak laki-laki yang diharapkannya -- karena menurut Allah Swt. pada saat itu  di kalangan kaum laki-laki Bani Israil sudah tidak ada  seorang laki-laki pun yang  layak  menjadi  ayah jasmani, sehingga Allah Swt. telah  menakdirkan pengutusan rasul (nabi) terakhir di kalangan Bani Israil tidak memiliki ayah jasmani  karena ibunya (Siiti Maryam) merangkap  sebagai ayahnya, itulah sebabnya ia dinamakan Isa ibnu Maryam (Isa anak Maryam).
   Sesuai dengan kenyataan itu pulalah  Allah Swt.  dalam Al-Quran telah menyebutkan kelahiran Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. tanpa ayah sebagai as-Sā’ah (Tanda Saat/tanda Kiamat – QS.43:62)  bagi  Bani Israil, karena setelah pengutusan Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  – sesuai janji Allah Swt. kepada Nabi Musa a.s. (Ulangan 18:15-19) dan Nabi Isa Ibnu Maryam (Matius 23:37-39; Yohanes 16L12-13) -- silsilah kenabian akan dipindahkan Allah Swt. dari kalangan Bani Israil kepada Bani Isma’il atau umat Islam,  firman-Nya:
وَ لَمَّا ضُرِبَ ابۡنُ مَرۡیَمَ  مَثَلًا  اِذَا قَوۡمُکَ مِنۡہُ  یَصِدُّوۡنَ ﴿﴾  وَ قَالُوۡۤاءَ اٰلِہَتُنَا خَیۡرٌ اَمۡ ہُوَ ؕ مَا ضَرَبُوۡہُ  لَکَ  اِلَّا جَدَلًا ؕ بَلۡ ہُمۡ قَوۡمٌ خَصِمُوۡنَ ﴿﴾  

Dan apabila   Ibnu Maryam dikemukakan  sebagai misal tiba-tiba kaum engkau meneriakkan  penentangan  terhadapnyadan mereka berkata: "Apakah tuhan-tuhan kami lebih baik ataukah dia?" Mereka tidak menyebutkan hal itu kepada engkau melainkan perbantahan semata. Bahkan mereka adalah kaum yang biasa berbantah. (Az-Zukhruf [43]:58-59).
   Shadda (yashuddu) berarti: ia menghalangi dia dari sesuatu, dan shadda (yashiddu) berarti: ia mengajukan sanggahan (protes) (Aqrab-ul-Mawarid). Kedatangan Al-Masih a.s.  yang dilahirkan tanpa ayah seorang laki-laki adalah tanda bahwa orang-orang Yahudi akan dihinakan dan direndahkan serta akan kehilangan kenabian untuk selama-lamanya.
      Karena matsal berarti sesuatu yang semacam dengan atau sejenis dengan yang lain (QS.6:39), ayat ini, di samping arti yang diberikan dalam ayat ini, dapat pula berarti bahwa bila kaum Nabi Besar Muhammad saw.   — yaitu kaum Muslimin — diberitahu bahwa orang lain yang seperti dan merupakan sesama Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.  – yakni misal Isa Ibnu Maryam a.s. --    akan dibangkitkan di antara mereka untuk memperbaharui mereka dan mengembalikan kejayaan ruhani mereka yang telah hilang, maka daripada bergembira atas kabar gembira itu malah mereka berteriak  mengajukan protes.

As-Sā’ah (Tanda Kiamat)   Bagi Bani Israil &
Pengakuan  Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.

      Jadi, QS.43:58  dapat dianggap mengisyaratkan kepada kedatangan Nabi Isa ibnu Maryam a.s.   untuk kedua kalinya sebagai misal dan juga sebagai as-Sā’ah (Tanda Kiamat). Selanjutnya Allah Swt. berfirman mengenai Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.: 
اِنۡ ہُوَ اِلَّا عَبۡدٌ اَنۡعَمۡنَا عَلَیۡہِ وَ جَعَلۡنٰہُ  مَثَلًا   لِّبَنِیۡۤ   اِسۡرَآءِیۡلَ ﴿ؕ﴾  وَ لَوۡ  نَشَآءُ  لَجَعَلۡنَا مِنۡکُمۡ مَّلٰٓئِکَۃً  فِی الۡاَرۡضِ  یَخۡلُفُوۡنَ ﴿﴾  وَ اِنَّہٗ  لَعِلۡمٌ  لِّلسَّاعَۃِ  فَلَا تَمۡتَرُنَّ بِہَا وَ اتَّبِعُوۡنِ ؕ ہٰذَا صِرَاطٌ مُّسۡتَقِیۡمٌ ﴿﴾   وَ لَا یَصُدَّنَّکُمُ الشَّیۡطٰنُ ۚ اِنَّہٗ  لَکُمۡ عَدُوٌّ  مُّبِیۡنٌ﴿﴾
Ia tidak lain melainkan seorang hamba yang telah Kami  anugerahi nikmat kepadanya, dan Kami menjadikan dia suatu perumpamaan (misal)  bagi Bani Israil.  Dan seandainya Kami menghendaki niscaya Kami menjadikan malaikat dari antara kamu  sebagai penerus di bumi.  Tetapi sesungguhnya ia benar-benar pengetahuan mengenai  Saat, maka janganlah kamu ragu-ragu mengenainya dan ikutilah aku, inilah jalan lurus.   Dan janganlah syaitan menghalang-halangi kamu, sesungguhnya ia bagi kamu adalah musuh yang nyata. (Az-Zukhruf [43]:60-63).
     Para malaikat tidak dapat dijadikan contoh dan model bagi manusia; oleh karena itu, Allah Swt.  senantiasa mengutus para rasul-Nya dari kalangan  manusia guna menyampaikan kehendak-Nya kepada umat manusia dan untuk menjadi contoh dan teladan bagi manusia.
   Kata   Saat (as-Sā’ah)  dalam kalimat “Tetapi sesungguhnya ia benar-benar pengetahuan mengenai  Saat “ dapat menyatakan waktu berakhirnya syariat Nabi Musa a.s.,   dan kata pengganti hu dalam innahu dapat mengisyaratkan kepada Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. atau kepada Al-Quran dan ayat ini dapat berarti bahwa sesudah Nabi Isa Ibnu Maryam   kaum Bani Israil akan kehilangan karunia kenabian, atau bahwa syariat lain —ialah syariat Al-Quran— akan menggantikan syariat Nabi Musa a.s..  
       Demikianlah salah satu hikmah mengapa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. dilahirkan tanpa  ayah seorang laki-laki dari kalangan Bani Israil, karena ibu beliau – Maryam binti ‘Imran – merangkap sebagai ayah beliau, itulah sebabnya  Allah Swt. menamai beliau Isa Ibnu (anak) Maryam, yakni:
      (1)  dalam  hubungannya  sebagai tanda Kiamat  dan tanda kehinaan  dari Allah Swt. kepada kaum laki-laki Bani Israil, bahwa di masa itu tidak ada seorang laki-laki Bani Israil pun yang layak menjadi ayah seorang rasul Allah di kalangan mereka, sebab selama itu mereka senantiasa mendustakan dan bahkan berusaha  membunuh para rasul Allah yang dibangkitkan di kalangan mereka (QS.2:88-89).
     (2) untuk membantah  kepercayaan sesat bahwa Nabi Isa Ibnu Maryam a.s. adalah “Anak Allah” – na’ūdzubillāhi min dzālik  --  sebagaimana yang sengaja disalah-artinya oleh Paulus dalam semua surat-surat kirimannya, sehingga munculnya ajaran baru yang sama sekali bertolak belakang dengan ajaran asli (Injil asli)  yang diwahyukan Allah Swt. kepada Nabi Isa Ibnu Maryam a.s., firman-Nya:
وَ  اِذۡ قَالَ اللّٰہُ یٰعِیۡسَی ابۡنَ مَرۡیَمَ  ءَاَنۡتَ قُلۡتَ لِلنَّاسِ اتَّخِذُوۡنِیۡ وَ اُمِّیَ  اِلٰہَیۡنِ مِنۡ دُوۡنِ اللّٰہِ ؕ قَالَ سُبۡحٰنَکَ مَا یَکُوۡنُ لِیۡۤ  اَنۡ    اَقُوۡلَ مَا لَیۡسَ لِیۡ ٭ بِحَقٍّ ؕ؃ اِنۡ کُنۡتُ قُلۡتُہٗ فَقَدۡ عَلِمۡتَہٗ ؕ تَعۡلَمُ  مَا فِیۡ نَفۡسِیۡ وَ لَاۤ اَعۡلَمُ مَا فِیۡ نَفۡسِکَ ؕ اِنَّکَ اَنۡتَ عَلَّامُ  الۡغُیُوۡبِ ﴿﴾  مَا قُلۡتُ لَہُمۡ اِلَّا مَاۤ اَمَرۡتَنِیۡ بِہٖۤ اَنِ اعۡبُدُوا اللّٰہَ رَبِّیۡ وَ رَبَّکُمۡ ۚ وَ کُنۡتُ عَلَیۡہِمۡ  شَہِیۡدًا مَّا دُمۡتُ فِیۡہِمۡ ۚ فَلَمَّا تَوَفَّیۡتَنِیۡ  کُنۡتَ اَنۡتَ الرَّقِیۡبَ عَلَیۡہِمۡ ؕ وَ  اَنۡتَ عَلٰی کُلِّ  شَیۡءٍ  شَہِیۡدٌ ﴿﴾  اِنۡ تُعَذِّبۡہُمۡ فَاِنَّہُمۡ عِبَادُکَ ۚ وَ اِنۡ تَغۡفِرۡ لَہُمۡ فَاِنَّکَ اَنۡتَ الۡعَزِیۡزُ الۡحَکِیۡمُ ﴿﴾
Dan ingatlah ketika Allah berfirman: “Hai ‘Isa ibnu Maryam, apakah engkau telah berkata kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua tuhan  selain Allah?" Ia berkata: “Maha Suci Engkau. Tidak patut bagiku mengatakan  apa yang sekali-kali  bukan hakku. Jika  aku telah mengatakannya maka sungguh  Engkau mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada dalam diriku, sedangkan aku tidak mengetahui apa yang ada dalam diri Engkau, sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Mengetahui segala yang gaib.    Aku sekali-kali tidak pernah mengatakan kepada mereka kecuali apa yang telah Engkau perintahkan kepadaku, yaitu:  Beribadahlah kepada Allah, Tuhan-ku  dan Tuhan kamu.” Dan aku menjadi saksi atas mereka selama aku berada di antara mereka, tetapi tatkala  Engkau telah mewafatkanku maka Engkau-lah Yang benar-benar menjadi Pengawas atas mereka, dan Engkau adalah Saksi atas segala sesuatu.  Kalau Engkau mengazab mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba Engkau, dan kalau Engkau mengampuni mereka, maka sesungguhnya Engkau benar-benar Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”   (Al-Māidah [5]:117-119)

Doa Istri ‘Imran untuk Anak dan Cucunya

     Jadi, kembali kepada  firman-Nya sebelum ini mengenai kebingungan istri ‘Imran mengenai kelahiran bayi perempuan yang dikandungnya:
  فَلَمَّا وَضَعَتۡہَا قَالَتۡ رَبِّ اِنِّیۡ وَضَعۡتُہَاۤ  اُنۡثٰی ؕ وَ اللّٰہُ اَعۡلَمُ بِمَا وَضَعَتۡ ؕ وَ لَیۡسَ الذَّکَرُ  کَالۡاُنۡثٰی ۚ وَ اِنِّیۡ سَمَّیۡتُہَا مَرۡیَمَ وَ اِنِّیۡۤ  اُعِیۡذُہَا بِکَ وَ ذُرِّیَّتَہَا مِنَ الشَّیۡطٰنِ  الرَّجِیۡمِ ﴿﴾
Maka tatkala ia yakni istri ’Imran telah melahirkannya ia berkata: “Ya Tuhan-ku, sesungguhnya bayi yang kulahirkan ini seorang perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu, sedangkan anak lelaki yang diharapkannya itu tidaklah sama baiknya seperti anak perempuan ini; dan bahwa aku menamainya Maryam, dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37). 
     Anak kalimat aku menamainya Maryam, mengandung doa kepada Allah Swt. secara tidak langsung, untuk menjadikannya seorang anak perempuan yang mulia dan baik serta shalih, seperti nampak dari arti kata Maryam (yakni   mulia atau seorang ahli ibadah yang saleh).
      Siti Maryam  adalah  ibunda Nabi Isa ibnu Maryam,  beliau mungkin diberi nama yang sama dengan saudara perempuan Nabi Musa.s.  dan Nabi Harun a.s. --  yang dikenal dengan nama Miriam. Kata itu, yang adalah kata majemuk dalam bahasa Ibrani, berarti: bintang laut; nyonya atau perempuan  bangsawan; mulia; ahli ibadah yang saleh (Cruden’s Concordance; Kasysyaf; dan Encyclopaedia Biblica).
    Kata-kata doa ibu Siti Maryam – “sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk" -- itu menimbulkan sedikit kesulitan. Bila ibunda Siti Maryam berniat mewakafkan anaknya untuk berbakti kepada Tuhan, pasti beliau  telah mengetahui bahwa anaknya tidak akan menikah seumur hidup. Jika demikian, maka apakah artinya memanjatkan doa untuk keturunan sang anak perempuannya  itu?

Istri 'Imram Melihat Kasyaf (Penglihatan Ruhani)

     Penjelasan yang paling mungkin adalah  bahwa Allah Swt. telah mengabarkan kepada ibunda Siti Maryam dalam sebuah kasyaf (penglihatan ruhani) bahwa anak perempuannya  itu akan tumbuh hingga dewasa dan akan mendapat seorang anak, dan atas berita itu beliau mendoa agar Siti Maryam dan anaknya dikaruniai perlindungan Ilahi.
      Namun demikian beliau nampaknya telah menyerahkan hari depan Siti Maryam ke tangan Ilahi dan mewakafkannya, sebagaimana diniatkannya semula untuk mengabdi kepada Allah Swt.   (QS.3:36; Injil Kelahiran Siti Maryam). Hal itu tentu saja merupakan suatu kekecualian, sebab hanya laki-laki sajalah yang dapat dipilih untuk bakti demikian. Dugaan bahwa ibunda Siti Maryam menerima kasyaf mengenai anak perempuannya akan mendapat seorang laki-laki, tercantum dalam Injil Maryam (3:5), meskipun  mungkin dalam bentuk yang agak lain.
      Tidak ada sesuatu yang luar biasa mengenai doa Hanna (istri ‘Imran) yang ingin agar Siti Maryam serta keturunannya terpelihara dari pengaruh syaitan. Semua orang tua mendambakan hal seperti itu untuk anak-anak mereka dan mendoa agar mereka itu dibesarkan untuk menempuh kehidupan yang baik lagi lurus.
     Baik juga dicatat, meskipun Islam (Al-Quran) menyatakan bahwa semua nabi Allah selamat dari pengaruh syaitan, namun Bible tidak menganggap perlindungan itu dinikmati Nabi Isa Ibnu Maryam a.s.. (Markus 1:12, 13). Istri 'Imran pada akhir doanya berkata: "dan sesungguhnya aku memohon perlindungan Engkau untuknya dan keturunannya dari syaitan yang terkutuk.”  (Āli ‘Imran [3]:37).
      Rajim diserap dari kata rajama  artinya: (1) orang yang diusir dari hadirat Ilahi dan kasih-sayang-Nya, atau orang terkutuk; (2) ditinggalkan dan dibiarkan seorang diri; (3) dilempari dengan batu; (4) mahrum (luput)  dari segala kebaikan dan kebajikan (Lexicon Lane).

(Bersambung)

Rujukan: The Holy Quran
Editor: Malik Ghulam Farid
***

Pajajaran Anyar, 31  Maret  2013